Malam makin larut, Heni tak kunjung keluar dari kamar sejak siang tadi. Terdengar tangisan Putri anak perempuannya yang masih bayi. Apa yang terjadi? Tak biasanya anak Anton dan Heni menangis sekencang itu, hingga membangunkan tidur lelapnya bu Halimah dan Adel yang kamarnya bersebelahan.
"Oek... oek... oek..." suara tangis Putri di tengah malam yang sunyi, membangunkan seluruh penghuni rumah.
'Ada apa ya? Kenapa Putri nangis sekencang itu?? Apa yang terjadi???' teriak Adel dalam hati saat terbangun dari tidurnya.
'Kenapa cucu ku menangis seperti itu? Tak biasanya tengah malam menangis tak henti-henti??' bisik bu Halimah yang juga terbangun dan segera melangkahkan kakinya menuju kamar Heni.
"Bu... ibu terbangun juga? Kenapa ya, Putri nangis sekencang itu??" Sapa Adel ketika berpapasan dengan ibunya.
"Iya, Del. Ayo kita lihat ke sana! Ibu jadi kuatir." Ajak bu Halimah lanjut berjalan lebih cepat menuju kamar Heni yang terletak paling belakang.
Sesampainya di depan pintu, Adel mengetuknya.
Tok... tok... tok...
"Hen... Heni... Kenapa Putri, Hen??" tanya Adel dari balik pintu.
Tapi ketukan pintu dan panggilannya tak ada respon dari penghuni kamar. Tangisan Putri tak juga mau berhenti, membuat bu Halimah makin panik.
"Coba kamu ketok lebih keras, Del! Biar Heni dengar," Ucap bu Halimah.
Tok... tok... tok... tok... tok...
Sudah berkali-kali Adel mengeraskan suara ketokan pintunya, tapi belum juga ada respon dari Heni.
"Aku akan buka paksa aja, Bu! Kenapa perasaanku nggak enak ya, Bu?" Kata Adel dengan muka panik.
"Ambil kunci di laci lemari ibu, Del. Semua kunci cadangan ibu simpan di sana." Perintah bu Halimah yang tak kalah paniknya.
Lalu gegas Adel berlari menuju kamar ibunya dan segera mencari kunci yang dimaksud. Setelah beberapa saat, barang yang dicaripun ketemu. Adik Anton itu secepatnya berlari kembali menuju kamar Heni.
Satu-persatu di cobanya kunci cadangan itu, akhirnya ketemu yang pas juga. "Nah... ini, Bu. Sudah ketemu kuncinya yang pas." Adel memutar gagang pintu dan membukanya dengan perlahan.
Ceklek
Adel memindahi seluruh isi kamar yang nampak gelap, sepertinya Heni sengaja memadamkan penerangan yang ada di kamar itu. Dengan sedikit cahaya yang masuk dari pintu kamar, Adel mencoba menyalakan skakel lampu.
Dan... mata Adel terbelalak menatap pemandangan di depannya, "Heniii...!!! Apa yang terjadi??? Astaghfirullah..."
"Heniiii!!! Kenapa kamu lakukan ini, Hen??? Astaghfirullah... aku nggak nyangka kamu senekad ini, Hen???" teriak bu Halimah sambil menangis menatap sosok wanita berlumuran darah yang keluar dari pergelangan tangannya.
"Bangun, Hen!! Banguuun...!!!" teriak Adel sambil menggoyang-goyangkan pundak kakak iparnya itu dengan histeris.
Bu Halimah mendekati cucunya dan berusaha menenangkan dengan cara menggendong dan memeluknya erat-erat. "Cup... cup, Sayang. Sini nenek gendong ya...!" suara bu Halimah bergetar, memandang Putri yang menangis dengan kerasnya hingga wajah bayi mungil itu memerah.
"Bu, a... aku akan hubungi bu Santi. Moga bisa langsung ke sini dan segera memeriksa keadaan Hen." Ucap Adel terbata-bata karena sangat panik melihat darah merah segar yang berceceran membasahi lantai kamar.
Sedang Heni tergolek lemah di atas lantai dengan mata tertutup dan wajahnya yang sudah pucat pasi. Rambutnya acak-acakan, terlihat dengan jelas si empunya sedang mengalami tekanan mental yang sangat berat.
Adel mengambil ponselnya di kamar, lalu secepatnya ia menghubungi bu Santi, bidan yang rumahnya dekat dengannya. Setelah beberapa saat, akhirnya panggilan itu di terima.
(Halo... bu Santi, maaf malam-malam mengganggu)
(Ada apa mbak Adel?) jawab bu Santi dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
(Bisakah saya minta tolong, Bu Santi datang ke rumah saya sekarang, Bu. Kakak ipar saya sengaja bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Keadaannya sangat memprihatinkan)
(Astaghfirullah... ya mbak Adel. Saya segera ke sana)
Bu Santi segera menutup sambungan teleponnya. Tapi Adel bisa sedikit lega, akhirnya ada solusi untuk melihat kondisi istri kakaknya itu.
Tak berapa lama, bu Santi sudah sampai di rumah Adel.
"Silahkan, Bu. Kakak saya ada di kamar belakang" Adel memberi petunjuk pada bidan itu.
Dengan berjalan cepat, keduanya menuju kamar yang di maksud. Bu Halimah sedang menunggu di kamar Heni sambil berlinangan air mata. Menatap sang menantu yang sudah tak berdaya dengan bersimbah darah segar.
Bu Santi mengeluarkan stetoskop dari tas besarnya. Adel membaringkan tubuh Heni yang lemah lunglai masih di atas lantai kamar.
Bu Santi menempelkan alat itu pada dada Heni dengan seksama, untuk mendengarkan suara detak jantung dan mendeteksi kelainannya. Sesaat kemudian...
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun, bu Heni sudah meninggal, Mbak." Ucap bu Santi lirih dengan wajah sendu menatap Adel yang duduk di sebelahnya.
"Innalillahi wainna ilaihi rojiuuun..." Jawab Adel dan bu Halimah hampir bersamaan dengan suara bergetar.
"Heniiii... kenapa kamu lakukan ini??? Aku nggak menyangka kamu akhiri hidupmu seperti ini, Heeennn!!!" teriak bu Halimah menangisi jasad Heni yang tergeletak di lantai yang dingin.
"Sepertinya bu Heni sudah lama menyayat pergelangan tangannya, hingga tak bisa di tolong lagi. Maaf, bu Halimah. Saya nggak bisa bantu banyak. Semoga bu Halimah dan keluarga bisa menerima takdir ini. Saya pamit dulu ya, bu Halimah, mbak Adel." Pamit bu Santi.
"Makasih banyak, bu Santi. Maaf kalau kami merepotkan." Jawab Adel sambil berjalan mengantar bu Santi menuju pintu keluar rumah.
"Nggak apa-apa, Mbak." Bidan itu segera meninggalkan rumah dengan wajah duka.
Adel segera melangka masuk kembali dan meraih ponselnya. Ia segera mencari nomor telepon kakaknya. Tapi sudah puluhan kali ia hubungi tak kunjung ada jawaban.
*
Adzan subuh bertalu-talu, pertanda pagi telah di mulai kembali. Terdengar suara sepeda motor Anton memasuki halaman rumah. Ia segera mematikan kuda besinya, tatkala pemandangan aneh yang terjadi tak seperti biasanya.
'Ada apa ini??? Kenapa ada banyak orang dirumah ku???' bisik Anton sambil membuka matanya lebar-lebar. Terlihat di depan rumahnya banyak tetangga yang sudah berkumpul dan berkerumun menatap heran atas kedatangan Anton.
Putra bu Halimah itu turun dari sepeda motor dengan pelan, lalu segera membuka helm dan jaket yang dikenakannya. Ia melangkah perlahan menuju pintu masuk rumahnya yang sudah berjubel memadatinya.
Mata para pelayat itu nampak masam melihat suami almarhumah Heni, terlihat sekali Anton tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah masuk dan ketemu bu Halimah, Anton menatap wajah sang ibu dengan perasaan bingung.
"Ibu, ada apa ini??? Kenapa banyak tetangga ke sini???" Bisik Anton di pucuk telinga bu Halimah, karena sudah ada beberapa ibu-ibu yang duduk di sebelahnya.
Bu Halimah menghela napas panjang sambil meneteskan air matanya kembali. "Heni, Ton. Heni sudah meninggal."
Duaaarrrr
Jantung Anton bagai di sambar petir pagi itu. Ia membelalakkan matanya sambil melangkah mundur satu langkah.
"Hen... Heni meninggal, Bu??? tanya Anton sambil bergetar dan menghela napas panjang.
***
BERSAMBUNG...
![](https://img.wattpad.com/cover/347577329-288-k216749.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...