BAB 12. BEBAN ORANG TUA

2.4K 94 1
                                    

Tok... tok... tok

Tangan Anton mengetuk pintu rumah orang tuanya dengan agak ragu. Dadanya kembang kempis mengurangi ketegangan yang menyelimuti gemuruh kegelisahannya. Sebenarnya laki-laki yang kelihatan lelah ini ragu untuk pulang ke rumah ini. Tapi... tak ada pilihan lain, terpaksa ia dan istri barunya mengambil pilihan untuk mencoba tinggal di sana.

"Siapa sih, malam-malam gini bertamu?", gerutu bu Halimah, ibu kandung Anton yang sudah berusia 60 tahun. Ketika ia sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur, karena kantuk yang sudah melanda di pelupuk matanya. Agak kesal, wanita yang mulai beruban itu turun dari ranjang.

"Ada apa bu, katanya lelah, mau tidur. Mau kemana lagi?", tanya pak Hasan suami bu Halimah, yang tak lain adalah ayah kandung Anton, usianya lebih tua 8 tahun dari istrinya.

"Itu tuh... Ada tamu lagi ketuk pintu, masak kamu nggak denger?", sambil berjalan tertatih, bu Halimah menyempatkan menjawab pertanyaan sang suami.

"Oh iya bu... Ini kan sudah jam 10 malam, siapa ya???", pak Hasan penasaran dengan  tamunya, sambil melihat jam yang menempel di dinding kamarnya.

Ceklek

Bu Halimah membuka pintu depan dengan hati-hati.

"Assalamualaikum, ibu...", sapa Anton membuka percakapan dengan senyum penuh harap, padahal dalam hatinya harap-harap cemas. Ia mengulurkan tangan kanannya, sembari mencium telapak tangan ibunya dengan takzim.

"Lho kamu Anton... Waalaikum salam, kenapa malam-malam gini kemari???", dengan terkejut bu Jamilah menerima kedatangan putra pertamanya diiringi senyum di sudut bibirnya.

Wanita yang mulai menua itu menatap tajam ke arah belakang punggung Anton. Dengan terheran-heran ia melihat penuh selidik, dari ujung rambut sampai ujung kaki, sosok wanita paruh baya yang tak berani membalas tatapan matanya. Heni menundukkan kepalanya, ia bergetar menghadapi ibu mertuanya yang sekarang sudah di depan mata.

"Siapa itu Ton...???", tanya bu Halimah dengan mengerutkan alisnya.

"Hmm... i...ni Heni is...tri baruku bu", dengan terbata-bata dan dada sesak menahan gelisah, Anton mencoba memperkenalkan wanita di belakangnya yang sedari tadi belum berani mengangkat kepalanya.

"Apaaa??? Istri baru??? Kamu nikah lagi Ton???", bu Halimah bertanya dengan suara kencang karena syok mendengar penjelasan putranya yang membawa berita yang tak diharapkan.

"Hmmmm... Anton akan jelaskan bu, boleh kami masuk dulu???", Anton meminta dirinya untuk masuk sambil sesekali melihat ke dalam rumah. Dalam hati ia takut menghadapi ayahnya, jika mengetahui maksud kepulangannya malam ini.

Kalau dengan ibunya, Anton masih bisa agak tenang, tapi tidak bila ia bertemu dengan ayahnya, yang notabene bersikap keras dan tak jarang melampiaskan kemarahannya dengan kekerasan fisik.

Pengalaman masa kecil Anton masih tersimpan rapi dalam memorinya. Ketika ia pulang kemalaman karena bermain dengan teman-temannya, sang ayah menamparnya dan tak segan-segan mengusirnya jika ia mencoba melawan perkataannya.

Ia juga pernah tak dikasih uang jajan selama seminggu, saat Anton melakukan kesalahan yang tak disengaja. Ia bermain petasan hingga membangunkan ayahnya saat lagi tidur siang.

Sebelum ibunya mempersilahkan Anton dan Heni masuk, seorang lelaki berambut putih, wajahnya juga mulai keriput, berjalan perlahan menuju ke arah ruang tamu.

"Ada siapa bu, kenapa ribut-ribut?", lelaki itu bertanya sambil menatap ke arah pintu masuk, disana berdiri mematung dua tamu yang tak berani membalas tatapannya.

"Eee...mm... Ini Anton dan istri barunya pak", bu Halimah menjelaskan sambil berusaha menutupi kegusarannya, takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena bu Halimah sudah hafal, bagaimana karakter suaminya itu.

"Kamu Ton??? Sama istri baru???", pak Hasan terperanjat mendengar penjelasan bu Halimah. Lalu ia mendekat ke arah Anton, dan segera melihat wanita di belakang punggung putranya itu dengan alis mengkerut.

"Biarkan Anton dan istrinya masuk dulu pak, biar semua bisa jelas", Bu Halimah mempersilahkan kedua tamunya masuk dan duduk di sofa ruang tamu dengan muka tegang.

"Makasih bu", Anton melangkah masuk samb mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan ayahnya.

Sementara Heni mengikuti melakukan hal yang sama dengan melangkah ragu dan bibir tak berani berucap, keringat dingin membasahi tubuhnya saking takutnya.

"Apa yang terjadi sama kamu Ton, mana anak istrimu, sudah lama kamu nggak kasih kabar, sekarang pulang-pulang bawa istri baru".

Deretan panjang pertanyaan dari mulut pak Hasan pada putranya yang duduk dengan tak tenang. Kedua kakinya digesek-gesekkan untuk mengurangi kegelisahannya.

Sementara Heni masih saja diam seribu bahasa. Ia belum berani mendongakkan kepalanya, karena dalam hati ia mengaku salah telah berselingkuh dengan Anton, akibatnya sekarang jadi suami istri.

"Aku dan Alma sudah bercerai 6 bulan yang lalu, Tiara anakku ikut Alma. Maafkan aku belum sempat kasih kabar ayah dan ibu", Anton berusaha menjelaskan pada orang tuanya, perihal keadaan rumah tangganya bersama Alma.

"Nggak ada angin, nggak ada hujan, kenapa kamu cerai sama Alma??? Setahuku ia istri yang baik, tak pernah menuntut kamu nafkahi, pasti kesalahan ada di kamu, Ton???"

Ayah Anton mulai naik pitam, sambil menghela napas panjang, lelaki tua itu menatap ke arah Anton dengan mata merah menahan amarah.

"Hmm... Bukan begitu yah... Alma sudah punya pria lain, dan aku diusir dari rumahnya", Anton mencoba beralibi menutupi kebohongan besar yang dilakukan bersama wanita di sebelahnya.

"Aku nggak percaya, kamu pasti bohong, Alma istri yang baik, justru kamu dari dulu yang seenaknya sendiri. Apakah itu alasannya kamu lama nggak kasih kabar ayah dan ibumu Ton???", pak Hasan mengangkat wajahnya sambil meninggikan suaranya karena amarah yang makin memuncak.

"Bukan begitu yah, a...aku...", Anton mencoba berkelit, ia mulai mencari alasan, tapi kalimatnya terhenti oleh bentakan suara ayahnya.

"Besok aku akan tanyakan langsung ke Alma, apa yang sebenarnya terjadi. Aku lebih percaya dengan menantuku daripada kamu, Ton". Pak Hasan memicingkan bibirnya, sembari meninggalkan Anton, Heni dan bu Halimah yang masih duduk di sofa.

Anton terdiam sambil menelan salivanya guna membasahi tenggorokannya yang mulai mengering.

"Sudahlah... Kamu dan istrimu istirahat dulu, tempati kamar yang dulu jadi kamarmu, Ton", sesaat kemudian bu Halimah beranjak dari duduknya, ia meninggalkan dua tamunya dengan muka kesal.

"Iya bu, makasih", Anton menimpali dengan sedikit lega.

Pria yang makin terlihat lelah itu menatap ke arah Heni sambil menatapnya dengan muka datar. Lalu Anton melangkah diikuti Heni, menuju kamar belakang, sesuai petunjuk bu Halimah.

"Mas... Apa yang harus kita lakukan? Aku takut kalau orang tuamu tau yang sebenarnya, kita malah di usirnya", Heni mulai membaringkan tubuhnya diatas ranjang, apalagi dalam keadaan hamil empat bulan. Ia tampak sangat lelah diliputi kecemasan dalam pikiran dan hatinya.

"Kita istirahat dulu, besok kita pikirkan lagi, aku sangat lelah", Anton memejamkan kedua matanya yang sudah menahan kantuk, karena lelah dan beban hidup yang makin berat, buah dari perbuatannya sendiri.

***

BERSAMBUNG...

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang