BAB 129. SAKIT KEPALA

244 11 2
                                    

"Kenapa nggak dibolehin dekat sama cowok? Kamu kan bukan anak kecil lagi? Masak jaman modern gini, masih ada aja gadis di kekang seperti burung dalam sangkar. Lagian mas Arka kan kakak ku sendiri. Masak, tante Alma nggak percaya sih?" Ucap Amora sambil bersungut-sungut. Ia tak menyangka mendengar alasan Tiara barusan, ternyata mamanya punya aturan seperti itu.

"Jangan salah sangka dong! Justru, mama ku tuh saking sayangnya sama aku, Mora. Jadi sangat hati-hati merhatiin pergaulan ku, terlebih di luar sekolah. Makanya aku jarang sekali keluar malam, kalau acara itu nggak begitu penting." Jawab Tiara memberi penjelasan pada sahabatnya yang sedikit salah paham pada sikap mamanya.

"Tapi ada benarnya juga sih. Kalau kita sudah salah pergaulan dan nggak ada aturan, bisa-bisa kita lupa tujuan dan mengecewakan orang tua kita. Kayaknya sikap tante Alma sefrekuensi deh sama mama ku." Akhirnya Amora memahami dan merasa cocok dengan pendapat mamanya Tiara.

BEL MASUK TELAH BERBUNYI

Selanjutnya dua gadis sebaya itu segera menghentikan pembicaraan dan berdiri untuk membayar jajanan dan minuman di kantin sekolah itu.

Lalu semua murid seragam putih abu-abu kembali ke kelas masing-masing dengan semangat baru.

Tempat duduk Tiara dan Amora bersebelahan sejak kelas sepuluh. Jadi sudah hampir tiga tahun keduanya bersahabat dan saling tahu akan kebiasaan masing-masing.

Saking akrabnya, sering Tiara menyempatkan waktu bertandang ke rumah Amora yang tak begitu jauh dari rumahnya. Begitu juga sebaliknya, orang tuanya pun sudah saling kenal.

Dan diam-diam Arka kakaknya Amora menyukai Tiara sejak dulu. Usianya lebih tua tiga tahun dari Tiara. Ia masih berstatus mahasiswa di Universitas ternama di Surabaya, tempat Tiara dan Amora tinggal.

Jadi Arka tak perlu ngekost, cukup pulang pergi dari rumah untuk mencapai kampus tempat ia kuliah.

"Oh ya, aku hampir lupa. Mas Arka nitip salam ke kamu. Trus, kemarin dia nanyain no WA kamu juga. Boleh kan?" tanya Amora di sela-sela seorang guru menjelaskan pelajaran dalam kelas.

"Ssstttt... Iya, Mora. Jangan keras-keras!" Tiara memberi kode pada sahabatnya itu, jari telunjuk kanan di acungkan ke depan mulutnya.

Ia melakukan hal itu, karena di depan kelas sudah ada pak Norman yang terkenal jadi guru terkiller di sekolah itu. Kalau sampai ketahuan nggak merhatiin saat dijelaskan, bakal jadi bulan-bulanan si kelas.

"Hmm..." Ucap Amora menuruti nasehat Tiara.

***

"Apa ibu baik-baik saja? Kenapa wajah ibu nampak pucat?" tanya Amel yang merasa janggal dengan keadaan bu Halimah.

"Iya, Mel. Kepala ibu sakit sekali. Biasanya buat rebahan seperti ini bisa sembuh sendiri, tapi kok nggak sembuh-sembuh ya?" Bu Halimah memijit-mijit keningnya sambil mengoleskan obat gosok untuk mengurangi rasa sakit di kepala sejak pagi tadi.

"Nanti aku antar ke dokter ya, Bu. Tapi aku mau mandi dan ganti baju dulu." Ucap Amel yang memang baru saja sampai di rumah. Sejak pagi ia sudah berangkat ke tempat kerja seperti biasanya.

"Iya, Mel." Jawab bu Halimah singkat.

'Untung cucu-cucu ku hari ini nggak ada yang rewel, jadi Anton bisa mengawasi keduanya tanpa kerepotan. Sampai kapan nasib mu seperti ini, Ton? Ibu nggak tega melihat mu di rumah saja tanpa bisa melakukan apa-apa untuk menghidupi anak-anakmu. Sedang hasil penjualan tanah warisan atas nama mu sudah hampir habis untuk biaya pernikahan dan mas kawin. Ditambah lagi dengan modal usaha yang sekarang terbengkalai di rumah Zaini. Anton... Anton...Aduuuh, kepalaku makin sakit mikirin Anton.' Gemuruh di dada dan kepala bu Halimah sepanjang hari, malah memperparah sakit kepalanya.

Tiba-tiba datanglah Anton menghampiri bu Halimah yang masih rebahan di atas ranjang.

"Bu, apa sebaiknya aku buka toko kecil-kecilan di depan rumah ini ya? Karena stok di toko lama, masih banyak sekali. Daripada aku nggak ada pemasukan, lebih baik usaha itu dilanjutkan di rumah ini." Ucap Anton yang tak peka dengan keadaan ibunya yang lagi sakit.

"Iya, ibu setuju. Apalagi Nita sudah nggak peduli sama sekali dengan anaknya. Mau gimana lagi, untuk apa pernikahan mu dipertahankan. Aduuuh..." Bu Halimah merintih kesakitan lagi.

Mendengar ibunya mengeluh, barulah pa dangan Anton menatap ke arah tangan ibunya yang lagi memijit pelipisnya berkali-kali.

"Lho... ibu kenapa? Apa masih sakit juga? Maaf bu, aku dari tadi nggak tau kalau ibu masih sakit." Ucap Anton lebih mendekatkan tangannya pada kaki ibunya dan duduk di ranjang, sembari kedua tangannya mulai memijit kaki bu Halimah yang mulai keriput.

"Iya, Ton. Setelah ini, Amel mau antar ibu ke dokter. Kamu jaga anak-anak mu ya! Kamu nggak kuwalahan kan?" tanya bu Halimah khawatir.

"Nggak Bu, aku nggak kuwalahan. Selagi Putri nggak rewel, aku bisa mengatasinya." Jawab Anton berusaha meyakinkan bu Halimah.

"Ibu mau siap-siap dulu ya, Ton. Biar Amel nggak kelamaan nunggu nanti." Pamit bu Halimah mendudukkan bokongnya dan berdiri dengan hati-hati menuju kamar mandi.

Sementara Anton masih duduk di tepi ranjang, sambil menatap sekeliling kamar ibunya. Wajahnya berubah murung ketika melihat foto yang dipasang dengan bingkai kayu dipajang rapi di tembok kamar itu.

Disana ada foto pak Hasan, bu Halimah, Amel dan Anton sekitar dua puluh tahun lalu. Ia masih nampak muda, gagah, punya perawakan tegap dan senyum yang menawan.

Sejurus kemudian, ia ingat sosok Alma yang dengan kelembutannya selalu menemani dia dalam suka dan duka. Tak pernah mengeluh dan menuntut apa-apa. Tapi ia malah yang menghancurkan kepercayaannya.

'Maafkan aku, Alma. Dari semua wanita yang pernah ku nikahi, kamulah yang terbaik. Andai waktu bisa si ulang, aku tak akan menyia-nyiakan mu lagi. Tapi semuanya sudah terlambat, Alma. Aku yang membuat mu terluka dan menangia, hingga perpisahan yang jadi pilihan mu kala itu. Aku rindu suasana saat bersamamu, Alma. Tak ada wanita yang bisa mengerti aku, kecuali kamu seoranh.' Lamunan Anton tentang masa lalu nya membuat ia terdiam sejenak mengingat kenangan indah bersama Alma, istri pertamanya.

"Ton, kamu masih di sini?" Sapa bu Halimah membuat Anton kaget seketika.

"I... iya, Bu. Aku mau lihat anak-anak dulu, Bu." Jawab Anton gugup.

Lalu ia beranjak dari duduknya dan berjalan terpincang-pincang keluar kamar menuju kamar dia sendiri.

Lalu terdengarlah suara Amel memanggil ibunya, "Bu, apa ibu sudah siap?" Adik Anton itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos putih sebagai atasannya.

"Iya, ibu siap, Mel. Nanti kalau bawa sepeda jangan kenceng-kenceng ya, Mel! Kepala ibu sakit sekali." Pintar bu Halimah yang masih merapikan jilbab instan warna hitam kesukaannya.

"Iya, Bu. Jangan khawatir! Ayo kita berangkat biar nggak kemalaman." Ajak Amel menuntun ibunya yang tertatih dalam berjalan.

***

BERSAMBUNG

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang