Seperti biasa setelah menghabiskan sarapan, Amel dan suaminya segera siap-siap ke tempat kerja. Kebetulan tempat kerja mereka berdua satu arah, jadi berangkat dan pulang selalu berboncengan.
Sebelum berangkat, Amel selalu membiasakan diri berpamitan pada ibunya. Namun setelah ia mondar-mandir mencari sosok wanita yang sangat ia sayangi tetap tidak ia temukan. Akhirnya ia melangkah ke depan mencari kakaknya Anton yang masih sibuk menata barang di toko kecilnya.
"Mas, ibu kemana? Sudah ku cari ke sana kemari kok nggak ada. Apa Ibu lagi keluar rumah?" tanya Amel setelah memakai sepatu pantofel hitam di kedua kakinya.
"Oo... iya, Mel. Ibu tadi pamit ke warung bu Kokom bentar." Jawab Anton sambil melirik sebentar ke wajah adiknya, lalu ia melanjutkan kesibukannya berkutat di tokonya.
"Hah... ibu belanja ke warung bu Kokom? Bisa gawat nih, aduuuh!?!?" Teriak Amel mulai panik dan pandangannya memindai jalanan yang ada di depan rumahnya.
"Kamu berangkat aja, Mel. Kalo nunggu ibu, ntar kesiangan lho. Lagian kenapa kamu kuatir sih? Kan sudah biasa ibu belanja di warung bu Kokom." Ucap Anton nampak heran melihat ekspresi adiknya.
Kepanikan Amel tak bisa ditutupi, ia sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi, jika ibunya sampai di tempat itu.
Belum sampai Amel mengambil tas kerjanya, tiba-tiba datanglah sebuah mobil hitam yang berhenti di depan rumahnya.
Lalu dua orang laki-laki membopong tubuh bu Halimah yang masih lemah keluar dari mobil itu.
"Hati-hati Kang." Ucap Somat yang membopong bagian kaki bu Halimah bersama dengan Kang Udin yang membopong bagian kepala dan punggung.
Alangkah terkejutnya Adel dan Anton melihat pemandangan yang tak pernah diharapkannya pagi itu.
Amel berlari menyambut kedatangan ibunya yang tak berdaya, "Ibuuuu... ada apa dengan ibu, Kang Udin?"
"Sebentar Mbak Amel, biar bu Halimah bisa istirahat dulu di dalam rumah." Ucap Udin melanjutkan langkahnya yang sedikit kerepotan.
Anton pun segera berjalan terpincang-pincang dan keluar dari tokonya untuk segera melihat keadaan ibunya.
"Ya Tuhan, kenapa ibu sampai pingsan seperti ini??" Suara Anton lirih melihat ibunya yang lemas di tangan dua orang laki-laki yang membopongnya.
Niat Amel dan suaminya berangkat kerja terpaksa diurungkan setelah melihat kaadaan ibunya yang tak mungkin di tinggal begitu saja. Sepeda motor yang sudah di parkir depan rumah, urung di bawa kerja. Amel malah berlari menuju kamar ibunya untuk membereskan dan membantu Somat dan Udin meletakkan tubuh bu Halimah dengan nyaman.
"Sini Kang Udin kamar ibu." Ucap Amel memberi petunjuk pada dua laki-laki paruh baya itu.
Lalu Somat dan Udin meletakkan pelan-pelan tubuh lemah bu Halimah di atas kasur. Setelah itu keduanya gegas keluar kamar dan memilih duduk di ruang tamu untuk menjelaskan pada anak-anak bu Halimah, sebenarnya apa yang terjadi pada ibu mereka.
Anton buru-buru ikut menduduki sofa dan mengajak Somat dan Udin menceritakan perihal ibunya.
"Kang, apa yang terjadi pada ibu ku?"
"Ibu Mas Anton tadi belanja di warung bu Kokom, tapi tiba-tiba tersungkur lemas dan tak sadarkan diri. Ini dari cerita ibu-ibu di sana yang kebetulan bersamaan belanja dengan bu Halimah.
Lalu datanglah Amel membawa nampan berisi dua gelas teh hangat disuguhkan pada kedua tamunya.
"Silahkan di minum dulu, Kang. Setelah itu kita cerita-cerita lagi. Pasti Kang Somad dan Kang Udin capek setelah membopong tubuh ibu ku."
Ucap Amel mempersilahkan dua tamunya menikmati teh hangat buatannya.
***
Suasana di ruangan divisi administrasi nampak lengang. Hanya terdengar suara mesin print out yang menyibak kesunyian siang itu. Apalagi setelah jam istirahat, semangat mereka mulai menurun karena di landa rasa kantuk setelah kenyang menyantap makan siang, juga capek karena sudah setengah hari berkutat dengan aktifitas masing-masing.
Namun ada topik yang lagi hangat menjadi bahan perbincangan yang cukup menarik siang itu. Apalagi kalau bukan dipecatnya Yuanita dengan tidak terhormat. Padahal baru beberapa hari masuk, setelah menjalankan masa cutinya selama dua bulan.
"Enak ya sekarang, nggak ada cewek kecentilan lagi. Sukurin dah, dipecat sama pak Yunan karena ulah jailnya sendiri sih." Ucap Kamila membuka pembicaraan.
"Iya ya. Dengar-dengar habis malsuin laporan ke pak bos ya? Kok bisa senekad itu, Nita... Nita. Aku sampek nggak habis pikir. Apa kurang enak atau gimana ya? Padahal posisinya sudah bagus di perusahaan ini." Jawab Dahlia menimpali dengan muka masam.
Dua wanita ini tak ada yang suka dengan keberadaan Yuanita dalam divisi mereka. Karena sebagai sesama perempuan, Yuanita tak pernah membuka diri pada Kamila maupun Dahlia. Wanita janda muda itu lebih memilih berakrab-akrab ria dengan Darwis dan Bondan saja.
"Biarin aja. Sekarang baru tau rasa si Nita itu, gimana rasanya jadi pengangguran. Sudah enak-enak di Terima kerja di sini, eee... malah nyari penyakit. Dasar manusia tak mau bersyukur." Ucap Bondan ikutan mengeluarkan pendapatnya.
Tinggal satu orang yang sedari tadi tak mau membuka suaranya. Ya... Darwis lelaki cool yang selalu banyak diam dan menjadi pendengar yang baik.
"Darwis! Kamu kok nggak ikutan bicara, sih? Jangan-jangan kamu sedih ya, di tinggal wanita sok cantik itu?" tanya Kamila sambil menoleh ke arah Darwis yang masih sibuk sambil memainkan laptopnya.
Belum sempat Darwis menjawab ledekan Kamila, Dahlia menyerobot ngomong setelahnya, "Awas aja kalo berani macam-macam sama tuh perempuan. Aku milih putus, daripada sakit hati. Bikin nambah penyakit aja." Cibir Dahlia yang sibuk menatap tajam ke wajah ganteng Darwis.
"Lia, kamu nih ada-ada aja sih. Aku lagi sibuk ngerjain tugas dari Pak Ruben. Jadi males aja bahas hal yang kurang penting gitu." Sahut Darwis sambil membetulkan bokongnya biar bisa duduk lebih nyaman.
Lia tersenyum mendengar jawaban tunangannya itu. Tanda ia merasa lega atas jawaban lelaki yang sangat ia sayangi yang nantinya akan menjadi pendamping hidupnya selamanya. Pikir Dahlia.
"Berarti setelah ini akan ada sekretaris baru menggantikan posisi Nita. Iya kan?" tanya Bondan mereka-reka.
"Bener juga. Siapa yang kuat sih, punya atasan seperti Pak Ruben itu? Mukanya selalu di tekuk, nggak pernah senyum, seperti orang yang selalu punya masalah berat dalam hidupnya." Ujar Kamila.
"Masih banyak lah, Mila. Pasti ada beberapa kandidat yang akan berusaha menarik hati pak Ruben untuk menjadi sekretarisnya." Jawab Dahlia.
Tiba-tiba perbincangan terhenti, setelah ada seseorang yang masuk ke ruangan mereka.
"Ehhemm... Lia apa kamu sudah selesai dengan tugas mu hari ini? Kalau sudah selesai, tolong segera bawa ke meja ku. Setelah itu kamu bantu aku selama sekretaris baru belum ada penggantinya.
"Iii... iya Pak. Sebentar lagi akan selesai. Setelah itu saya akan serahkan ke meja Bapak." Jawab Dahlia sambil tersenyum ramah.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...