Setibanya di kantor, Yuanita memasang wajah muram. Ia masih ingat kata-kata ayahnya sebelum berangkat kerja. Terngiang di telinganya, ia bilang kalau kamu nggak ikut ke rumah Anton, berarti kamu bukan manusia."
Wanita yang baru saja berstatus janda ini tak bisa tenang seperti biasanya. Duduk di tempat kerja, mengerjakan file yang belum kelar, tapi pikirannya selalu dihantui kata-kata ayahnya tadi pagi. Lalu ia berdiri mondar-mandir seperti orang kebingungan, tapi tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Akhirnya ia memilih berdiri sambil menatap pemandangan luar kantor di balik jendela. Namun pikirannya melanglang buana pada wajah bayi mungil yang pernah ia lahirkan di rumah sakit waktu itu.
"Waduuuh... kenapa aku selalu ingat wajah anak pembawa sial itu? Suara tangisannya bikin telinga ku berisik, diam!! diaaam!!! Kalau gini terus, aku nggak bisa ngerjain tugas kantor. Konsentrasi ku buyar gara-gara anak Anton itu. Aaaaah!!!" Yuanita ngedumel sambil sesekali berteriak histeris di dalam ruangannya.
Tiba-tiba Ruben datang dan memasuki ruangan itu dengan wajah jutek seperti biasanya. Ia melihat dan mendengar teriakan sekretarisnya itu dengan kening berkerut karena heran.
"Nita! Kamu kenapa?? Teriak-teriak nggak jelas!!" bentak Ruben dengan muka masam dan tatapan tak suka pada wanita yang masih berdiri di dekat jendela ruangannya.
Tapi suara teguran Ruben tak di dengar oleh wanita itu. Ia tetap dengan posisi semula, menghadap jendela kaca yang disibakkan tirainya, hingga tanaman dan pepohonan hijau yang tampak di depannya.
Lalu Yuanita malah terkekeh sendiri sambil bermonolog tak jelas alurnya. "Dia anak ku?? Ha ha haa... aku punya anak berwajah aneh, ha ha haa... tentu saja tidak! Siapa bilang dia anak ku? Aku nggak pernah punya anak. Aku ini wanita kuat, nggak butuh suami apalagi anak. Ha ha haa..."
"Hei... apa kamu gila?!?" Bentak Ruben yang makin bingung dengan gelagat sekretarisnya yang tak wajar.
Tetap saja Yuanita tak bergeming. Ia senyum-senyum sendiri dan mendongakkan kepalanya.
Melihat tegurannya yang kesekian kali tak di gubris oleh wanita itu. Ruben semakin meninggikan suaranya. "Nita!!!"
DEG!
"I... iya iya Pak Ruben. Ada apa???" tanya Yuanita terbata-bata karena saking kagetnya.
"Apa kamu sudah gila, hah?? Tertawa sedari tadi, sampai nggak tau aku sudah di sini dan berkali-kali menegurmu???" tanya Ruben dengan wajah seram karena marah.
"Ma... maaf Pak. Saya nggak tahu." Jawab Yuanita bingung mencari alasan. Lalu secepatnya ia duduk di kursi kerjanya kembali dengan tergopoh-gopoh.
Dengan wajah bersungut-sungut Ruben dengan gaya khasnya tangan kanan dimasukkan ke dalam saku celananya, berjalan mendekat ke kursi kerjanya memasang raut muka kesal.
Ruang kerja Ruben dan Yuanita dalam satu ruangan. Jadi sepanjang hari keduanya akan berkutat dan bertatap muka di tempat yang sama.
"Kerja yang bener! Jangan seenaknya sendiri kalau jadi sekretaris ku, ngerti!! Aku paling nggak suka bekerja sama dengan orang yang nggak bisa menghargai waktu. Sedari tadi ku lihat kamu cuma berdiri di depan jendela saja. Apa kamu nggak suka kerja di ruangan ini?" tanya Ruben masih dengan suara baritonnya yang menggelegar karena emosi yang belum reda.
"Mm... maaf Pak. Saya nggak akan mengulanginya lagi." Jawab Yuanita tanpa menatap wajah lelaki tambun di depannya. Ia memilih melihat sekeliling meja di hadapannya, daripada menikmati wajah seram atasannya yang tak sedap di pandang mata.
Lalu ia membuka laptopnya kembali dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda dengan pikirannya sendiri yang sedikit terganggu.
'Dasar laki-laki nggak normal! Punya sekretaris cantik malah di bentak-bentak." Gumam Yuanita dengan muka masam sambil menata duduknya yang sedikit tak nyaman.
***
Yunan berpikir keras atas peristiwa janggal kemarin. Ada masalah urgent yang mengharuskan dia mengambil sikap tegas tanpa ampun, jika pelaku pemalsuan data keuangan perusahaannya terungkap.
Dengan memainkan pulpen hitam di tangan kanannya, ia tampak sangat serius dalam memprediksi, siapa orang yang patut dicurigai di balik ulah yang sengaja dilakukan untuk menghancurkan Revan sekaligus reputasinya sebagai direktur perusahaan yang sudah ia bangun puluhan tahun bersama orang tuanya.
Walau sebenarnya perusahaan yang ia pimpin saat ini adalah warisan dari orang tuanya yang telah meninggal belasan tahun lalu karena kecelakaan, namun kemajuan usahanya ini mengalami kemajuan cukup pesat, setelah tampuk kepemimpinannya telah ia pegang.
Yunan Prasetya adalah pewaris satu-satunya dari perusahaan yang di rintis kedua orang tuanya, karena ia merupakan anak tunggal. Jadi tak ada lagi yang berhak merebut apalagi menanyakan kelegalan kepemilikannya.
Tapi, setelah sekian lama ia memimpin perusahaan ini, tak sekali pun ada yang berani mengacaukan laporan keuangan sedemikian rupa. Dan ia tak mau memberi ampun lagi, jika pelakunya akan tertangkap nanti.
'Sepertinya aku punya titik terang. Siapa yang perlu dicurigai. Tapi, aku harus tetap bersikap biasa saja agar tak mencurigakan.' Gumam Yunan sambil kepalanya manggut-manggut dan badannya bersandar pada punggung kursi kerjanya yang empuk.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
"Masuk!" Ujar Yunan.
Setelah pintu di buka pelan, nampaklah seorang laki-laki muda yang kini menjadi sekretarisnya. Ia membawa beberapa file yang perlu diperiksa dan ditandatangani oleh sang direktur.
"Selamat pagi Pak Yunan."
"Pagi"
"Maaf Pak. Ada beberapa file yang baru saja saya print out, tapi kenapa beberapa angka di sana selalu ada yang berbeda. Sebelum file ini saya serahkan ke Pak Yunan, saya periksa ulang karena tak mau peristiwa kemarin terulang lagi. Dan ternyata, dugaan saya benar. Ada perbedaan angka lagi hasilnya. Saya bingung dengan hal ini, Pak Yunan. Sekali lagi saya nggak pernah melakukannya." Ucap Revan menjelaskan panjang lebar duduk permasalahan yang saat ini membuatnya bingung.
Yunan mengerutkan dahinya mendengar penjelasan lelaki muda di depannya. Lalu dengan seksama memeriksa satu persatu kertas yang ada di dalam map yang diserahkan oleh Revan barusan.
Kedua matanya terbelalak saat menemukan kejanggalan lagi, seperti kejadian kemarin. Kali ini selisih angkanya semakin besar. Lalu Yunan menghela napas panjang untuk mengurangi ketegangan dan gejolak emosinya yang mulai menjalar di kepalanya.
"Benar-benar harus segera di tindak! Di kira aku bodoh. Diam ku bukan berarti kamu lolos dari jeratan hukum. Tunggu saja!!" Ucap Yunan dengan menghentakkan kepalan tangannya di dasar meja kerjanya.
Kali ini ia berpihak pada Revan. Jadi bukan lah Revan yang ia curigai. Karena ia tahu betul, selama dua bulan menjadi sekretarisnya menggantikan tugas Yuanita sekretaris lamanya, Revan bekerja sangat baik, bahkan lebih baik daripada sekretaris sebelumnya.
Revan hanya diam membisu sembari menundukkan kepala mendengar dan melihat reaksi atasannya yang demikian murka pada pelaku pemalsuan itu.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...