BAB 139

378 24 2
                                    

Mendengar ocehan bu Joko dan segerombolan emak-emak lainnya yang sibuk menggunjing dengan topik utama ibu dan kakaknya, Amel merasakan berat di kedua kakinya. Niat hati ingin berbelanja keperluan memasak hari ini, dengan terpaksa ia urungkan karena mentalnya mendadak terguncang.

Kedua matanya tiba-tiba nanar dan hatinya serasa di iris sembilu, betapa kejamnya mereka berkumpul dan menguliti kisah masa lampau ibu yang sangat ia hormati dan kakaknya yang ia sayangi. Sampai-sampai diam-diam salah satunya ada yang mengambil gambar untuk menegaskan dan membeberkan aib yang puluhan tahun telah dibungkus rapi dan disimpan rapat-rapat oleh keluarganya, terutama ibunya.

'Oh Tuhan... aku nggak kuat mendengar cibiran dan hinaan mereka pada ibu dan kakak ku. Walaupun  semuanya benar, tapi nggak layak bagi mereka berbuat seperti itu. Setiap orang punya masa lalu, ada yang baik ada pula yang buruk. Kenapa harus di pamerkan sedemikian rupa. Apa yang terjadi, jika ibu dan mas Anton sampai tahu atas berita ini?? Terutama pada ibu ku yang saat ini kesehatannya sering nggak stabil. Lebih baik aku pulang saja. Telinga ku terasa panas mendengarnya. Atau aku belanja di tempat lain saja, tak apalah agak jauh, daripada di sini bikin aku emosi.' Gumam Amel, lalu tanpa pikir panjang langsung membalikkan badan dan menjauh dari warung bu Kokom.

Dengan sedikit berlari, Amel menuju tempat belanja yang lain. Kali ini ia pilih ke warung bu Darti, walau terkenal harganya lebih mahal dari warung bu Kokom. Tapi demi kesehatan mentalnya, terpaksa ini menjadi pilihannya yang terbaik.

Tampak di sana sudah ada beberapa ibu-ibu yang bergerombol sibuk memilih sayuran dan lauk pauk.

Amel yang tak biasa berbelanja di tempat itu, menjadi pusat perhatian kaum emak-emak. Dengan agak malu, Amel melanjutkan langkahnya masuk ke warung bu Darti.

"Permisi Bu Darti." Ucap Amel mencoba ramah.

"Ooo... ini kan mbak siapa ya, anaknya bu Halimah kan?" tanya bu Darti mencoba mengingat-ingat dan memandang tajam ke wajah Amel yang tampak lelah.

"Iya, Bu. Saya mau nyari sayuran dan ikan. Apa masih ada ya?" tanyanya sambil memindai seisi meja yang ada di depannya.

"Itu masih banyak, mbak. Silahkan dipilih-dipilih!" Teriak bu Darti dengan suara khasnya yang cempreng.

Amel mulai tersenyum mendengar suara lucu penjualnya. Namun adik Anton ini mulai merasa tak nyaman, ketika terdengar samar-samar suara tak sedap di sampingnya.

"Tumben belanja di sini. Setau ku biasanya bu Halimah dan anaknya sudah langganan di warung bu Kokom. Apa ada masalah ya?" Ucap bu Narsih yang seumuran dengan bu Halimah dengan tatapan sinis.

Mendengar ocehan yang membuat hatinya sedikit ngilu, Amel hanya menelan salivanya untuk mengurangi rasa nerves yang tiba-tiba muncul dan mulai menjalari anggota tubuhnya. Ia tak menjawab pertanyaan wanita tua yang ada di sebelahnya. Karena menurutnya, pertanyaan itu tak wajib ia jawab. Amel memilih sedikit tersenyum walau dengan terpaksa.

"Ini anak kedua bu Halimah ya, berarti ini bukan anak selingkuhannya. Pasti ini anak pak Hasan asli, sangat mirip wajahnya dengan ayahnya. Beda lagi dengan anak pertamanya, nggak ada mirip-miripnya sama pak Hasan. Denger-denger emang bu Halimah punya anak dari laki-laki lain. Iiiih... nggak nyangka ya, wanita pendiam seperti bu Halimah, ternyata punya masa lalu yang menjijikkan." Cibir bu Fatin yang bersebelahan dengan bu Narsih.

"Lho... masak sih, Bu. Aku kok baru dengar beritanya sekarang??" tanya bu Narsih sedikit berbisik tapi tetap saja bisa di dengar di telinga Amel yang masih berdiri di sebelahnya.

Bu Fatin tak bersuara mendapat pertanyaan itu. Ia hanya berdehem dan mengisyaratkan dengan memicingkan sebelah matanya ke arah Amel.

"Sudah bu Darti, totalnya berapa ya?" Amel menyerahkan beberapa belanja annya dengan terburu-buru. Kedua matanya mulai panas menahan tangis yang tertahan. Tenggorokannya juga serasa kering hingga tak mau banyak mengeluarkan suara.

"Sebentar mbak, kenapa buru-buru sih. Santai saja, ini masih pagi." Lalu bu Darti menotal semua belanjaan Amel dan mdmasukkannya ke dalam kresek lalu diserahkan ke Amel.

"Terima kasih, Bu. Sa...saya permisi dulu." Pamit Amel terbata-bata menahan gemuruh di dadanya.

***

Malam itu, Yunan pulang agak malam karena harus menghadiri undangan dari rekan bisnisnya. Ia terpaksa berangkat sendiri tanpa ditemani istrinya. Karena Alma tak mau meninggalkan bayi lucunya yang seharian sudah ditinggalkan beraktifitas di tempat kerjanya.

"Sepi sekali. Dari tadi aku nggak lihat Tiara. Kemana dia, Ma?" tanya Yunan yang baru saja pulang dan memilih duduk di ruang tamu sebentar sambil melepas lelah.

"Tiara lagi keluar sama temanya, Mas. Itu lho... si Arka kakaknya Amora. Tadi Arka ke sini jemput Tiara, lalu pamit mau jalan-jalan sebentar." Jawab Alma sambil meletakkan secangkir kopi susu hangat di meja depan Yunan.

"Hmm... Arka? Apa cowok yang pernah kamu ceritakan waktu itu? Sudah lama dia suka sama Tiara dan baru saja berani nembak. Apa benar cowok itu, Ma?" tanya Yunan penasaran.

Alma mulai mendudukkan bokongnya di sofa single berhadapan dengan suaminya. "Iya, Mas. Anaknya sopan dan ramah. Sepertinya dia cowok baik-baik."

"Hmm... begitu ya? Semoga saja bisa mengarahkan Tiara ke hal-hal yang baik juga. Dan Tiara tetap pada tujuan awalnya, ia ingin melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran katanya.

"Nah, Arka itu sekarang sedang kuliah di fakultas kedokteran juga, Mas. Sudah masuk semester enam kata Tiara. Jadi klop kan, Mas?" tanya Alma dengan tersenyum manis.

"Benar juga. Ya, semoga Tiara menjadi wanita yang sukses seperti mamanya." Ucap Yunan bangga sembari menyeruput seteguk kopi susu yang aromanya menggugah selera.

"Oh ya, Mas. Gimana dengan masalah keuangan di kantor yang katanya sudah nemu titik terang?" tanya Alma penasaran.

Mendengar pertanyaan istrinya, Yunan mulai menyandarkan punggungnya yang bidang. Lalu ia mulai bercerita.

"Aku tadi sudah panggil biang keroknya langsung ku pertemukan dengan Revan sekretaris baru ku. Awalnya biang kerok ini berkelit dan tak mau mengakui kelicikannya. Tapi dengan adanya rekaman CCTV yang terpampang nyata, ia jadi tak berdaya dan tak bisa bersumpah serapah lagi." Ucap Yunan dengan menghela napas panjang untuk mengurangi kekesalannya.

"Oooh... siapa biang keroknya, Mas??" tanya Alma mengernyitkan keningnya saking penasarannya.

"Yuanita, mantan istri Anton." Jawab Yunan tegas.

"Astaghfirullah... nggak nyangka sampai segitunya tega memfitnah dan merusak reputasi perusahaan demi menaikkan pamornya sendiri. Untung kamu sigap dan langsung bertindak tegas, Sayang." Ucap Alma berdiri dari duduknya dan memeluk pundak suaminya yang sekarang sudah duduk di sebelahnya.

"Iya, Sayang. Syukurlah. Allah selalu melindungi aku dan keluarga ku. Semoga kita tak lepas dari karunia-Nya dan perlindungan-Nya dari orang-orang yang sengaja mencelakakan dan berbuat jahat. Terkadang bisa terjadi dari arah yang tak di sangka-sangka.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang