BAB 72. NAMA BAIK

761 50 16
                                    

Pagi ini Yunan, Alma bersama dua orang anaknya Tiara dan Angga sedang duduk di meja makan. Mereka sedang menikmati  sarapan, untuk memberi tenaga dalam menjalani aktifitas hari ini.

Suasana hangat selalu menyertai kebersamaan mereka. Ada sedikit canda tawa dan celetukan lucu dari Yunan yang selalu membuat keluarganya tersenyum ceria. Seperti kata Yunan berikut ini.

"Penampilan Tiara beda ya sekarang, parfumnya makin wangi. Jangan-jangan udah mulai jatuh cinta nih, anak gadis papa??" Yunan mengernyitkan alisnya.

"Biasa aja sih, Pa. Nggak wangi-wangi amat. Papa ada-ada aja." Jawab Tiara mengelak.

Alma dan Angga tersenyum menatap Yunan dan Tiara yang sedang adu argumen.

"Ma... Tiara sekarang tambah wangi kan? Tuh... kalo nggak percaya tanya Mama." Ucap Yunan.

Alma tertawa kecil sambil berkata, "Anak mama kan udah gede, nggak apa-apa kali, kalo mulai jatuh cinta, daripada jatuh bangun?" Jawab Alma sambil tersenyum menatap lembut ke arah Tiara yang duduk berhadapan dengan nya.

"Mama sama aja sama Papa. Udah, Ah... nanti ketinggalan masuk sekolah. Yuk Angga, kita berangkat!" Pamit Tiara gegas berdiri dari duduknya. Tak lupa ia mencium punggung telapak tangan kanan Yunan dan Alma dengan takzim. Diikuti Angga di belakangnya.

"Assalamualaikum, Pa, Ma." Ucap Tiara dan Angga hampir bersamaan.

"Waalaikum salam, Sayang." Jawab Yunan dan Alma sembari tersenyum pada kedua anaknya itu.

"Bentar lagi, Tiara lulus sekolah. Lalu mau ngelanjutin kuliah. Pasti ketemu banyak cowok di kampusnya. Semoga nggak ketemu cowok yang nyebelin." Ucap Alma pada Yunan sambil pandangannya masih menatap Tiara yang belum jauh berjalan di depannya.

"Cowok nyebelin itu kayak gimana, Sayang?" tanya Yunan sambil melirik isitinya.

"Nggak usah di tanyakan deh, Mas. Pasti kamu udah tau, tapi pura-pura nggak tau aja. Hmm..." Alma menjawab semaunya sambil berlalu mengambil tas kerjanya. Wanita yang sudah rapi dengan atasan batik dan bawahan warna hitam ini, sudah siap berangkat ke tempat tugas.

Yunan tersenyum melihat tingkah istrinya yang tak mau menyebut cowok nyebelin yang di maksud.

"Aku berangkat dulu ya, Mas." Pamit Alma, tak lupa mencium punggung telapak tangan kanan suaminya dengan takzim.

"Iya, Sayang. Hati-hati ya." Yunan membalas dengan mencium kening Alma dengan penuh kasih sayang.

***

"Aku dengar hari ini bu Alma sudah bisa datang ke sekolah. Kata bu Ida diklatnya sudah selesai." Ucap bunda Manda di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu wali murid yang  mengantar putra-putrinya berangkat ke sekolah.

"Iya to, Bun. Kalo gitu kita harus melaporkan uneg-uneg kita secepatnya. Jangan sampai anak-anak kita jadi korban." Kata Bunda Lala.

"Setuju, Bun. Kalau dibiarkan guru baru itu makin seenaknya sendiri. Kasihan guru-guru yang lain kena imbasnya. Betul nggak??" Bunda Corla menimpali.

"Iya, Betul"

"Aku setuju"

"Aku juga setuju"

"Betul, betul"

"Betul banget"

Suara dari ibu-ibu wali murid itu menunjukkan kalau mereka sudah tidak ada yang suka dengan keberadaan Heni di sekolah itu. Mereka semua tak rela, bila putra-putri di ajar oleh guru yang tak patut di tiru baik prilaku maupun ucapannya yang seenaknya sendiri.

Kini suara hati mereka sudah siap dikeluarkan, karena Alma sebagai kepala sekolah sudah akan datang di sekolah itu.

Sesaat kemudian, Alma telah memasuki halaman sekolah dengan mengendarai scoopy putih kesayangannya. Setelah memarkir sepeda motornya, ia melangkah menuju kantor guru.

"Selamat pagi, Bu Alma." Sapa bunda Manda yang segera menyambut kedatangan kepala sekolah itu dengan wajah berseri-seri.

"Selamat pagi. Apa kabar Bunda Manda?" Tanya Alma dengan senyum manis di bibirnya.

"Kalau bu Alma nggak repot, kami dari paguyuban mau bicara dengan ibu. Mungkin  nunggu anak-anak masuk dulu." Ucap bunda Manda yang merupakan ketua paguyuban.

"Oo... boleh, Bunda. Nunggu bel masuk dulu ya. Biar kita bicaranya lebih tenang." Alma menyetujui usulan bunda Manda itu.

Tiga puluh menit kemudian, belum masuk berbunyi dan semua murid-murid memasuki kelas masing-masing, karena acara lomba Agustusan sudah berakhir kemarin siang. Dan hari ini kegiatan belajar mengajar di kelas berjalan seperti biasanya.

Alma tetap duduk di ruang guru, sambil menunggu wali murid yang tergabung dalam paguyuban untuk mengutarakan masalahnya.

Tak lama datanglah mama Manda bersama lima wali murid lainnya sebagai perwakilan, menemui Alma.

"Maaf Bu Alma, kami mengganggu."

"Nggak apa-apa bunda, saya nggak merasa di ganggu. Monggo silahkan duduk dulu!"

Kemudian ke-enam wali murid itu sudah duduk di sofa panjang ruang guru.

"Ada apa bunda? Apa ada masalah?"

"Maaf sebelumnya. Saat bu Alma tidak berada di sekolah, kami melihat tindakan bu Heni tak patut di contoh apalagi diteladani oleh anak-anak. Guru baru itu suka membentak dan menggedor meja di depan anak-anak, sampai mereka menangis ketakutan.

"Sampai seperti itu? Maaf, selama ini saya nggak tahu kelakuan bu Heni sampai gitu." Ucap Alma sambil mengelus dada dan mengernyitkan alisnya.

"Kami semua nggak suka kalo bu Heni terus mengajar di sekolah ini. Bagaimana dengan perkembangan anak kami, jika gurunya saja bertindak seperti itu. Kami sebagai orang tua, berusaha tidak berlaku keras pada anak-anak kami. Lha kok ini di sekolah malah diperlakukan seperti itu???" Penjelasan bunda Manda panjang lebar agar tidak terjadi salah paham.

"Terima kasih informasinya Bunda. Saya secara pribadi mohon maaf, karena baru tau sekarang apa yang terjadi pada guru baru ini. Saya akan mengambil tindakan dan melaporkan keluhan dari bunda-bunda semua pada yayasan." Ucap Alma dengan bijaksana.

"Kalau begitu, kami mohon pamit dulu, Bu Alma." Ucap bunda Manda di ikuti pula oleh yang lain.

Kini Alma merenung sendiri di ruang guru. Keberadaannya untuk pertama kali datang ke sekolah setelah mengikuti diklat di luar kota, ternyata mendapat berita yang kurang baik. Apalagi menyangkut Heni yang dari awal, ia tidak suka mengajar di tempat ini.

'Hmm... Heni. Kamu pernah mengancam ku akan merusak reputasi ku di sekolah ini. Ternyata kamu sendirilah yang merusak nama baik mu. Kamu sudah di kasih kesempatan untuk memperbaiki diri, tapi kamu sia-siakan. Aku nggak boleh tinggal diam. Yayasan harus segera tahu tentang masalah ini.' Ucap Alma dalam hati.

*

Bel istirahat tiba. Seperti biasa para guru juga istirahat di ruang guru. Saling cerita, bercengkrama satu sama lain. Tapi beda dengan Heni, mulutnya mulai julid pada Alma.

"Enak juga jadi kepala sekolah. Bisa jalan ke mana-mana, gratis lagi." Ucap mantan sahabat Alma itu.

"Kamu mau jadi kepala sekolah juga, Hen? Kalau gitu kamu harus bisa mengelola pengajaran, seperti memimpin pendidikan, menyusun program sekolah, menyusun jadwal pelajaran, mengatur kegiatan penilaian, dan lainnya. Bukan cuma nyari enaknya, bu Heni yang terhormat." Jawab Alma dengan geram sambil menatap tajam ke arah wanita yang duduk di pojok ruangan itu.

Mendengar jawaban Alma. Niken, Ida dan guru yang lain tersenyum sinis ke arah Heni.

"Kamu kira mudah memegang tanggung jawab jadi pemimpin di sekolah? Kamu ngadepi anak di kelas aja seenaknya sendiri. Anak-anak kamu bentak dengan keras, meja kamu gedor biar anak diam. Apa itu tindakan yang baik untuk mendidik mereka??? Kalau kamu nggak suka sama anak-anak, jangan paksakan dirimu jadi guru TK." Ucap Alma dengan tegas.

"Lagak mu Al... Baru datang dari diklat udah sok pinter. Kata siapa aku seperti itu, hah? Kamu jangan merusak nama baik ku di sekolah ini dong! Aku lakukan itu bukan karena aku nggak sayang sama anak-anak, tapi karena aku tegas, nggak kayak kamu!" Bentak Heni sambil jarinya nunjuk ke wajah Alma, di depan semua guru.

"Aku yang bertanggung jawab di sekolah ini. Kalau ada yang nggak beres, harus segera aku laporkan ke yayasan!" Balas Alma dengan nada tegas, tapi tidak membentak.

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang