BAB 148

297 20 6
                                    

"Aaaah" Teriak Yuanita karena sangat terkejut atas apa yang menimpa dirinya. Ia tak menyangka, kalau Bagas akan seemosi itu ketika melihat dia sedang mengintai di balik benda mahal yang ada di samping pintu kamarnya.

Sorotan mata tajam bagai elang yang siap menerkam mangsanya, terlihat pada kedua mata lelaki tegap yang tengah berdiri di hadapannya. Sedang Yuanita masih duduk jongkok sambil menutup kedua telinganya.

"Berdiri kamu! Berdiri!!" Bentak Bagas tanpa berkedip.

"I... iya." Dengan kaki gemetaran, Yuanita berusaha berdiri dan menunduk di hadapan lelaki tampan tapi misterius itu.

"Masuk!!" Bentak Bagas lagi.

Kali ini dengan satu kata saja, ia tunjuk pintu kamarnya.

'Apa yang akan dia lakukan pada ku? Oh... kenapa tatapan matanya menakutkan?' bisik Yuanita.

"Masuk!!!" Teriakan menyentak dari bibir Bagas dengan suara lebih keras dan lantang, karena Yuanita sedari tadi belum menuruti kemauannya.

Kali ini nyali Yuanita mengkerut seketika, ia tak lagi percaya diri seperti sebelumnya.

Dengan keringat mengucur sebesar biji jagung, Yuanita mulai menuruti perintah bosnya dengan kaki bergetar dan jantung berdetak, seperti masuk dalam ruang eksekusi.

'Ruangan apa ini? Kenapa tak ada cahaya sama sekali? Ooo... tapi baunya sangat harum sampai menyengat bikin pusing kepala ku.' Bisik wanita itu.

BRAK! 

Yuanita terjingkat mendengar pintu kamar di tutup dengan keras oleh lelaki misterius yang sekarang jadi bosnya itu.

"Kamu mau lihat, sedang apa aku di kamar ini kan?? Aku sedang bermesraan dengan istri ku yang cantik jelita. Kamu belum kenal kan?? Kemarilah, Nita. Kamu akan aku kenalkan dengan istri ku."

'Aku akan dikenalkan dengan istri Bagas? Bukankah dia sudah meninggal beberapa tahun lalu, kata bik Yana? Apa ada wanita lain yang jadi istrinya??' Pikir Yuanita penuh tanda tanya.

Tangan  Yuanita di tuntun makin masuk ke dalam, lalu ia berhenti saat lampu kamar tiba-tiba menyala.

DAN... 

Seketika mata Yuanita terbelalak menatap sosok cantik dalam peti di tutup dengan kaca tembus pandang. Wanita itu persis wajahnya dengan lukisan besar yang terpasang di ruang tamu lantai satu.

"Oooo... si...siapa dia, pak??" tanya Yuanita gugup karena takut.

"Perkenalkan dia Marcella Agnesia, istri tercinta ku. Karena kamu tadi mengganggu kemesraan ku dengannya. Maka kamu akan menerima konsekwensinya."

"A... aku... aku minta maaf Pak Bagas. A... ku nggak bermaksud mengganggu mu. Ampuni aku, ampuni aku!" Suara Yuanita bergetar dan terbata-bata saking takutnya.

Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan dilakukan bosnya itu dengan melihat cara Bagas menatap wajahnya yang siap menelannya hidup-hidup di kamar berukuran besar itu.

"Jangan takut, Nita! Aku nggak akan menyakiti mu. Karena aku tahu betul wanita macam apa dirimu. Hmm... kamu menginginkan bermesraan dengan ku kan, Cantik? Sampai kamu mengendap-endap dan ingin tahu sedang apa sebenarnya aku di sini, ha ha haa..." Ucap Bagas sambil tertawa terbahak-bahak seperti orang tak waras.

Yuanita tak berani menatap mata Bagas yang seperti kesetanan itu. Bibirnya bergetar dan terkunci rapat karena belum pernah dalam hidupnya menghadapi lelaki gila seperti ini.

"Sini wanita jalang! Kamu mau ku peluk kan? Sini, jangan takut, Sayang!" Suara lelaki tampan di depan Yuanita yang sudah membuka satu-persatu kain yang menempel di tubuhnya.

Kaos hitam yang dikenakannya sudah di lempar begitu saja ke lantai. Lalu celana pendek abu-abu juga ditanggalkannya. Dan tersisa celana boxer yang menutup area kelaki-lakiannya, pelan-pelan ia turunkan. Dan sekarang bos Yuanita itu sudah tak memakai benang sehelai pun di tubuhnya.

Sebenarnya Yuanita menginginkan suasana seperti ini, seperti bayangannya sejak pertama bertemu dengan Bagas di ruang kerja waktu itu. Namun sekarang situasinya sudah beda. Ia dipaksa melayani bosnya itu di depan mayat istrinya yang ada dalam peti.

***

Sejak jam sembilan malam, Anton sudah menutup tokonya. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya yang sangat capek setelah seharian berkutat merawat Putri sekaligus melayani pembeli di toko depan rumahnya.

"Papa... ngantuk," Ucap Putri yang bermanja di pangkuan Anton.

"Iya, Sayang. Ayo bobok di kamar. Di buatin Papa cucu dulu ya." Pamit Anton sambil berdiri dan menuangkan air panas ke dalam botol dan tak lupa menuangkan beberapa sendok susu bubuk kesukaan Putri.

Putri tidur di samping Papa yang sangat menyayanginya. Walau hidup Anton sederhana dan jauh dari kata mewah, namun ia sudah mendapatkan ketenangan dengan melihat anaknya tumbuh dengan baik sesuai harapannya.

Setelah Putri tertidur pulas, tiba-tiba terdengar notifikasi pesan masuk pada ponsel Anton.

(Selamat malam, Mas Anton)

Anton membuka pesan itu, namun ia tak membalasnya, karena si pengirim tidak dikenalnya.

Lalu nomer tak dikenal itu kembali mengirim pesan singkatnya kembali.

(Aku bu Lala, Mas)

Anton membuka pesan singkat itu lagi. Namun memilih tidak menghiraukan malah menghapusnya begitu saja.

'Ngantuk banget. Aku sudah nggak tahan ingin tidur. Huaaah..." Anton beberapa kali menguap saking ngantuknya.

Sebentar saja, Anton sudah tertidur lelap bersebelahan dengan Putri yang sudah tertidur lelap terlebih dahulu.

*

"Iiiiih... kenapa sih pesan ku nggak di balas sama Mas Anton. Nyari nomernya saja aku harus berjuang ke sana kemari. Eee... taunya dapet, malah nggak di gubris. Dasar laki-laki sok jual mahal. Kurang apa sih aku ini? Udah cantik, badan seksi, uang banyak, masak Mas Anton nggak tertarik sih. Aku kan butuh seseorang yang selalu memberi kehangatan setiap saat, sedang Mas Adit suami ku bisa pulang cuma tiga sampai empat bulan sekali. Kelamaan dong." Gerutu bu Lala yang jengkel menatap ponselnya sedari tadi, tapi belum ada tanda-tanda, balasan dari Anton.

Bu Lala seumuran dengan Alam, istri pertama Anton. Tapi bu Lala belum dikarunia anak dari pernikahannya dengan Adit suaminya. Itulah salah satu sebab, wanita ini merasa kesepian saat malam menjelang.

Dan sejak ia mendapat nomer telepon dari Amel, adik Anton. Wanita jablay ini bertekad akan menggoda Anton, duda terganteng yang ada di kampung itu.

Ia tak menyerah begitu saja. Malah lebih nekad lagi kelakuannya.

"Atau aku telpon saja langsung. Pasti di angkat deh. Mas Anton mungkin masih malu-malu menghadapi aku. Aku makin tertantang dengan sikapnya."

Tak ayal lagi, ponsel Anton tiba-tiba berdering berkali-kali.

"Siapa sih, telpon malam-malam gini. Penting kali ya? Sampek nelpon juga. Biar aku cek dulu, bisa jadi ada kabar penting." Anton bermonolog sambil meraba ponsel yang ada di meja sebelah ranjang tidurnya.

"Bu Lala lagi! Apa sih maunya? Bikin aku susah aja nih perempuan gila." Anton sekali lagi bermonolog dengan muka dongkol.

Namun setelah tahu siapa yang menelepon, Anton malah mematikan ponselnya seketika. Dan penelepon menjadi capek sendiri dan mengurungkan menelepon lagi pada nomer yang sama.

"Dasar laki-laki berselera rendah. Hmm... aku akan melakukan sesuatu agar bisa meluluhkan hati Man Anton yang ganteng itu, Ha ha... Kudekati dulu anaknya, jika sudah beres, baru Papanya yang aku embat." Pikir bu Lala sambil tersenyum nakal.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang