BAB 74. KETAHUAN

782 42 1
                                    

"Mas Anton... apa kamu mau nginep sini lagi malam ini?" tanya Yuanita setelah melihat jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam.

"Apa kamu keberatan kalo aku nemenin kamu malam ini, Sayang?" Anton malah menjawab dengan pertanyaan.

"Nggak keberatan sih... aku malah senang ada yang nemenin aku, jadi nggak kesepian di sini." Jawab Yuanita dengan manja.

"Berarti kamu suka ya... kalo tidur aku peluk sampai pagi, Sayang. Karena tubuhmu bikin candu, makanya aku ketagihan pengen nginep terus di sini." Gombalan Anton mulai dilancarkan sambil mendekati wanita idamannya itu dengan kecupan di pipi.

"Oh ya, Mas. Apa kamu serius dengan perkataanmu waktu itu? Kalo kamu mau menjadikan ku istri? Jangan-jangan kamu nggak serius sama aku." Ucap Yuanita yang membuat Anton tersentak.

Mendengar ucapan wanita yang duduk di sebelahnya, Anton jadi terdiam sejenak. Lalu ia merangkul Yuanita sambil berkata, "Aku akan segera melamarmu, Sayang. Apa kamu sudah siap!?"

"Mas Anton serius???" tanya Yuanita masih ragu.

"Iya, Sayang. Aku akan melamar sekaligus menikahimu. Dan kita akan menghabiskan waktu bersama seperti ini."

"Kalau begitu, aku harus memberitahu ayahku, Mas. Ayahku tinggal di Jakarta berdua dengan adik laki-laki ku. Sedang ibuku sudah meninggal karena sakit, sudah lima tahun yang lalu.

"Kamu merantau di kota ini? Ternyata keluargamu jauh di luar kota."

"Iya, Mas. Aku sudah terlatih hidup mandiri sejak ibuku meninggal. Karena aku anak pertama dan harus bisa melakukan apa saja demi menghidupi keluargaku."

"Ayahmu asli Jakarta ya?" tanya Anton.

"Bukan, Mas. Ayahku asli Surabaya juga, tapi sudah lama ayah tinggal di Jakarta."

"Nanti kita atur kapan aku akan menemui ayahmu, Sayang." Ucap Anton yang susah mantap ingin memperistri Yuanita.

Lalu tubuh Yuanita bersandar di pelukan Anton, wanita yang sudah makin akrab dengan Anton ini makin yakin dan sayang pada lelaki yang ada di dekatnya itu.

***

Sementara rapat pertanggungjawaban pun tiba. Semua guru sudah berkumpul di ruang kelas, sengaja di pilih di kelas, agar tempatnya lebih luas daripada di ruang guru.

Heni makin deg-degan menghadapi rapat ini. Walau sebenarnya wanita mantan sahabat Alma ini sudah membuat laporan tertulis dan nota yang rapi, tapi rasa was-was tetap menghantui dirinya. Tapi ia tetap berlagak santai dan seolah tak terjadi masalah.

"Baiklah, kita mulai rapat ini. Biar nggak makan waktu terlalu lama, sebaiknya langsung saja bu Heni membacakan pertanggungjawaban ketua panitia peringatan Agustusan di sekolah ini."

"Terima kasih. Saya akan memberikan foto copy pemasukan dan pengeluaran Agustusan pada kepala sekolah dan guru." Heni bersikap sewajarnya saja, sembari membagikan lembaran cacatan keuangan yang ia buat semalam.

Alma melihat lembaran itu dengan seksama, sambil mendengarkan penjelasan dari Heni.

"Kalau ada yang kurang jelas, silahkan ditanyakan, biar kita transparan dan nggak ada kecurigaan." Ucap Heni meyakinkan.

Sebentar kemudian, Ida mengajukan pertanyaan, "Maaf Bu Heni, kenapa konsumsi habis banyak sekali. Padahal setahuku hanya ada air mineral dan hidangan sederhana saja, waktu penutupan acara Agustusan. Ini kok sampai begitu banyak totalnya???"

"Ini bu Ida, nota yang ku dapat dari toko kue, bisa di cek ya, apa totalnya sama dengan yang ada di lembaran ini." Jawab Heni sambil menunjukkan nota yang sudah ia rekayasa.

"Bu Heni membeli di toko kue mana sih, masak harga kue donat dan lemper segini mahalnya? Padahal kemarin rasanya biasa aja??" tanya bu Ida penasaran.

"Hmm... aku membelinya di toko langganan ku, Bu. Memang agak mahal sih, tapi kan rasanya enak nggak seperti toko kue di dekat sini." Jawab Heni agak gugup.

"Coba bu Heni, tolong semua nota diserahkan ke saya. Cuma ingin memastikan apa benar pengeluaran sampai segini besarnya. Padahal cuma acara Agustusan sederhana." Titah Alma sambil memandang Heni dengan lekat.

Mantan sahabat Alma ini tampak panik. Ia menyerahkan beberapa nota pada Alma dengan tangan agak gemetar, tapi ia berusaha menutupi kekhawatirannya dengan senyum kepalsuan.

Sedang Niken, Ida serta guru-guru yang lain juga nampak heran dengan laporan yang nominalnya nggak masuk akal. Sambil berbisik, Niken yang duduk bersebelahan dengan Ida menemukan kejanggalan. "Bu Ida. Harga piala kok mahal sekali ya??? Seingat ku, enam bulan lalu aku beli piala sama bu Alma harganya separuh dari ini?!?"

"Iya ya, Bu Niken. Ini juga, lihat! Masak harga kerupuk aja semahal ini? Kita semua kan tahu, berapa harga kerupuk yang buat lomba kemarin??" Ucap Ida menemukan kejanggalan lagi.

Alma memperhatikan satu-persatu angka yang tertulis di nota dan di laporan. Tapi banyak keanehan di sana.

"Bu Heni. Apa ini nota asli tulisan dari yang jual???" tanya Alma yang makin curiga.

"I... i...ya, Bu Alma. Saya menerima nota langsung dari penjual." Jawab Heni makin gugup.

"Benarkah??? Tapi kenapa nota-nota ini gaya tulisannya sama ya??? Apa penjualnya juga sama???" Mata Alma menatap tajam ke arah Heni yang tak tenang duduknya.

"Ya bedalah, Bu Alma. Notanya kan dari toko masing-masing. Nih... ada logo toko di atasnya, ini menunjukkan nota asli dari toko yang berbeda."

"Hmm... tapi gaya tulisan di nota ini semuanya sama dan menggunakan tinta warna biru yang sama pula. Lalu... gaya tulisan di semua nota juga sama dengan gaya tulisan di laporan keuangan ini." Alma menatap mata Heni tak berkedip, tapi kepala sekolah ini tetap tenang dan menjaga sikap.

Duarrr

Dada Heni rasanya seperti di hantam beton. Bisa-bisanya Alma seteliti itu. Padahal ia sudah berusaha minta kertas nota kosongan dari semua toko yang ia datangi, lalu ia tulis sendiri nominalnya sesuka hatinya. Seperti dugaan Alma.

"Apa kamu menuduh ku memalsukan nota, hah???" Tetap saja Heni berkelit sambil emosi.

"Aku sama sekali tidak menuduhmu, bu Heni. Tapi nota-nota ini yang membuktikannya sendiri." Alma membeberkan beberapa nota di depan semua guru.

"Iya ya... benar Bu Alma. Semua gaya tulisannya sama. Kok bisa sama ya, semua toko-toko ini???" Ucap bu Niken dengan mengernyitkan alisnya karena heran.

"Mungkin itu hanya sebuah kebetulan saja, kalau mereka semua gaya tulisannya sama. Kenapa harus heran sih???" Heni mencoba berkelit.

"Kami semua nggak bodoh, Bu Heni. Saya dan guru-guru juga sudah hafal harga barang-barang yang ada di nota ini." Alma menghela napas panjang menghadapi ngeyelnya seorang Heni.

"Apa semua pada nggak tahu, kalau saat ini harga-harga pada naik. Jadi wajar kalau nota itu tertulis, dengan nominal yang lebih besar."

Heni selalu saja menemukan alibinya.

"Senaik-naiknya harga barang, nggak sampai segitunya. Sekarang, bu Heni harus jujur, biar masalah ini nggak makin runyam. Apa benar bu Heni memalsukan nota dan laporan pengeluaran ini???" tanya Alma dengan tegas.

"A... a... aku nggak pernah memalsukan apapun. Ini memang harga yang kudapatkan dari toko." Ucap Heni makin gugup dan tak berani menatap mata Alma lagi.

"Saya akan hubungi toko kue ini. Kebetulan  saya berlangganan di toko kue tersebut dan pemiliknya masih saudara dekat suami saya. Sebentar ya... Percakapan kami akan saya perdengarkan pada guru-guru semua."

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang