BAB 77. BAGAI TERSAMBAR PETIR

798 39 4
                                    

"Ibu percaya, Ton. Kamu nggak akan bohong sama ibu. Tapi apa kamu sudah pikirkan masak-masak tentang perceraian kamu sama Heni? Kamu sudah pernah gagal sama Alma, apa kamu akan gagal lagi sama Heni, Ton?? Ibu bisa terima kok, Heni akan belajar menjadi menantu yang baik. Sekarang saja, ia sudah mau membantu ibu dan Adel memasak dan bersih-bersih rumah." Kata bu Halimah yang kurang setuju dengan keputusan putranya.

"Aku sudah hafal watak Heni, Bu. Aku yakin, itu pasti cuma sementara. Nanti kalau sifat aslinya kambuh, maka ibu dan Adel akan di buat sesuka hatinya seperti yang sudah-sudah." Anton berusaha meyakinkan ibu kandungnya dengan berbagai cara.

"Lalu, dimana Heni dan anakmu akan tinggal, Ton. Heni kan sudah nggak punya siapa-siapa?"

"Gampanglah, Bu. Kalau tanah itu sudah terjual, nanti aku sisihkan sedikit biar bisa buat kontrak rumah setahun untuk Heni dan anakku, sesudahnya biar Heni yang berusaha sendiri.

'Setahuku tanah yang diwariskan pada ku sangat luas, apalagi tanah itu letaknya juga strategis. Pasti akan terjual mahal. Dan aku akan mendapat uang yang banyak. Aku bisa membayar hutang ku. Aku bisa membahagiakan Yuanita dan memulai hidup baru dengannya. Hmm...' pikiran Anton melambung tinggi ke atas awan.

"Ibu nggak bisa berbuat banyak, Ton. Yang ibu harapkan kamu bisa menemukan kebahagiaan. Ku lihat juga, kamu nggak pernah nyamperin anak dan istrimu akhir-akhir ini. Selalu pulang pagi, lalu istirahat sebentar dan siap-siap berangkat kerja lagi." Bu Halimah mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini ia simpan rapat-rapat, karena Anton tak memberinya kesempatan bicara.

"Itu lah, Bu. Aku sudah muak lihat Heni di rumah ini. Daripada ketemu wanita yang nyebelin itu, lebih baik aku tidur di rumah teman ku, Bu." Jawab Anton tanpa beban.

Bu Halimah berkali-kali menghela napas dalam-dalam. Wanita yang sudah menua itu tak bisa mencegah kemauan putranya yang sangat di sayanginya.

"Terserah kamu, Ton. Semoga usahamu nanti lancar dan kamu bisa menemukan kebahagiaan." Kata bu Halimah sembari menatap wajah Anton dengan lembut, kasih sayangnya tak terbatas diberikan pada anak pertamanya itu.

"Iya, Bu. Terima kasih atas doanya." Anton mencium punggung tangan ibunya dengan sangat takzim, tak seperti biasanya. Karena untuk kali ini ada udang di balik rempeyek, eee... dibalik batu, he he he...

Akhirnya tujuan yang ia capai sudah mendapat titik terang. Sebentar lagi, ia akan mengutarakan niatnya pada Heni. Tinggal menunggu waktu yang tepat, agar semua bisa berjalan dengan baik sesuai rencananya.

"Bu, aku pamit dulu ya." Dengan wajah berseri-seri Anton beranjak dari duduknya dengan pakaian rapi dan jaket kulit di tangannya.

"Iya, Ton. Hati-hati di jalan." Pesan bu Halimah dengan senyum bangga pada putranya. Walau Anton lebih sering membuatnya kecewa, tapi sebagai seorang ibu, bu Halimah tetap bangga memiliki anak seperti Anton.

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Demikian ungkapan yang tepat untuk menggambarkan luasnya kasih sayang seorang ibu pada anaknya tak ada bandingnya sampai kapan pun jika di hitung. Sedang anak tak sedikit yang sering dengan sengaja mengecewakan bahkan menyakitkan hati ibunya.

Lalu Anton segera membalikkan badan dan meninggalkan rumah dengan mengendarai kuda besinya menuju tempat kerjanya.

"Lho, Hen. Ini sudah siang! Kenapa kamu masih di rumah? Apa nggak ngajar lagi sekarang??" tanya bu Halimah yang melihat Heni keluar dari kamar sambil menggendong Putri, dengan daster selututnya.

"Iii... iya, Bu. Hari ini aku nggak ngajar dulu. Badanku kurang sehat, kepala ku pusing sekali." Jawab Heni beralibi.

Tentang kepalanya yang pusing, semua itu disebabkan karena masalah yang menumpuk di kepalanya. Masalah di sekolah, masalah suaminya, masalah pembayaran penitipan anak, juga masalah cicilan sepeda motor yang belum tahu sumbernya ia dapat darimana untuk membayarnya.

"Kalau begitu kamu istirahat saja, Hen. Mungkin karena kecapekan."

"Iya, Bu. Mas Anton apa sudah berangkat kerja lagi, Bu?"

"Iya, Hen. Baru saja berangkat. Apa kamu nggak di pamiti sama suamimu?"

"Hmm... nggak, Bu." Heni menjawab sambil menghela napas dalam-dalam.

"Mungkin tadi nggak sempat, karena sudah siang." Bu Halimah menutupi kesalahan Anton. Begitulah bu Halimah, apapun kesalahan Anton, pasti selalu di tutupi dan di lindungi.

"Iya, Bu. Aku mau istirahat dulu." Jawab Heni menundukkan kepalanya dengan lesu dan melangkah menuju kamarnya kembali sambil menggendong anaknya.

Bu Halimah menatap menantunya itu dengan iba. Sebenarnya ia kasihan melihat nasib Heni, tapi apa boleh buat. Perlakuan Heni padanya juga tak bisa di maafkan begitu saja. Karena bu Halimah merasakan akhir-akhir ini Heni mulai baik dan sering meluangkan waktunya membantu pekerjaan di dapur dan sebagainya, tapi kayaknya ini cuma sandiwara Heni saja. Untuk berpura-pura baik agar ia diperbolehkan tetap tinggal di rumah itu.

'Kalau perceraian Anton dan Heni terjadi, berarti Anton telah dua kali gagal dalam membina pernikahannya. Ya Tuhan... sampai kapan Anton seperti ini. Mudah-mudahan ia tak salah jalan dan segera menemukan wanita yang terbaik untuk mendampinginya nanti.' Bisik bu Halimah dalam hati.

*

'Mas Anton, padahal kamu tadi sempat pulang ke rumah. Tapi mengapa tak ada waktu sedikit pun untuk aku dan anakmu, Mas? Sebenarnya banyak yang ingin aku sampaikan ke kamu, tapi aku tak bisa. Lebih baik ku simpan saja dalam pikiran ku, semua masalah yang aku hadapi ini. Kalau pun akhirnya aku akan di keluarkan dari tempat ku mengajar, aku akan terima. Daripada aku datang ke sana, tapi semua mata memandang sinis pada ku. Toh, apa yang dikatakan Alma tentang ku semuanya benar. Kenapa tujuan ku menghancurkan Alma, akhirnya memporakporandakan nasibku sendiri sih??? Huh... apa karena aku kurang bisa atur strategi atau karena aku kurang sabar menghadapi anak-anak. Aaahh... Sudahlah. Semua sudah terjadi, biarlah terjadi. Yang penting aku aman hidup di rumah ini. Besok aku akan mencari pekerjaan yang lain. Yang penting nggak menjadi guru TK. Bikin kepala ku puyeng tiap hari, huhh." Gerutu Heni yang merenungi nasibnya saat ini.

Lalu ia mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Setelah menyalakan benda pipih itu, ia sangat terkejut ketika membaca pesan dari yayasan. "Apa??? Aku diberhentikan oleh yayasan dan harus mengganti uang yang aku bawa??? Gimana ini???"

Wajah Heni tiba-tiba memerah menahan panik, apalagi setelah membaca pesan yayasan yang kedua. Bagai tersambar petir di siang bolong. "Hahh... aku akan dipidanakan kalau aku nggak mau mengganti uang sekolah itu??? Waduh... tolong aku Mas Anton!?!? Apa yang harus aku lakukan??? Dengan apa aku harus membayar semuanya, sedang uang itu sudah habis untuk membayar sebagian ke penitipan anak dan belanja sehari-hari??? Kenapa yayasan bertindak sekejam itu padaku??? Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan sekarang???"

***

BERSAMBUNG... 

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang