BAB 73. KERAS KEPALA

560 35 6
                                    

"Alma! Kalau kamu nggak mau kalah sama aku, kita bersaing secara sehat. Jangan nyebar fitnah seenaknya dong!!!" Heni berdiri sambil mendekati Alma.

"Bu Heni yang terhormat. Ini ku lakukan bukan karena aku takut kalah saingan sama kamu. Tapi aku punya kewajiban menjaga nama baik sekolah yang ku pimpin. Menjaga anak-anak didik ku menjadi generasi yang kreatif, bukan penakut karena di bentak, di gedor-gedor mejanya. Dan yang terakhir aku bersama guru-guru yang lain sudah berjuang untuk memajukan sekolah ini dengan meningkatkan prestasi dan menjaga nama baik selama ini. Makanya aku nggak akan biarkan, ada guru baru masuk, lalu menghancurkan kerja keras kami." Alma pun berdiri, menatap tajam tanpa berkedip ke arah Heni yang makin dekat dengannya.

"Dengar Alma! Semua guru dan wali murid sudah percaya sama aku. Buktinya aku di pilih mereka menjadi ketua panitia Agustusan, walaupun aku guru baru. Itu karena aku di nilai punya kemampuan lebih. Makanya kamu jangan sok pinter ya!?" Heni tak mau kalah.

"Apa benar begitu, Bu Niken?" tanya Alma sambil mengalihkan pandangannya ke arah Niken.

"Iya, Bu Alma. Bahkan keuangan juga di minta oleh bu Heni untuk dikelolanya sendiri." Jawab Niken malah mengarah masalah uang.

"Apa masalah keuangan Agustusan sudah diadakan pertanggungjawaban?" tanya Alma, ia punya firasat kurang enak ketika mendengar keuangan di minta Heni.

"Belum, Bu Alma. Kami menunggu kedatangan ibu, biar kita lebih transparan, karena ini masalah keuangan." Jawab Niken.

"Hmm... begitu ya? Besok kita adakan rapat pertanggungjawaban setelah pelajaran selesai. Jadi tolong untuk bu Heni, persiapkan semua catatan dan nota. Jangan ada kecurangan. Karena masalah uang itu paling sensitif." Ucap Alma tegas.

"Alma! Kamu nuduh aku lagi?? Bener-bener kamu ini!!! Aku nggak habis pikir, kita dulu itu bersahabat, tapi kenapa kamu selalu memojokkan aku, hah???" Tetap saja Heni menyalahkan Alma.

"Aku nggak pernah nuduh kamu, Bu Heni yang katanya sahabatku. Tolong siapkan laporan keuangan Agustusan. Besok kita adakan rapat pertanggungjawaban. Oke! Sudah, sekarang jangan perpanjang lagi. Waktu istirahat akan segera habis." Alma tak ingin memperkeruh suasana dengan adu mulut dengan Heni yang nggak ada selesainya. Ia hanya ingin menyelesaikan dengan bukti nyata, bukan dengan banyak alasan yang tak berguna. Hanya menghabiskan waktu dan tenaga dengan percuma.

Selang tak berapa lama, Ida memencet bel tanpa masuk.

Tet... tet... tet...

Seluruh siswa gegas berjalan, ada yang berlari, menuju kelas masing-masing.

Begitu pula dengan para guru, kecuali Heni yang sok pinter. Ia masih berdiri di ruang guru dan menunggu yang lain masuk kelas. Setelah di rasa aman, tak ada guru yang melihat, ia mengancam Alma.

"Hei... Alma! Jangan macam-macam sama aku ya!!! Awas aja kalo kamu nglaporin keburukan ku ke yayasan. Apalagi aku sampai di keluarkan dari sekolah ini. Aku nggak akan tinggal diam. Akan ku balas perbuatanmu, Alma!!!" Tangan Heni menunjuk-nunjuk ke wajah Alma yang berjarak hanya selangkah. Sambil kedua matanya melotot, ingin melahap habis manusia di hadapannya itu.

"Kamu takut, Heni??? Kalo kamu merasa nggak bersalah, kenapa kamu mesti takut??? Tuh... murid-murid menunggu kedatanganmu di kelas. Apa nggak dengar suara bel tadi???" Gertak Alma yang tak mau begitu saja diremehkan oleh Heni.

"B*ngs*t kamu, Alma!!!" Heni mengumpat saking marahnya. Wajahnya nampak panik atas ucapan Alma barusan. Setelah itu ia membalikkan badan dan melangkah menuju kelas paling ujung. Ia tak bisa berbuat banyak, karena posisinya sudah kalah dibandingkan Alma.

'Ya Allah... berilah kesabaran pada diriku ini, untuk menghadapi kelakuan Heni. Semua ujian ini dari-Mu, aku yakin semua pasti ada hikmahnha.' Doa Alma dalam hati. Ia meneguhkan niatnya untuk memberi pelajaran pada mantan sahabatnya itu. Selebihnya ia akan sadar akan kesalahannya atau sebaliknya, semua kembali pada pribadi Heni.

***

Malam ini Heni tak bisa istirahat dengan tenang, masalah bertubi-tubi menghampiri dirinya. Suami yang selalu pulang malam bahkan sampai pagi, hingga masalah pertanggungjawaban yang akan di hadapi besok di depan Alma dan guru-guru yang lain.

Beberapa nota palsu sudah di siapkan dengan rapi, ia sangat sibuk memanipulasi laporan, agar bisa mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya untuk menutupi kebutuhan pribadinya yang sangat mendesak. Kadang keringat dingin menjalar di pelipisnya, karena ia merasa panik mendengar ucapan Alma siang tadi. Masih terngiang-ngiang di telinganya, bahwa Alma akan melaporkan tindakan yang tak seharusnya ia lakukan saat menghadapi anak-anak didiknya.

Tapi namanya juga Heni, ia berpikir keras dan memutar otak culasnya untuk menjawab pertanyaan pengurus yayasan yang akan dihadapinya nanti.

'Siapa yang nglaporin berita ini ke Alma? Apa Niken atau Ida?? Atau ibu-ibu wali murid??? Kalau Niken dan Ida atau guru-guru yang lain kayaknya nggak mungkin karena mereka bersikap baik padaku. Apapun yang aku usulkan, selalu mereka tiruti. Pasti yang nglaporin ibu-ibu wali murid. Hmm... aku harus cepat bertindak dan mendekati mereka. Aku tahu, apa yang harus aku lakukan, untuk menaklukkan hati mereka.' Akhirnya Heni menemukan satu solusi dalam menghadapi masalahnya.

'Apa pun yang terjadi besok, aku harus hadapi. Yang penting aku bisa meyakinkan semua pihak, pasti akan beres. Biar saja Alma ingin nyingkirin aku. Kalo nggak di dukung semuanya, pasti aku yang menang, hmm...' Ucap Heni dalam hati dengan sangat yakin.

Lalu ia merebahkan tubuhnya yang lelah di atas kasur tapi keduanya matanya tak bisa terpejam walau sudah di paksa. Istri Anton ini sedang memikirkan suaminya yang tak pulang hingga tengah malam. Dan ini sudah berlangsung beberapa hari tanpa penjelasan pasti.

'Mas Anton, sebenarnya kemana kamu setelah bekerja? Aku sudah memberimu anak, tapi kamu malah memperlakukan aku seperti ini, Mas. Apa salahku?? Aku sudah menuruti apa pun yang kamu mau. Tapi kenapa kamu malah acuh padaku, tak menganggap ku, seolah aku ini sudah bukan istrimu. Apakah ini yang dirasakan Alma waktu itu? Aaah... tidak!!! Aku nggak boleh lemah seperti Alma. Heni nggak boleh menyerah!! Mas Anton harus menjadi milik ku selamanya!!!' Kedua mata Heni sudah mulai panas karena menahan tangis, tapi ia segera menghela napas panjang agar tidak lemah begitu saja.

Lalu ia mengelus rambut Putri yang sudah tertidur pulas di sampingnya. Heni tersenyum menatap wajah imut anaknya. Ia jadi teringat pada anak laki-lakinya dari pernikahannya yang pertama. Susah sekian lama ia tak pernah menemuinya. Di samping karena alasan ia tinggal di luar kota dengan mantan suaminya, juga karena ia sudah tak diperbolehkan oleh mantan suaminya untuk ketemu dengan putranya. Karena Heni dianggap tak bisa merawat putranya dengan baik dan tak bisa memberi contoh yang baik pada anaknya itu.

Sebenarnya, kasihan juga jika melihat layar belakang Heni yang suram. Kedua orang tuanya telah tiada, ia bercerai dengan suami pertamanya karena kesalahan Heni yang lalai merawat anaknya hingga nyaris meninggal. Hingga suaminya memutuskan untuk menceraikannya tanpa diberikan kesempatan bertemu lagi dengan putranya itu.

Sudah banyak pengalaman pahit yang sudah mengiringi langkah hidup Heni. Tapi wanita keras kepala ini, tak bisa mengambil hikmah dari semuanya. Harusnya ia bisa belajar dari kesalahan yang pernah ia lakukan sekaligus tak mengulanginya, agar tidak terperosok pada jurang yang sama. Tapi apa lah daya, jika hati seorang Heni masih tertutup dan selalu menganggap dirinya paling benar.

***

BERSAMBUNG...

Jangan lupa like, komen & penilaiannya ya readers Engkaulah penyemangatku dalam melanjutkan novelku ini❣️❣️❣️

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang