"Mas Anton, kenapa kamu perlakukan aku seperti ini??? Kamu nggak punya hati??? Ingat Mas, kita sudah punya anak!!! Aku sudah banyak mengalah selama ini, tapi apa balasanmu padaku???" Heni menatap tajam ke arah Anton sambil berderai air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Aku sudah muak dengan kelakuanmu, Hen!!! Itulah sebabnya aku memilih pulang ke rumah teman ku sepulang kerja. Biar apa, Hen??? Biar aku nggak lihat wajah kamu!!!" Jawab Anton dengan mulut mencibir.
"Aku nggak terima kamu perlakukan aku seperti ini, Mas. Siapa wanita pelakor itu, Mas?? Jawab!!! Siapa???" Suara Heni makin lantang sambil menggoyang-goyang pundak Anton dengan keras.
"Nanti kamu akan tahu. Dia bukan pelakor, dia wanita baik-baik. Dan dia jauh lebih baik dari kamu. Jadi jangan ngomong seenaknya!!!" Tangan Anton menunjuk ke arah wajah Heni dengan mata melotot saking marahnya. Ia tak terima wanita idamannya di sebut dengan sebutan pelakor oleh Heni.
"Kamu masih suami ku, Mas. Apalagi kalo bukan pelakor, hah??? Wanita penggoda???" Heni makin panas menahan amarahnya.
"Hai dengar Hen, siapa yang sebenernya pelakor??? Apa kamu lupa, apa yang kamu lakukan setahun yang lalu pada sahabatmu Alma??? Kau goda aku setiap hari ketika Alma tak berada di rumah. Akhirnya perselingkuhan kita terbongkar kan??? Justru kamu yang pantas di sebut pelakor!!!" Ucap Anton membela diri.
"Apa kamu bilang, Mas??? Aku menggoda kamu??? Ingat!!! Kamu juga tergila-gila sama aku. Saat Alma sudah mengusirmu dari rumah. Kamu merayu ku, biar bisa tinggal sama aku kan??? Dasar laki-laki br*ngs*k. Nggak pernah ngaku salah, bisanya menyalahkan orang lain!!! Aku nggak akan tinggal diam, aku akan laporkan niatmu untuk menikah lagi dengan bicara langsung sama bosmu. Bosmu kan suami Alma. Pasti dia kaget dan selanjutnya kamu akan dipecat dengan tidak terhormat. Lalu kamu pasti akan di buang oleh wanita yang mau kamu nikahi itu. Wanita itu nggak akan mau sama kamu lagi. Karena kamu akan jadi pengangguran yang tak berguna!!!"
Heni bicara sangat lantang dan membiarkan kedua matanya melotot ke arah Anton sambil mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini ia pendam rapat-rapat.
"Kalo kamu berani melakukan itu!!! Kamu tanggung sendiri akibatnya! Aku akan tetap menceraikan kamu wanita bikin sial! Dan kamu harus segera keluar dari rumah ini tanpa uang sepeser pun dari ku. Biar kamu jadi gembel, lalu tidur di jalanan. Mau kamu seperti itu, hah?!?!" Ucap Anton sambil berkacak pinggang karena merasa dirinya sudah menang dan membuat Heni tak berkutik.
Mendengar ucapan Anton, Heni hanya bisa diam seribu bahasa. Kini tangisnya kembali mengalir membasahi kedua pipinya yang nampak pucat karena lelah raga dan jiwa.
Lalu tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam.
Tok... tok... tok
"Assalamualaikum"
"Waalaikum salam" Jawab bu Halimah yang sedang duduk di ruang tamu.
"Maaf, apa benar ini rumahnya bu Heni?" tanya pak Ahmad yang didampingi Alma dan Niken.
Sebenarnya Alma sudah sangat hafal dengan seluk beluk rumah ini, terutama keberadaan Heni juga. Tapi pak Ahmad yang menjadi juru bicaranya.
"Iya, benar Pak. Silahkan masuk dan monggo pinarak dulu." Jawab bu Halimah dengan bahasa Jawanya. Yang artinya mempersilahkan para tamu untuk duduk di sofa ruang tamu.
"Makasih, Bu." Jawab pak Ahmad hampir bersamaan dengan Alma dan Niken.
Lalu Alma bersalaman pada bu Halimah mantan mertuanya dengan mencium punggung telapak tangan kanan ibunya Anton itu.
"Nak Alma," sapa bu Halimah ramah.
Setelah itu Alma mendudukkan pantatnya kw sofa bersebelahan dengan Niken.
"Apa bu Heni ada di rumah? Kami ingin bicara dengannya. Kami dari pihak sekolah tempat bu Heni mengajar. " Kata pak Ahmad pada bu Halimah.
"Iya, Pak. Sebentar saya panggilkan." Bu Halimah beranjak dari tempat berdirinya, lalu melangkah masuk ke ruang tengah mencari menantunya itu.
Tapi didapatinya Heni sedang menangis di samping Anton. Bu Halimah tetap melanjutkan tujuannya untuk memberitahu Heni, ada tamu yang ingin ketemu dengannya.
"Hen, ada tamu di depan. Katanya dari pihak sekolah tempatmu mengajar. Ada Alma juga." Bu Halimah berkata sambil menatap heran pada anak dan menantunya yang mengisyaratkan ada masalah besar didalamnya.
Degg
Mendengar perkataan mertuanya itu, Heni sangat terkejut. Matanya terbelalak dan tubuhnya mendadak kaku. Apakah hari ini adalah hari naas buat Heni? Baru saja ia diceraikan suaminya, sekarang kedatangan tamu dari sekolah.
'Apa??? Tamu dari sekolah??? Ya... Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang??? Kepala ku rasanya pecah!!!' bisik Heni sambil meringis menahan pedih dalam hatinya.
"Ada masalah apa kami di sekolah? Kenapa sampai ke rumah ini, hah??" tanya Anton yang nampak heran.
"Ini semua gara-gara kamu!!! Aku jadi kena banyak masalah!!!" Jawab kena dengan nada ketus.
"Apa maksud mu??? Kenapa aku di bawa-bawa??? Dasar wanita tak tau diri!!!" Cibir Anton dengan muka nyinyir.
Ucapan lelaki yang akan menjadi mantan suaminya itu menambah beban dalam pikirannya saat ini. Heni masih belum beranjak dari duduknya. Ia nampak sangat bingung, sebaiknya apa dan bagaimana ia harus menjelaskannya nanti.
"Heni, cepatlah! Itu tamu mu sudah lama menunggu." Suara teguran bu Halimah membuyarkan lamunannya.
"Iii... iya, Bu. Aku akan segera temui mereka. Mas, masalah kita belum selesai!" Heni beranjak dari duduknua, lalu pelan-pelan mulai melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Ia melirik ke arah Anton sebentar, untuk mengingatkan.
"Hmm!" jawab Anton singkat dengan muka datar.
"Maaf Pak, lama menunggu." Sapa Heni pada Ahmad, ia tak menghiraukan dua tamunya yang lain, Alma dan Niken.
"Kami juga minta maaf, dengan terpaksa kami datang ke rumah bu Heni. Karena bu Heni tidak menanggapi surat pemberitahuan dari yayasan sampai tiga hari ini. Harusnya ibu tidak lari dari masalah, kalau memang ibu bertanggung jawab atas apa yang ibu lakukan sebelumnya di sekolah." Ucap pak Ahmad dengan tegas.
"Bu... bukan maksud saya ingin lari dari tanggung jawab, Pak. Tapi saya belum ada uang untuk menggantinya. Apa nggak ada kelonggaran buat saya?" Suara Heni bergetar karena panik.
"Kalau begitu kenapa bu Heni tidak membalas pesan dari yayasan? Seolah tak peduli begitu saja." Tanya pak Ahmad kembali.
"Ma... maafkan saya, Pak. Saya belum siap menjawab apapun dari pesan yayasan itu. Bukan karena saya nggak peduli." Heni tak berani menatap wajah para tamunya, ia memilih menundukkan kepalanya saat berbicara.
Nyalinya kini menciut, tak seperti biasanya. Nadanya sudah melemah, apalagi telah di terpa dahsyatnya kata cerai dari suaminya.
"Begini saja, bu Heni. Kami beri waktu pada ibu untuk mengembalikan uang sekolah paling lambat dua minggu setelah ini. Kalau dalam waktu dua minggu itu, ibu tak bisa mengembalikan, maka ibu tahu sendiri konsekuensinya." Ulas pak Ahmad dengan kalimat tegas namun tidak keras.
Kini nasib Heni, sudah jatuh tertimpa tangga, menyedihkan dan bikin prihatin. Tapi apa mau di kata, semua adalah hasil dari perbuatannya sendiri.
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...