Menjelang pagi, buru-buru Anton meraih ponselnya yang lagi di cas dalam kamarnya. Ia mencari sebuah nama untuk segera di hubungi.
Tak lama kemudian, Anton sudah mulai percakapannya dengan pak Zaini, ayah kandungnya.
(Halo, Ayah. Tania cucu ayah meninggal dunia. Tolong sampaikan pada Nita ya, Yah. Anaknya tadi malam sudah meregang nyawa. Maaf, kami tak sempat membawanya ke rumah sakit, karena sakitnya begitu mendadak.) Ucap Anton dalam sambungan telepon.
(Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Iya, Ton. Aku akan beritahukan Nita. Kami akan segera menuju ke sana.) Jawab pak Zaini sambil mengatur napasnya yang nampak berat karena kaget mendengar berita pagi hari ini.
"Ada apa, Yah. Siapa yang meninggal?" tanya Erik yang tak sengaja mendengar percakapan Pak Zaini ketika lewat di depannya, namun hanya terdengar samar-samar.
Adik Yuanita ini penasaran, setelah mendengar ayahnya mengucap kalimat Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sebagai pertanda ada kabar seseorang telah meninggal, pikirnya.
"Tania, anak dari Anton dan kakakmu meninggal dunia tadi malam. Kasihan anak itu, sejak lahir sudah menderita dan di buang oleh ibunya sendiri. Aku akan beritahukan kakakmu tentang hal ini." Jawab pak Zaini sembari berdiri dari duduknya dan melangkah menemui Yuanita yang sedang memasak di dapur.
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun." Ucap Erik dengan muka sedih.
"Kamu siap-siap ya, Erik. Bentar lagi ayah dan kamu melayat ke sana." Titah pak Zaini.
"Iya, Yah." Jawab Erik tanpa basa-basi.
Seperti biasa, Yuanita selalu menyempatkan waktunya untuk memasak dan menyibukkan diri di dapur setiap pagi sebelum ia siap-siap berangkat bekerja.
Karena tak ada lagi yang diharapkan. Pak Zaini dan Erik sesekali saja memasak, kalau Yuanita lagi sibuk dan tak sempat melakukannya. Anak sulung pak Zaini ini sudah terbiasa mandiri sejak ibunya meninggal karena sakit, saat ia masih tinggal di Jakarta.
"Hmm... pasti lezat ayam geprek buatan ku, aromanya bikin perut ku makin lapar." Ucap Yuanita sambil menggoreng ayam yang sudah hampir matang.
Tiba-tiba datanglah pak Zaini dengan langkah sedikit tergopoh-gopoh.
"Nita, Ayah baru dapat kabar dari Anton."
"Ada apa lagi dengan si pincang itu sih, Yah. Aku sudah nggak ada hubungannya dengan dia. Masih aja mengganggu ketenangan ku. Bikin sebel aja!!" Ucap Yuanita bersungut-sungut.
"Ini bukan masalah Anton, tapi dengan anak mu Tania. Semalam anak mu meninggal dunia karena penyakit jantung yang tiba-tiba menyerangnya." Jawab pak Zaini.
"Baguslah. Daripada hidup malah bikin masalah." Ucap Yuanita ketus tanpa ada rasa iba.
"Ya Tuhan, Nita. Apa kamu nggak sedih mendengar anak kandung mu sendiri meninggal?" tanya pak Zaini heran dengan sikap Yuanita.
"Sudah berapa kali aku jelaskan. Dia itu bukan anak ku. Itu anak Anton. Kenapa sih, selalu saja di ulang-ulang??" tanya Yuanita sambil mematikan kompor dan nyelonong duduk di meja makan. Lalu ia mengambil piring dan sepotong ayam goreng lengkap dengan sambel yang baru saja ia buat.
"Dasar manusia tak punya hati!!! Tega-teganya kamu bersikap seperti itu, Nita!!! Aku dan Erik akan segera ke rumah Anton. Kalo kamu nggak ikut ke sana, berarti kamu bukan manusia lagi!!!" Ucap pak Zaini sambil menatap tajam ke arah Yuanita yang dengan lahapnya menghabiskan sarapannya tanpa jedah. Dan tak terpengaruh sedikit pun dengan ucapan pak Zaini yang sedang berdiri di depannya.
"Lebih baik aku berangkat kerja. Daripada ke rumah Anton. Bikin susah aja." Jawab Yuanita acuh.
Pak Zaini sudah tak peduli lagi dengan sikap putrinya. Sudah sering kali ia dan anak sulungnya itu beradu argumen dan bertengkar karena sikap keras kepalanya Yuanita. Sampai lelaki tua itu sering mengalami kepala pusing mendadak dan hipertensi.
Selang beberapa menit saja, Pak Zaini dan Erik sudah siap menuju rumah Anton untuk melayat atas meninggalnya cucunya yang bernama Tania.
*
"Ada apa, Sayang? Sepertinya ada yang mengganggu pikiran mu." Tanya Alma nampak heran atas sikap Yunan yang tak seperti biasanya.
"Iya. Ada masalah di perusahaan. Tapi bukan masalah yang rumit sih. Bentar lagi pasti sudah terpecahkan." Jawab Yunan dengan tersenyum di sudut bibirnya.
"Ooo... Semoga kamu selalu sabar dan tetap tenang dalam menghadapi segala masalah. Bukankah itu yang kamu ajarkan pada ku, Mas." Ucap Alma kemudian.
"Hmm... benar, Sayang. Karena setiap kita melangkah pasti tak luput dari masalah. Semakin besar kadar masalah yang kita hadapi, semakin besar pula nilai dan hikmah yang terkandung di dalamnya." Jawab Yunan dengan bijak.
'Beruntung sekali aku punya suami yang sayang dan pengertian seperti kamu, Mas Yunan. Sudah ganteng, bijak, sabar dan selalu peduli pada sekitar. Terima kasih, ya Allah... atas anugrah-Mu yang besar ini." Bisik Alma dalam hati.
"Hai... ada apa memandang ku kayak gitu, Sayang. Aku jadi salah tingkah nih." Ucap Anton sambil menyentuh dagu istrinya dengan lembut.
"Hmm... nggak apa-apa, Mas. Aku kagum sama kamu dan aku bersyukur punya suami sehebat kamu." Puji Alma dengan tetap memandang suaminya yang masih duduk di sampingnya.
"Jadi besar nih kepala ku. Jangan bilang gitu dong. Ntar aku jadi lupa diri lho. Heheheee..." Kelakar Yunan sembari tangannya merangkul tubuh Alma yang sedang bersandar di tumpukan bantal.
"Oek... oek..." tangisan Devan memecah kesunyian di kamar berukuran besar itu.
Alma beringsut dari duduknya lalu gegas mendekati ranjang bayi berwarna biru, tempat anak laki-lakinya tidur.
"Haus ya, Sayang. Sini, mama gendong. Cup... cup..." Suara lembut Alma menggendong dan memangku bayinya di pinggir ranjang berdekatan dengan Yunan.
Kemudian ia keluarkan wadah ASI murni yang menempel di dada Alma. Bayi kecil itu mengenyot puting payudara Alma dengan lahapnya. Ia nampak sangat haus sampai terbangun dari tidurnya yang lelap.
"Hmm... jadi pengen nih. Enak ya, Devan." Ledek Yunan sambil memandang istri dan anaknya yang duduk di depannya.
"Papa pengen ya... hehehee..." Jawab Alma sembil menatap Yunan penuh arti.
"Jangan suka mancing! Ini adik ku udah ngantre dari tadi. Devan sekarang jadi saingan terberat ku, huh...!" Ucap Yunan sambil mencium pipi Alma yang putih kemerahan.
"Masak anak sendiri di bilang saingan sih, Mas. Ada-ada aja, deh. Baru aja aku kagum karena kesabaran mu. Eee... ternyata, kali ini kesabaran papa Devan langsung di uji, hehee..." Jawab Alma sambil terkekeh melihat kenakalan Yunan malam itu.
"Sampai kapan nih Devan neteknya, Sayang? Lama banget ya." Goda Yunan sambil mengelus kaki Devan yang sedari tadi bergerak-gerak di sela-sela bayi kecil itu menyedot ASI dari pabriknya.
"Sekenyangnya, Papa. Kalau sudah kenyang, pasti ia lepas sendiri dan tertidur pulas kembali." Ucap Alma sembari memandangi wajah Devan yang semakin hari semakin menggemaskan.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...