BAB 94. BAGAI DI SAMBAR PETIR

702 45 0
                                    

Jam dinding di tembok ruang tamu Anton, sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Suara detak jam terdengar jelas saat ini, karena ruangan mendadak sunyi, setelah pak Zaini meninggalkan ruangan, untuk menemui bu Halimah di ruang tengah.

'Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bu Halimah memilih bicara empat mata dengan ayah?? Kalau memang pertemuan ini membahas pernikahan ku dan Mas Anton, kenapa nggak dibicarakan di ruangan ini saja??? Jangan-jangan selama ini bu Halimah nggak suka dengan ku. Makanya ibu Mas Anton lebih memilih bicara berdua dengan ayah, biar aku tidak tersinggung. Kalau memang itu yang terjadi, lalu bagaimana hubungan ku dengan Mas Anton selanjutnya???' Bisik Yuanita dalam hati, pikirannya menjadi overthinking dan pesimis.

'Apakah ibu dan pak Zaini punya hubungan khusus di masa lalu? Kelihatannya mereka berdua sangat akrab dan lebih dari teman biasa. Tapi kenapa ibu mendadak bersikap kurang suka dengan rencana pernikahan ku dengan Yuanita?? Harusnya kalau pak Zaini dan ibu sudah berteman lama, tentu ikatan pernikahan ini akan membahagiakan mereka. Sepertinya ada rahasia diantara mereka berdua. Semoga saja tak mengakibatkan pernikahan ku gagal.' Gemuruh di dada Anton dengan berbagai pertanyaan yang bermunculan seiring dengan gelagat aneh pada kedua orang tua itu.

Amel tampak tak ada beban, ia memilih meninggalkan ruang tamu sebentar untuk melihat Putri keponakannya yang sedari tadi telah tidur pulas di kamarnya. "Permisi ya, aku mau ke dalam sebentar." Pamit Amel gegas berdiri dan melangkah masuk ke dalam.

Berbeda dengan Erik, ia melanjutkan menyomot hidangan sana-sini sambil memainkan ponselnya.

Ruangan tengah pun nampak lengang, pak Zaini dan bu Halimah duduk berdampingan di sofa, namun bu Halimah tak juga membuka suaranya. Masih ada keraguan dalam hatinya untuk mengungkapkan semua rahasia besar yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

"Ha... limah, ada apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?? Kenapa kamu hanya diam sekarang???" tanya pak Zaini memandang wajah wanita di sebelahnya yang masih saja diam seribu bahasa.

Beberapa saat kemudian, bu Halimah mulai berani bersuara, "Ma... maafkan aku, Zaini." ucapnya dengan suara lirih. Tatap matanya dibiarkan menunduk menatap lantai, kedua tangannya sibuk di remas-remas sendiri.

"Halimah, kenapa kamu minta maaf padaku? Kamu punya salah apa, katakanlah?? Apapun kesalahan mu aku pasti akan memaafkan mu." Jawab pak Zaini meyakinkan atas keraguan yang masih menyelimuti wajah bu Halimah.

"Zaini, ini tentang Anton." Ucap bu Halimah dengan suara bergetar. Tangannya kembali gemeteran menahan beban yang berat dalam pikirannya.

"Anton? Anton kenapa?? Anton sudah pernah nikah dua kali. Aku sudah tahu. Anton sudah punya dua anak dari pernikahan sebelumnya, akupun juga tahu. Jangan khawatir, Halimah. Aku bisa menerima Anton dengan segala masa lalunya. Yuanita sudah terlanjur sayang pada Anton. Aku nggak bisa melarangnya. Yang terpenting adalah kebahagiaan anakku. Karena aku yakin, Anton lelaki yang baik untuk Yuanita. Aku bisa lihat dari kesungguhan dia, ketika ku tanya beberapa hal sewaktu datang ke apartemen tiga hari lalu. Apalagi yang kamu khawatirkan, Halimah???" Penjelasan pak Zaini panjang kali lebar.

"Jangan... jangan sampai Anton menikah dengan Yuanita!!!" Ucap bu Halimah mengagetkan pak Zaini seketika itu.

"Apa??? Kamu nggak setuju dengan pernikahan anak-anak kita??? Apa kamu nggak suka kita jadi besan, Halimah??? Harusnya kamu senang, karena kita bisa merekatkan silaturahmi yang sempat terputus puluhan tahun lalu." Jawab pak Zaini tak terima. Nada suaranya pun sedikit meninggi karena tak menyangka atas ucapan bu Halimah barusan.

"Bukan karena itu, Zaini. Ka... rena... karena... karena Anton dan Yuanita itu saudara satu ayah." Ucap bu Halimah dengan muka pucat dan bibir bergetar hebat.

"Apa maksudmu, Halimah. Aku tak mengerti. Bukankah Anton anak kandung mu dengan Hasan suami mu???" tanya pak Zaini makin penasaran sambil mengernyitkan kedua alisnya yang tebal namun sudah mulai beruban.

Bu Halimah tak menjawab pertanyaan pak Zaini. Malah ia sesenggukan menahan tangis yang tak bisa di bendung lagi. Lelehan air matanya mulai membasahi kedua pipinya yang mulai keriput.

"Halimah, pandang aku. Apa yang ingin kamu sampaikan padaku?? Jangan ragu-ragu!!!" Pak Zaini mendekatkan tubuhnya pada bu Halimah dan kedua tangannya memegang pundak wanita di sebelahnya itu dengan erat.

Kini bu Halimah sedang duduk berhadapan dengan pak Zaini. Ibu kandung Anton ini, akhirnya memberanikan diri menatap mata pak Zaini dan berterus terang. "Ma... maafkan aku, Zaini. Anton bukan anak dari Hasan suami ku. Ta... pi... tapi... Anton adalah anak mu, Zaini." Jawab bu Halimah sambil menangis tersedu.

DUARRRRR...

Bagai di sambar petir di siang bolong. Wajah pak Zaini mendadak memerah dan kedua matanya terbelalak menatap wanita di hadapannya. Kedua tangannya yang mencengkeram kedua pundak bu Halimah makin dipererat.

"Halimah, apa yang kamu katakan barusan??? Apa aku nggak salah dengar???" tanya pak Zaini tak percaya sambil menghela napas panjang.

"Benar, Zaini. Anton adalah buah cinta kita malam itu. Maafkan aku, Zaini. Aku nggak berani terus terang pada orang tuaku. Dan aku nggak memberitahu mu, karena aku takut di kurung dan di siksa lagi oleh Bapakku. Kamu tahu kan, Zaini?? Betapa teganya Bapakku memperlakukan aku, ketika tahu aku punya hubungan dekat denganmu." Ucap bu Halimah menjelaskan dan meyakinkan keputusannya di masa silam adalah yang terbaik baginya.

"Ya... Tuhan... kenapa ini bisa terjadi??? Anton dan Yuanita adalah saudara, kakak dan adik seayah. Keduanya anak-anak ku sendiri." Kata pak Zaini sambil mengusap mukanya dalam-dalam.

"Jangan sampai mereka menikah, Zaini. Aku nggak mau menutupi rahasia ini lagi, sudah saatnya Anton tahu, siapa ayah kandungnya yang sebenarnya. Aku siap menanggung akibatnya. Pasti Anton kaget dan syok. Dan... Anton akan benci padaku. Biarlah... semua akan ku tanggung, sebagai akibat dari kebohongan ku puluhan tahun lalu." Ucap bu Halimah sambil menangis tersedu, airmatanya mengalir deras membasahi kedua pipinya.

"Andai kamu terus terang padaku kala itu, Halimah. Masalah ini nggak akan terjadi. Aku akan memperjuangkanmu, kita akan menikah walau tanpa restu orang tuamu. Dan kamu akan ku ajak pergi jauh, agar kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti impian kita. Tapi... waktu tak bisa di ulang lagi. Semua sudah berakhir, kini aku dan kamu harus siap menghadapi anak-anak kita. Menjelaskan sebaik-baiknya, agar mereka bisa memaklumi keadaan kita waktu itu." Pak Zaini berkali-kali menghela napas dalam-dalam, mengatur emosinya agar lebih stabil.

"Maafkan aku, Zaini. Aku nggak berani dengan Bapak ku. Semua ini karena kesalahan ku." Jawab bu Halimah tak lagi menatap wajah lelaki yang duduk disampingnya, ia sangat menyesal.

"Sudahlah, Halimah. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang terjadi, biar terjadi. Apapun resikonya kita harus siap menghadapi. Di satu sisi aku senang mendengar rahasia ini, karena dengan begitu, benih cintaku ternyata tumbuh di rahimmu dan lahirlah Anton. Tapi di sisi lain, rahasia ini akan menghancurkan hati Anton dan Yuanita. Mereka tak bisa jadi pasangan suami istri, seperti yang mereka inginkan." Ucap pak Zaini memberi kekuatan pada bu Halimah agar tak meratapi keadaannya lagi.

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang