Sepulang dari mengajar, Heni mulai berkutat dengan urusan rumah tangganya. Tapi, baru tiga hari dia bekerja, sifat songongnya mulai kambuh. Apa mungkin ini sudah mendarah daging dalam dirinya, hingga tak lagi hanya di sekolah ia bersifat seperti itu. Ternyata di rumah yang notabene serumah dengan mertua, sikapnya juga mulai demikian.
Padahal ia sudah janji pada suami, mertua serta adik iparnya, kalau sudah selesai mengajar, ia yang akan merawat dan mengasuh anaknya. Tapi kenyataannya tak demikian. Dengan dalih kecapekan habis bekerja, ia malah enak-enakan tidur dan tak menggubris nasehat mertuanya.
Kebanyakan yang kita ketahui dalam novel maupun kehidupan nyata, mertualah yang sering berbuat semena-mena terhadap menantunya. Nah, ini justru sebaliknya. Menantu yang berbuat seenaknya sendiri pada mertuanya.
"Hen, ini Putri sudah bangun. Sebaiknya kamu gendong dulu. Kayaknya sudah kangen sama mamanya." Kata bu Halimah sembari menggendong cucunya dengan penuh kasih sayang.
"Sebentar, Bu. Aku mau istirahat dulu. Baru saja nyampek rumah. Aku masih capek, Bu." Sahut Heni dengan nada ketus.
Bu Halimah tak bisa berbuat apa-apa. Wanita tua itu hanya menghela napas dalam-dalam, karena menahan rasa kecewa dan capek mengasuh cucunya.
Harapannya setelah Heni pulang, ia akan segera bisa merebahkan diri dan beristirahat siang untuk menghilangkan rasa lelah. Karena sedari pagi sudah menyelesaikan banyak pekerjaan di rumah. Dari memasak, mencuci, menyapu, membersihkan piring, ditambah dengan mengasuh cucu.
"Heni, ini anakmu nangis. Mungkin karena haus. Kamu susui sambil istirahat ya!?" Pinta bu Halimah pada menantunya.
"Aduh, Bu. Buatin susu botol aja deh. Aku masih capek. Apa ibu nggak lihat, aku baru pulang kerja???" Tetap saja menantu songong itu menolak permintaan bu Halimah.
Dan sekali lagi, bu Halimah memilih diam tak membantah. Kalau saja ada Adel di rumah, pasti Heni akan di damprat habis-habisan. Tapi kali ini, di rumah tak ada orang lain, selain bu Halimah, Heni dan si kecil Putri.
Akhirnya bu Halimah membuatkan susu botol untuk cucunya, karena merasa kasihan mendengar tangisan Putri yang tak berhenti.
"Ini, Sayang. Susunya di minum dulu ya. Cup...cup... sini sama nenek lagi ya!" Begitulah ucapan bu Halimah pada cucunya yang sudah ada dalam pangkuannya.
Tiba-tiba terdengar suara salam dari depan rumah.
"Assalamu'alaikum"
Sesaat kemudian bu Halimah menjawab salam sambil mengarahkan pandangannya ke pintu depan. Karena pada waktu itu, ia sedang duduk di ruang tengah. "Waalaikum salam"
Lalu seseorang tadi sudah melangkah masuk ke rumah. Setelah sampai di ruang tengah, ia menyapa.
"Bu, aku pulang cepat hari ini. Badanku makin panas dan kepala ku sakit. Aku minta ijin bos pulang dulu. Dan melihat kondisi ku seperti ini, akhirnya aku di sarankan istirahat di rumah sulu." Kata Adel, anak perempuan bu Halimah.
"Iya, Del. Kamu istirahat dulu. Tapi jangan lupa minum obat yang ada di kotak obat, semoga bisa mengurangi rasa sakitnya." Titah bu Halimah sambil menimang cucunya yang ada dalam pangkuannya.
"Kenapa Putri masih di asuh ibu? Heni kan sudah pulang, Bu. Sepeda motornya sudah ada di rumah???" tanya Adel.
"Heni masih capek katanya, ia masih tiduran di kamar." Jawab bu Halimah terus terang.
"Enak aja bilang capek. Di kira ibu nggak capek apa? Mulai pagi hingga siang ngasuh anaknya?!!" Kini Adel mulai emosi, padahal badannya juga sakit, tapi ia lebih perhatian pada nasib ibu kandungnya.
"Nggak apa-apa, Del. Sebentar lagi, Heni pasti sudah bangun." Jawab bu Halimah dengan tenang.
Adel tak bertanya lagi pada ibu kandungnya yang masih duduk di sofa ruang tengah. Ia lebih memilih menggedor pintu kamar iparnya yang tak tahu diri.
Tok... tok... tok...
"Heni, bangun kamu!!! Jangan seenaknya sendiri di rumah ini!!! Bangun!!!" Teriak Adel sambil tak henti-hentinya menggedor pintu.
"Aduuuh... siapa sih. Ganggu aku tidur aja. Ibu ini gimana? Sudah dibilangi, aku mau istirahat bentar, malah gedor-gedor pintu." Gerutu Heni sambil bangkit dari tidurnya.
Ia segera menuju pintu dan membukanya dengan kesal.
Ceklek
"Aku masih capek, Bu." Ucap Heni masih dengan mata setengah tertutup dan muka masam.
"He... menantu nggak tau diri. Buka mata mu!!! Ambil anakmu dari ibu. Apa janjimu pada ku, hah??? Apa memang kamu sengaja, menganggap ibu ku baby sister anakmu??!!" Adel menatap tajam ke arah Heni dengan suara keras.
"Ooo... kamu, Del. Bentar, aku akan gendong Putri." Jawab Heni dengan gelagapan. Matanya kini terbelalak menatap sesosok wanita yang tak diharapkan menggedor dan mengganggu tidur siangnya.
"Sudah numpang, belagu lagi!!!" ucap Adel sambil menatap lekat ke muka kakak iparnya itu.
"Jangan bicara sembarangan, Del!!! Aku ini istri kakakmu. Awas saja, kalau Mas Anton tahu kamu jahat pada ku, pasti Mas Anton nggak akan tinggal diam. Ingat, itu!!!" Ancam Heni tak mau kalah.
"Ooo... Jadi sekarang kamu sudah pinter ngadu, hah?!? Adel makin geregetan dengan tatapan tajam ke arah kakak iparnya itu.
Mendengar pertikaian kedua wanita di rumahnya, bu Halimah segera bangkit dari duduknya untuk segera melerai.
" Adel, Heni. Sudah, jangan ribut!!! Ini, Hen. Putri sudah ngantuk, minta di gendong kamu!!" Bu Halimah juga mulai kesal dengan sikap menantunya.
Untung ada Adel, yang berani melawan keegoisan Heni. Kalau tidak, pasti bu Halimah sekali lagi jadi korban dan tak bisa berbuat apa-apa, selain mengalah.
Dengan muka bersungut-sungut, istri Anton menerima Putri dan segera masuk ke kamar kembali, menutup pintu dengan keras.
Brakk
'Seisi rumah sama aja. Nggak ada yang ngerti, kalo aku ini masih capek.' Gerutu Heni dalam hati dengan muka kecut.
"Ibu harus tegas ngadepin Heni! Kalo dibiarin bisa ngelunjak dia. Awas aja, kalau besok sikapnya tetep seperti itu. Aku akan mengusir Mas Anton dan Heni biar pindah dari rumah ini. Bisanya nambah masalah aja!" Adel masih kesal dan mengeluarkan uneg-unegnya pada ibu kandungnya.
"Sudahlah, Del. Kamu istirahat dulu! biar panas badanmu cepet sembuh. Masalah ini nanti kita bicarakan lagi." Sahut bu Halimah dengan sabar.
"Iya, Bu." Lalu Adel segera melangkah menuju kamar untuk segera mengistirahatkan diri setelah minum obat.
Disusul bu Halimah yang juga segera masuk kamar untuk melepas lelah, merebahkan diri dengan tubuh yang sudah mulai menua.
Kebanyakan dari kehidupan nyata, seorang anak atau menantu meminta orang tua untuk mengasuh cucunya, dengan alasan di tinggal bekerja. Padahal itu kebiasaan yang seharusnya tak dilakukan, karena bagaimanapun juga orang tua yang sudah makin berumur, janganlah diberi beban terlalu berat. Mereka butuh ketenangan dan istirahat yang cukup.
Bukankah saat kita kecil, orang tua kita sudah mengasuh dari pagi hingga malam? Apakah setelah punya cucu, lantas kita juga menitipkannya pada orang tua kita? Lalu, kapan kita mengurangi beban orang tua apalagi membalas kasih sayangnya?
***
BERSAMBUNG...
Mohon tinggalkan jejak setelah membaca novelku ini ya readers
Like, komen & vote adalah penyemangat author dalam menulis. Thank you❣️❣️❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomanceSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...