Bagas melangkah memasuki sedan Mercedes Benz hitamnya dengan senyum kemenangan, diikuti Yuanita yang sangat percaya diri duduk bersebelahan dengan bos barunya.
"Kita kemana Pak Bagas?" tanya Roni sopir pribadinya yang usianya sepantaran dengannya.
"Ke tempat biasa," Jawab Bagas sambil tersenyum penuh misteri.
Yuanita hanya duduk manis tak berani bertanya macam-macam. Padahal banyak sekali yang ingin ditanyakannya. Terutama kemana tujuan bosnya setelah pergi dari tempat ini.
'Ke tempat biasa? Apa maksudnya? Mau kemana sebenarnya Pak Bagas ini? Tapi sepertinya sopir pribadinya sudah hapal betul tempat yang menjadi persinggahannya. Apa aku bertanya saja ya? Tapi... rasanya tak enak. Pasti tempat yang dimaksud lokasinya sangat mendukung untuk merayakan kemenangan tender siang ini.'
Pikir Yuanita sambil sesekali mencuri pandang pada lelaki tampan yang duduk bersandar di mobil mewah itu. Namun sikap Bagas tak seperti biasa, ia nampak dingin dan tak menghiraukan wanita cantik nan seksi yang memakai bawahan rok di atas lutut. Hingga terlihat menggoda saat ia sedang duduk di mobil. Paha putih mulus milik Yuanita sengaja ia pamerkan untuk memikat hati bos tajir incarannya.
Perjalanan yang ditempuh kira-kira 30 menit sudah, namun rasanya bagai setahun. Tak ada percakapan apalagi candaan diantara penumpang mobil itu. Yuanita sibuk dengan ponselnya untuk mengurangi suntuk yang menyiksa hati dan pikirannya. Sementara Bagas hanya diam menatap jalan yang dilaluinya.
'Kenapa sih Bagas ini nggak asyik kalau dalam perjalanan? Apa sedang ada masalah ya? Aduh, aku bosan kalau situasinya kayak gini.' Gerutu Yuanita.
Setelah lama menempuh perjalanan, akhirnya sampai di villa kawasan elit dengan pemandangan yang sangat indah. Hati Yuanita pun berbunga-bunga. Karena laju mobil sudah melambat, pertanda akan segera berhenti ke tempat tujuan.
Hawa sejuk mulai menyapa. Pepohonan nan hijau, tanaman hias warna-warni melengkapi kecantikan bangunan kokoh bernuansa putih yang ia tapaki. Letaknya memang lebih tinggi diatas bukit, agak jauh dari keramaian, namun suara burung dan desiran pucuk pohon memberi ketenangan bagi siapa yang ada di sana.
"Selamat datang di villa pribadi ku, Nita. Kamu tempati kamar utama untuk beristirahat. Ada bik Yana yang akan menunjukkan tempatnya. Kalau perlu apa-apa sampaikan saja padanya." Ucap Bagas sambil tersenyum dan melirik sejenak pada Yuanita yang masih bengong menatap keindahan tempat itu dari segala penjuru.
"Iya, Pak Bagas. Terima kasih." Ucapnya dengan muka berseri-seri.
Kemudian datanglah seorang wanita setengah baya menghampiri Yuanita dengan senyumnya yang ramah.
"Saya bik Yana, Nona. Mari saya tunjukkan kamar untuk Nona." Ucap wanita itu dengan tersenyum ramah.
"Iya, Bik Yana." Jawab Yuanita yang sedari tadi mulai memindai sudut demi sudut villa berukuran besar yang ia tempati.
Tatapan mata Yuanita berhenti sejenak, menatap lukisan yang berukuran paling besar di ruang tamu villa itu.
"Siapa dia, Bik? Cantik sekali." Ucap Yuanita berdecak kagum pada kecantikan wanita bergaun malam warna putih dalam lukisan itu. Tapi sorot matanya seakan menyimpan misteri dalam pandangan Yuanita.
"Dia... dia Nyonya Bagas. Istri tuan Bagas yang sudah meninggal beberapa tahun silam."
"Ooo... jadi tuan Bagas itu sudah menduda ya? Hmm..." tanya Yuanita sambil senyum penuh harap.
"Iya, Nona. Ini kamar utama tempat Nona istirahat." Bik Yana menghentikan langkahnya setelah sampai di depan pintu kayu berukuran besar.
Lalu Yuanita membuka pintu kamar dengan senyum yang tak henti-hentinya tersemat di sudut bibirnya. Setelah pintu kamar terbuka lebar, langkah kakinya mulai memasuki kamar big size bernuansa serba putih dengan segala pernak-perniknya.
"Silahkan istirahat Nona. Kalau butuh apa-apa, saya siap membantu. Saya akan ke dapur dulu, Nona." Pamit bik Yana lalu membalikkan badan dan meninggalkan Yuanita sendiri di kamar itu.
***
Sepeninggal bu Halimah, kini Anton sibuk mengurus anak dan menjaga toko kecilnya sendiri. Ia tak lagi ada yang membantu, apalagi Amel dan suaminya sudah pergi kerja setiap harinya.
Mulai memandikan, menyuapi, mencuci baju dan meninabobokkan Putri, harus ia jalani seorang diri. Ini sebagai tanggung jawabnya menjadi seorang Papa pada anak dari Heni. Dan sebagai rasa penyesalannya atas ulah kejam pada Heni, sampai wanita itu memilih bunuh diri.
"Putri, main di sini dulu ya. Papa masih ada pembeli." Ucap Anton sebelum meninggalkan Putri yang lagi bermain boneka di teras rumah, sebelah toko kecilnya.
"Iya, Pa." Jawab Putri sambil tersenyum riang. Anak di usia dua tahun ini, sudah di latih mandiri dan tanpa belaian kasih ibu kandungnya sejak ia masih bayi.
Lalu Anton mulai melangkahkan kakinya dengan bantuan penyangga menuju toko kecil yang sudah ada bu Lala sedang belanja beberapa barang di sana.
"Maaf, Bu. Nunggu lama ya?" Sapa Anton.
"Nggak apa-apa, Mas Anton. Saya maklum kok, Mas Anton harus mengurus Putri sendiri sekarang."
"Iya, Bu."
"Kasihan Putri ya, sejak bayi tak pernah merasakan kasih sayang ibunya. Apa Mas Anton nggak ingin menikah lagi? Biar Putri ada yang ngejaga dan Mas Anton bisa fokus pada pekerjaan."
"Hmm... Siapa yang mau menjadi istri saya, Bu? Lelaki pincang dan nggak punya penghasilan tetap. Rumah juga numpang saudara. Biar lah saya urus Putri sendirian."
"Tapi Mas Anton ganteng lho. Wanita pasti suka lihat wajah Mas Anton yang nggak ngebosenin." Ucap bu Lala yang sudah punya suami tapi jarang pulang karena bekerja sebagai pelayar. Tiga sampai empat bulan sekali, suaminya baru bisa pulang dan memanjakannya.
Lirikan nakal bu Lala membuat Anton tak enak hati. Ia tak mau di cap sebagai penggoda istri tetangga. Walau ia sekarang sudah menduda, tapi lelaki yang sudah insaf ini tak mau terjerumus ke lubang yang sama.
"Bu Lala bisa saja. Ganteng doang nggak bisa bikin kenyang Bu." Jawab Anton dengan tersenyum ramah dan menjaga pandangan matanya agar tak beradu dengan tatapan kagum bu Lala yang ada di hadapannya.
"Papa... Papa..." Tiba-tiba terdengar suara Putri berteriak.
"Iya, Putri. Sebentar ya Bu." Pamit Anton melihat sebentar ke arah Putri yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Aus, Pa. Mimik cucu." Sahut Putri sambil merengek.
"Sebentar ya, Putri. Habis ini Papa buatkan." Ucap Anton sambil memasukkan sabun dan beberapa belanjaan yang sudah di pilih oleh Bu Lala ke dalam kantong plastik dan menghitung total belanjaannya.
"Tiga puluh lima ribu, Bu."
"Ini ya Mas Anton uangnya."
"Makasih, Bu." Jawab Anton sambil tersenyum ramah.
"Tuh nggak enak kan kalau nggak ada istri. Mas Anton jadi ribet ngurus anak sendiri." Ucap bu Lala sambil menatap Putri yang masih merengek menunggu papanya.
"Iya, Bu." Jawab Anton singkat.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...