BAB 104. SETRAGIS ITU

484 27 6
                                    

Akhirnya jalanan mulai lancar dan Yuanita melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dalam perjalanan, dia nggak bisa berpikir tenang. Bayangan wajah Anton selalu menghiasi pandangannya. Terlebih setelah tahu nopol sepeda motor itu.

Sesampainya di pelataran rumah Anton, Yuanita gegas memarkir dan keluar mobil dengan napas panjang. Wajahnya nampak panik tapi ia siap menceritakan segala sesuatu yang ia dapat dari keterangan polisi di tempat kecelaan sepanjang jalan tadi.

"Assalamualaikum," ucap Yuanita di depan pintu.

Tapi belum ada jawaban dari si empunya rumah. 'Sepi sekali. Apa suaraku kurang keras ya?' bisiknya.

"Assalamualaikum," Wanita cantik itu mengulanginya lagi, kini dengan volume suara yang lebih tinggi agar bisa di dengar.

Beberapa saat kemudian, jawaban salam sudah terdengar dari dalam. "Waalaikum salam," Balas Amel sambil melangkah mendekati pintu depan.

"Masuk dulu, Nita. Aku tadi beres-beres di belakang. Maaf kalau nunggu agak lama." Amel mempersilahkan tamunya dan tak lupa ia mengucapkan permintaan maafnya.

Lalu Yuanita mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu, berhadapan dengan Amel.

"Nggak apa-apa, Mel. Aku... aku tadi kesini jalanan sempat macet, karena ada kecelakaan." Penjelasan Yuanita agak terbata-bata.

"Kenapa kamu nampak panik gitu, Nita. Apa yang kamu lihat di sana??" tanya Amel penasaran.

"Aku tadi... lihat sepeda motor Mas Anton yang sudah tak berbentuk lagi diamankan polisi." Ucap Yuanita.

"Apaaa??? Sepeda motor Mas Anton ada di sana??? Maksudmu... Mas Anton kecelakaan???" tanya Amel kaget mendengar penjelasan wanita yang duduk di depannya dengan mata terbelalak.

"Aku belum bisa mastii, Mel. Semoga bukan Mas Anton. Karena..." Ucap Yuanita tak melanjutkan penjelasannya.

"Karena apa, Nita???" Amel makin penasaran sembari mengernyitkan dahinya.

"Karena... katanya korban kecelakaan itu keadaannya sangat memprihatinkan, kakinya terlindas mobil dan terluka parah." Ucap Yuanita sambil kedua matanya berkaca-kaca menahan kesedihan.

"Ya... Tuhan... Mas Anton... Kenapa nasib mu demikian malang, Mas." Amel merasa sangat kasihan dengan keadaan kakaknya, hingga tangisannya tak bisa ditahan lagi.

"Tapi, Mel. Ini belum pasti juga. Karena polisi tadi menjelaskan, kalau identitas korban belum ditemukan. Untuk mastiin, kita sekarang harus ke rumah sakit Hasanah tempat Mas Anton di rawat." Yuanita memberi nasehat pada Amel.

"Ooo... iya, Nita. Aku akan siap-siap. Ibu sebaiknya nggak aku kabari dulu. Biar kita pastikan apakah benar itu Mas Anton." Ucap Amel. Lalu gegas masuk ke dalam untuk ganti baju dan pamit pada bu Halimah.

"Hati-hati di jalan ya...!  Semoga secepatnya Mas mu diketahui keberadaannya." Pesan bu Halimah sambil menggendong cucunya.

"Iya, Bu." Amel dan Yuanita segera keluar dari rumah. Selanjutnya keduanya naik mobil menyusuri jalan menuju rumah sakit Hasanah yang katanya, disanalah korban kecelakaan itu dilarikan.

Untungnya hari ini hari Minggu. Baik Amel maupun Yuanita sedang libur kerja, jadi bisa leluasa menghabiskan waktu.

"Lihat, Mel! Itu tempat kejadiannya." Yuanita menunjuk di depan jalan yang dilaluinya. Tapi sekarang sudah tak ada lagi kemacetan dan polisi. Sepeda motor Anton pun sudah dibawa pihak berwajib sebagai barang bukti.

"Sekarang nampak sepi ya. Seperti nggak terjadi apa-apa. Kita langsung ke rumah sakit aja, Nita!" Usul Amel sambil memindai jalan yang ditunjukkan oleh Yuanita barusan.

"Iya, Mel. Sebaiknya memang demikian." Yuanita pun setuju.

Selang kurang lebih dua puluh menit, sampailah di rumah sakit yang dimaksud. Karena tak ada petunjuk tentang pasien saat ini dimana dan identitas yang tak dikenal oleh petugas, maka Yuanita menanyakan pada petugaa yang berjaga tentang kronologi kejadiannya.

"Maaf... apa semalam ada pasien yang mengalami kecelakaan dengan kakinya yang terluka parah?" tanya Yuanita pada petugas rumah sakit.

"Iya, ada Mbak. Anda siapanya pasien? Karena semalam pasien belum diketahui identitasnya." Jawab petugas itu.

"Saya... Saya keluarganya pasien. Kami adik-adiknya." Kata Yuanita agak gugup.

"Pasien masih di rawat di ruang gawat darurat. Silahkan anda berdua bisa kesana untuk mengisi biodata pasien. Karena seharusnya semalam dilakukan operasi. Berhubung belum ada keluarganya yang menandatangani sebagai prosedur, maka operasi ditunda dulu." Demikian penjelasan petugas pada Yuanita dan Amel.

"Terima kasih informasinya. Kami akan segera ke UGD." Jawab Yuanita, lalu menggandeng tangan Amel sembari berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud.

Tak berapa lama, akhirnya mereka menemukan. Disana Yuanita menandatangi prosedur dilakukannya operasi yang secepatnya harus dilakukan. Sesuai saran dokter yang menangani.

'Ya... Tuhan... Ternyata benar yang kecelakaan itu Mas Anton. Apa yang kamu lakukan, Mas...??? Sampai kakimu harus diamputasi karena terlindas mobil yang lewat. Ampuni aku ya Tuhan... Kenapa semua ini terjadi pada Mas Anton???' Gumam Yuanita dalam hati.

Kedua matanya serasa perih karena menahan kesedihan yang mendalam. Tapi pertahannya akhirnya jebol juga, karena ia tak tega membayangkan lelaki yang dicintainya menjadi menderita seperti ini.

'Mas Anton kakinya akan diamputasi??? Gimana nanti perasaannya, kalau Mas Anton sadar dan melihat kaki kanannya sudah dipotong selutut. Ya... Tuhan... baru saja Mas Anton dapat berita buruk semalam. Selanjutnya mendapat kecelakaan, lalu kakinya diamputasi. Aku nggak bisa bayangkan gimana perasaan mu, Mas. Betapa hancurnya. Bertubi-tubi ujian dari Tuhan yang kau rasakan.' Amel pun tak bisa menahan air matanya. Ia menangis sesenggukan sambil menatap ruang UGD yang sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang operasi.

"Mel, aku nggak tega lihatnya. Gimana nanti kita nyampeinnya ke ibumu?? Pasti ibumu makin hancur hatinya." Ucap Yuanita memikirkan nasib kakak sekaligus kekasihnya yang tragis.

"Entahlah, Nita. Tapi bagaimana pun juga ibu harus diberitahu yang sesungguhnya. Biar nggak kepikiran dan bertanya-tanya." Jawab Amel yang pasrah saja pada kenyataan.

Tiba-tiba terbukalah pintu ruang gawat darurat. Kemudian nampaklah sebuah brangkar yang diatasnya tergolek seorang pasien yang tak berdaya dalam keadaan tak sadarkan diri dengan infus yang menanjap di tangan kanannya.

Ya... itu adalah tubuh Anton yang akan di bawa ke ruang operasi. Dua orang perawat sedang mendorong brangkar menuju ruangan khusus yang tak begitu jauh dari sana.

"Mas... Anton..." Suara Yuanita dan Amel hampir bersamaan, keduanya menangis menatap brangkar yang semakin lama semakin menjauh dari tempatnya berdiri.

Lalu keduanya berjalan mengikuti perjalanan brangkar itu menuju ruang operasi.

Tak pernah terbayangkan, lelaki yang suka tebar pesona, dengan julukan playboy itu, sekarang akan menjalani amputasi kaki kanannya akibat kecelakaan yang menghempaskan tubuhnya beberapa meter dari kuda besi yang dikendarainya dengan kecepatan tinggi. Tak hanya itu, naasnya sebuah mobil melintas dan melindas, kaki kanannya hingga tak bisa berfungsi seperti sedia kala.

Tulang belulangnya remuk tak berbentuk, hingga amputasi menjadi pilihan terbaik untuk menyelamatkan nyawanya.

Nasib manusia tiada yang tahu. Hanya Tuhan lah yang Maha Adil, berhak memberi pelajaran maupun ujian pada setiap hamba-Nya.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang