BAB 141. TAK KUAT LAGI

466 31 6
                                    

Hukum tabur tuai memang benar adanya. Siapa yang menanam kebaikan, ia akan menerima kebaikan juga. Sebaliknya siapa saja yang menanam benih keburukan, maka keburukan dan karma lah yang akan ia tuai.

Seperti itulah yang terjadi pada bu Halimah dan Anton. Entah darimana asalnya, berita miring tentang masa lalu bu Halimah yang kelam telah menyebar luas dan sudah menjadi gunjingan dari mulut satu menuju mulut yang lain.

Sedang bu Halimah sendiri sudah jarang sekali keluar rumah karena sakit-sakitan. Untuk kali ini, ia terpaksa keluar rumah sekedar membeli beberapa bumbu yang kebetulan habis persediaannya.

"Ton, titip Putri ya! Ibu mau ke warung bu Kokom bentar. Mumpung Putri sedang tidur." Pamit bu Halimah sambil membetulkan jilbab instan warna coklat yang ia kenakan.

"Iya, Bu." Jawab Anton sambil menata beberapa barang di tokonya yang di bangun di sebagian teras rumahnya.

Dengan tersenyum bu Halimah melangkah meninggalkan rumahnya menuju tempat yang ia tuju. Dalam perjalanan menuju ke sana, ibu kandung Anton itu berpapasan dengan bu Joko dan bu Nana yang kebetulan lewat di depan rumahnya.

"Selamat pagi bu Halimah. Mau kemana pagi-pagi gini? Tumben bu Halimah keluar sendiri." Sapa bu Joko sok akrab dengan menyematkan senyum kepalsuan di sudut bibirnya yang merah oleh lipstik berwarna mencolok kesukaannya.

"Eee... bu Joko, bu Nana. Aku mau ke warung bu Kokom bentar. Mari Bu!" Jawab bu Halimah ramah.

Di rasa sudah aman, bu Joko dan bu Nana mulai berbisik dengan nada sumbang.

"Lihat tuh, Bu Nana. Nggak nampak sama sekali kalau di balik wajah lucunya, bu Halimah ternyata suhu dalam hal selingkuh.

" Iya, ya... aku juga nggak habis pikir, Bu Joko. Sudahlah... kita lanjutkan ke rumah bu RT." Ucap bu Nana sambil mempercepat langkahnya yang diikuti bu Joko di sampingnya.

Begitu juga dengan bu Halimah.

Ia melanjutkan langkahnya menuju warung bu Kokom yang tinggal beberapa meter saja. Namun di sana ada beberapa ibu-ibu yang sedang berkerumun dan berbisik-bisik.

"Gayanya saja seperti orang bener, nggak taunya suka main belakang sama laki-laki lain? Sampek punya anak lagi. Idiiiih... muak aku lihat mukanya sekarang." Ucap bu Sri sambil sesekali memonyongkan mulutnya yang pecah-pecah karena sariawan.

Mendengar samar-samar suara yang berasal dari warung bu Kokom, bu Halimah tetap saja melanjutkan langkahnya, karena ia tak merasa kalau yang dimaksud pergunjingan di sana adalah tentang aib dirinya.

"Selamat pagi bu Kokom." Sapa bu Halimah sangat ramah.

"Eeee... bu Halimah. Sudah lama nggak pernah ke sini." Jawab bu Kokom gugup sambil serta merta mengernyitkan alisnya memberi kode agar pergunjingan ibu-ibu di sekitarnya berhenti sebentar. Karena pemeran utama pada topik pembicaraan, ternyata sudah ada di depan mata.

"Iya Bu. Kemarin-kemarin badan sakit semua, jadi terpaksa Amel yang belanja ke sini." Jawab bu Halimah seadanya.

Bu Sri menoleh setelah mendengar suara bu Halimah yang tiba-tiba datang dan berdiri di sebelahnya.

"Ada bu Halimah to? Setau ku akhir-akhir ini Amel nggak pernah belanja di sini, Bu. Mungkin dia malu karena orang-orang di sini sudah tau masa lalu ibunya yang nggak baik." Celetuk bu Sri tanpa basa-basi.

"Mmm... maksudnya gimana, Bu Sri? Amel nggak pernah cerita apa-apa pada ku." tanya bu Halimah yang nampak bingung atas kalimat bu Sri yang kurang sedap.

Bu Sri menghela napas panjang sambil melirik sinis pada bu Halimah yang nampak bengong, seolah tak mengerti apa-apa.

"Maaf nih, Bu Halimah. Mumpung ibu sekarang ada di sini. Aku mau tanya, Bu. Apa benar, Anton itu bukan anak dari pak Hasan suami ibu? Karena yang ku dengar Anton itu anak dari laki-laki lain, bukan anak dari pernikahan ibu dan pak Hasan." Ucap bu Sri tanpa tedeng aling-aling lagi.

DEG! 

Tangan bu Halimah bergetar mendengar pertanyaan wanita yang berdiri di sebelahnya. Kedua kakinya tiba-tiba melemah dan tubuhnya terhuyung ke belakang di topang dinding putih, tembok warung bu Kokom. Kepalanya serasa berputar-putar, pandangannya kabur. Lalu ia tak kuat lagi berdiri tegak dan tubuhnya layu seketika.

BRUK! 

Tubuh bu Halimah ambruk. Bu Sri hanya terbengong menyaksikan wanita di sebelahnya pingsan begitu saja.

"Bu... bu Halimah, kenapa Bu??" Bu Kokom serta merta menghampiri tubuh lunglai di hadapannya yang sudah tak sadarkan diri.

***

Sejak Yuanita tak lagi bekerja, ia sibuk mengajukan permohonan pengajuan diri untuk bekerja di beberapa perusahaan sesuai dengan pendidikan dan pengalamannya selama ini.

Wanita ini benar-benar tangguh, apalagi ada misi tersembunyi jika ia sudah di terima bekerja lagi. Itu sudah jadi tekadnya, setelah secara tiba-tiba, ia di pecat oleh Yunan beberapa hari lalu atas kelicikannya sendiri.

Bukannya ia minta maaf dan mengakui kesalahannya, namun malah menyimpan dendam dan ingin menghancurkan perusahaan milik Yunan.

Kali ini ia sudah mendapat kesempatan wawancara di sebuah perusahaan, salah satu target yang sudah ia incar sebagai pesaing berat perusahaan Yunan. Yuanita paham betul, karena dia pernah mendampingi sang direktur sebagai sekretaris pribadinya kala itu.

"YES!" Ucap Yuanita saat ia mendapat kabar dari perusahaan itu, kalau dirinya di terima bekerja di sana dengan jabatan sesuai harapannya.

"Iya, Pak. Besok saya akan mulai bekerja. Terima kasih." Lalu ia menutup sambungan telepon yang baru saja ia terima dengan wajah berseri-seri.

Memang tak diragukan lagi, dengan pengalaman dan pendidikan yang mendukungnya, ia mudah sekali mendapat pekerjaan. Apalagi sangat di dukung dengan kemolekan bentuk tubuhnya dan kecantikannya yang bisa memikat semua pria.

"Ayah, besok pagi aku mulai bekerja lagi. Jangan khawatir, anak mu ini sangat mudah mendapat pekerjaan. Makanya, ayah harusnya bersyukur punya anak seperti aku. Kalau nggak ada aku, siapa yang akan membiayai Erik kuliah. Iya kan, Yah?!" Ucap Yuanita dengan kesombongan dan cibiran pada ayah kandungnya.

"Iya, Nita. Syukurlah, akhirnya kamu nggak nganggur lagi." Jawab pak Zaini sambil mengepulkan asap rokok yang baru saja ia hisab sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa panjang.

"Gaji ku kali ini lebih gede, Yah. Perusahaan tempat ku bekerja ini, lebih bonafide daripada milik Yunan." Ucap Yuanita sombong. Ia nampak jumawah dengan pekerjaannya sekarang.

Pak Zaini hanya manggut-manggut saja mendengar ocehan anaknya yang terkadang bersikap keterlaluan dan menyebalkan. Entah meniru siapa hingga putrinya itu punya karakter demikian. Tapi, biasanya sifat anak tak jauh beda dengan sifat orang tuanya.

Setelah selesai bercerita pada ayahnya, Yuanita masuk kamarnya lagi, sembari tertawa terbahak-bahak sambil bertolak pinggang.

"Ha ha ha... rasakan pembalasan ku Yunan sok paling bener. Sebentar lagi kamu akan tahu, dengan siapa kamu berhadapan. Yuanita tak akan diam saja, jika ia mengalami sakit hati." Monolog Yuanita sambil melihat pantulan wajah dirinya di depan cermin.

Apalagi rayuan Yuanita pada lelaki setia itu tak di respon Yunan beberapa kali. Jadi sakit hatinya bertumpuk-tumpuk pada suami Alma tersebut.

Apa yang akan dilakukan Yuanita? Semua sudah di rekam dan di simpan dalam memori buku dendamnya yang tersimpan dalam dada.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang