Bu Halimah kini tak bisa beristirahat dengan tenang. Setelah Heni memutuskan bekerja dan mendapat restu dari Anton, Putri Maharani anak dari Heni dan Anton, menjadi tanggung jawab wanita yang sudah berusia enam puluh tahun itu.
Dengan terpaksa, ia menjadi pengasuh cucunya sendiri yang seharusnya bukan menjadi tugasnya. Tapi memang tak ada pilihan lain, semua dilakukan untuk kebaikan anak dan menantunya.
"Bu, aku berangkat kerja dulu ya. Titip Putri sebentar. Siang aku sudah pulang." Pamit Heni pada bu Halimah, ketika akan berangkat ke sekolah tempat ia bekerja.
Ia menitipkan anaknya pada mertuanya mulai jam setengah tujuh sampai jam satu siang. Heni bertekad ingin memulai menjadi guru, satu sekolah dengan Alma. Bu Halimah dan Anton tahunya seperti itu. Padahal tujuan utamanya tak demikian.
Dalamnya laut bisa di ukur, dalamnya hati siapa yang tahu. Ya... begitulah, isi hati seseorang tak dapat di tebak.
"Hen, apa kamu nggak kasihan sama ibu. Harusnya ibu harus banyak istirahat karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah. Eee... malah dititipin anak. Katanya kamu sanggup bayar pengasuh?" Protes Adel tak terima dengan keputusan Heni dan Anton.
"Ini cuma sementara, Del. Kalo aku sudah dapat pengasuh, pasti nggak akan minta bantuan ibu lagi." Jawab Heni membela diri.
"Hmm... mau sampai kapan?" tanya Adel sambil memicingkan matanya. Seolah ia tak percaya dengan janji Heni. Adel punya firasat, kalau ibunya akan dijadikan pengasuh selamanya.
"Ya... kalo aku sudah ketemu pengasuh yang pas buat Putri. Nyari pengasuh itu nggak mudah lho, Del. Jadi nggak boleh gegabah. Kalo asal-asalan bisa jadi korban anakku. Apa kamu mau, keponakanmu celaka gara-gara di asuh orang yang nggak tepat?" Alasan Heni panjang lebar untuk meyakinkan adik iparnya.
"Oke. Tapi, jangan lama-lama nyari pengasuh. Aku nggak akan biarkan ibu ku mengasuh Putri hingga kelelahan dan akhirnya sakit. Ingat itu, Hen!" kata Adel sembari menatap lekat kedua mata Heni, untuk menunjukkan kesungguhannya.
"Iya, Del. Kamu nggak usah khawatir. Sudah, ah. Aku mau berangkat dulu. Entar telat masuk kelas, jadi masalah lagi." Heni membalikkan badan, lanjut melangkah keluar rumah dengan menuntun sepeda motor barunya.
Ia sengaja membeli sepeda motor baru untuk menemaninya berangkat dan pulang mengajar, walau kuda besi itu dibelinya dengan cara kredit. Prinsip Heni, yang penting penampilan meyakinkan, bayar kredit di pikir belakangan.
Sementara Anton masih di rumah. Suami Heni ini akan berangkat kerja satu jam kemudian. Demikian juga dengan Adel. Ia akan berangkat kerja hampir bersamaan dengan kakaknya.
"Mas.. Kenapa Mas tega sih, biarin ibu yang mengasuh Putri? Apa Mas Anton nggak kasihan sama ibu? Harusnya semakin tua, jangan kasih beban berat pada ibu. Ini malah di suruh mengasuh bayi. Aku aja nggak sanggup, Mas." Adel masih saja menggerutu dan nggak terima melihat ibunya diberi beban tambahan.
"Sudahlah, Del. Lagian ibu kan cuma sampai siang ngasuh Putri. Habis itu, Heni yang kembali ngasuh Putri. Ibu aja nggak nolak, kenapa kamu yang sewot sih???" protes Anton geregetan.
"Gimana ibu bisa nolak? Mas Anton dan istrimu maksa gitu?? Aku yang nggak terima, Mas! Mas Anton udah numpang hidup di sini, nambah beban ibu lagi. Mikir dong, Mas!!!" Adel masih ngotot.
"Denger, Del. Aku dan kamu sama-sama anak ibu. Ngapain kamu bilang aku numpang, hah? Kalo kamu nggak suka, aku sama Heni di rumah ini, kamu aja yang keluar dari sini!!!" Sahut Anton dengan suara lebih keras karena kesal.
"Apa Mas Anton lupa? Dulu Mas pernah bilang, sementara tinggal di rumah ini. Kalo sudah punya kerjaan akan nyari kontrakan, biar nggak jadi beban ibu. Sudah pikun, Mas???" Adel juga tak mau kalah.
"Sekali lagi aku tegaskan! Kalo kamu nggak suka aku dan Heni di rumah ini. Silahkan kamu yang keluar dari sini!!!" Anton naik pitam. Ia dengan tegas mengusir adiknya. Matanya melotot sambil tangan kanannya mengarah keluar pintu, untuk menunjukkan kesungguhannya.
"Aku nggak habis pikir. Aku punya kakak seperti kamu, Mas. Dari dulu bisanya nambah masalah saja. Ayah kena serangan jantung sampai meninggal, itu juga ulah dari kamu, Mas. Dan sekarang, ibu sudah tua, malah kamu bebani ngasuh anakmu. Mau sampai kapan, kamu terus-terusan seperti itu, Mas???"
Kini suara Adel tak keras lagi. Suaranya melemah, karena hatinya mulai terluka atas ucapan kakaknya. Wanita muda ini tak tahan atas pengusiran Anton terhadap dirinya. Hati wanita tak sekuat laki-laki, ia mudah terenyuh dan mengeluarkan air mata.
"Makanya jangan sok ngatur hidupku, Del. Atur aja hidup mu sendiri. Kamu belum tahu bagaimana rasanya berkeluarga." Ucap Anton yang kini tak lagi keras suaranya, karena melihat adiknya menangis di depannya.
Tiba-tiba datang bu Halimah sambil menggendong cucunya. "Ada apa ini, kenapa ribut-ribut?"
"Nggak ada apa-apa, Bu." Dengan cepat Adel menjawab pertanyaan ibunya, sambil gegas mengelap air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Aku mau siap-siap berangkat kerja dulu, Bu." Pamit Anton sambil membalikkan badan menuju kamar mandi.
"Iya, Ton." Jawab bu Halimah dengan wajah datar.
Kini tinggal Adel dan bu Halimah yang ada di ruang tengah. Adel masih menundukkan pandangannya untuk menyembunyikan kesedihannya.
"Del, apa ada masalah? Kenapa kamu bertengkar dengan kakak mu?" tanya bu Halimah sambil menatap wajah Adel.
"Ng... nggak ada apa-apa, Bu. Apa ibu nggak capek mengasuh Putri sendirian di rumah nanti?" tanya Adel.
"Nggak lah, Del. Asal Putri nggak rewel, pasti ibu nggak capek. Apa karena itu, kamu bertengkar sama kakak mu?" tanya bu Halimah lagi.
"Hmm... Kalo ibu capek, ngomong terus terang aja sama Mas Anton. Jangan sampai ibu sakit karena capek, Bu." jawab Adel sambil memandang teduh wajah ibunya.
Adel sangat menyayangi ibunya. Itulah sebabnya, ia rela bekerja apapun untuk mengurangi beban orangtuanya yang waktu itu mengalami kebangkrutan dalam berbisnis. Sampai ia tak melanjutkan kuliahnya dan memilih mencari pekerjaan apa saja, yang penting halal. Dan hingga saat ini, ia masih saja bersikap demikian.
Sebaliknya, Anton sebagai anak pertama, harusnya menjadi contoh yang baik untuk adiknya, justru selalu menjadi masalah dalam keluarga.
Tapi, bagaimana pun juga, bu Halimah tak pernah memarahi dan tegas pada Anton. Ia sangat menyayangi Anton lebih dari Adel. Ya... kalau tahu siapa sebenarnya ayah kandung Anton? Pasti readers sudah membaca BAB 16 bukan? Kalo belum, silahkan mampir ke sana, pasti menemukan jawabannya.
"Del, ini sudah siang. Apa kamu nggak siap-siap berangkat kerja?" tanya bu Halimah.
"Oh iya, Bu. Jangan terlalu capek ya, Bu. Kalo Putri sudah tidur, usahakan ibu tidur juga." Pesan Adel pada sang ibu tercinta.
"Iya, Del." Bu Halimah tersenyum mendengarnya.
***
BERSAMBUNG...
Jangan lupa like, komen & penilaiannya ya readers. Karena itulah penyemangat ku dalam melanjutkan cerita. Makasih banyak❣️❣️❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomansaSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...