Dengan senyum sumringah, Anton melaju menuju apartemen sang pujaan hati. Tapi si sela-sela perjalanan, terbersit kegundahan perihal statusnya saat ini. Ada sedikit keraguan menyeruak lubuk hatinya, ya... statusnya yang sudah menduda. Akankah ia akan diterima menjadi menantu oleh ayah Yuanita? atau ia akan di tolak mentah-mentah dan pulang dengan tangan hampa??
Lelaki yang sudah menjalani dua kali pernikahan ini, tak mau melepas kemolekan dan kecantikan Yuanita begitu saja. Baru kali ini, si playboy senior ini tergila-gila dengan seorang wanita, tak seperti sebelum-sebelumnya.
Dengan pernikahan pertamanya, ia dibucinin abis, hingga si wanita berani menentang larangan menikah dengannya. Siapa lagi kalau bukan dengan Almaila Khumaira, hingga akhirnya kandas dengan perceraian karena perselingkuhan yang tak disangka-sangka. Perselingkuhan dengan sahabatnya sendiri, Diam-diam telah menusuknya dari belakang.
Dan dari sinilah awal dari kehancuran persahabatan Alma dan Heni yang sudah terbina bertahun-tahun.
Namun perselingkuhan ini yang akhirnya membawa Anton pada pernikahannya yang kedua dengan Heni. Tapi berakhir lebih tragis, karena ulah si lelaki playboy kawakan lagi. Malah bunuh diri yang menjadi pilihan tertololnya, astaghfirullah.
Kini hasrat kelaki-lakiannya makin membara, setelah bertemu dengan wanita yang seolah menghipnotis hati dan pikirannya. Yuanita, wanita single, cantik jelita nan mempesona. Dan malam ini sang petarung cinta akan membuktikan keseriusannya.
Ting tung...
Suara bel berbunyi.
"Bentar, Yah. Itu kayaknya Mas Anton yang datang." Ucap Yuanita yang sedang duduk bercengkrama dengan sang ayah di ruang tamu.
"Hmm...," jawab ayahnya dengan sedikit senyuman di sudut bibirnya.
Ceklek.
"Malam Nita," Sapa lelaki tampan berjaket kulit warna hitam sembari tersenyum manis padanya.
"Mas Anton, silahkan masuk Mas!" Seru Yuanita dengan wajah cerah dan mata berbinar. Rasa senang menyeruak dalam hati wanita cantik itu. Dengan senyum manisnya ia melangkah berdampingan dengan Anton menemui ayahnya yang sudah duduk manis di sofa warna cream.
Hanya beberapa langkah saja, Anton sudah bisa menatap wajah calon mertuanya yang saat ini bikin degup jantungnya berdetak tak menentu. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena rasa yang campur aduk, canggung, takut, kuatir di tolak, nggak tau nanti harus jawab apa kalau di tanya statusnya. Seabrek literatur memenuhi gelombang pikirannya, hingga mempengaruhi gerak-geriknya yang nampak gugup.
Melihat tingkah calon suaminya yang tak bisa menutupi kegelisahannya itu, Yuanita membuka pembicaraan diantara ayah dan Anton. "Ayah, ini Mas Anton. Calon menantu ayah." Ucap wanita itu yang tak ragu lagi memperkenalkan lelaki di sebelahnya, dengan senyum penuh harap.
"Se... selamat malam Pak, saya Anton." Lelaki yang belum sempat melepas jaket hitamnya itu terbata-bata dalam mengucapkan kalimatnya. Tatapan mata tajam dari ayah Yuanita, membuatnya tak bernyali. Kini sang playboy kelihatan tak berdaya di hadapan lelaki beruban di hadapannya. Tangannya yang dingin karena nerves disodorkannya, sembari bersalaman dengan calon mertua.
"Hmm... Selamat malam. Aku ayah Yuanita. Silahkan duduk." Jawab ayah Yuanita dengan sedikit senyum saja. Suara baritonnya makin membuat nyali Anton menciut. Apalagi menatap mata tajam yang tak berkedip, bikin Anton berkeringat dingin dan memilih menundukkan pandangannya ke lantai.
"Apakah kamu sudah yakin ingin menikah dengan anakku?" Tanya ayah Yuanita tanpa basa-basi.
"I... iya, Pak. Saya yakin ingin menikahi Yuanita." Jawab Anton dengan memberanikan diri mengangkat sedikit mukanya agar bisa kelihatan tegas.
"Sudah lama kamu mengenal Yuanita? Dan apa yang membuatmu yakin??" tanya lelaki tua itu dengan tatapan tajam.
"Saya sudah lama mengenal Yuanita, sejak dia mulai bekerja di perusahaan. Hmm... sa... saya sangat menyayanginya dan saya ingin membahagiakannya." Jawab Anton sambil menghela napas panjang untuk menutupi kegugupannya.
Ayah Yuanita manggut-manggut setelah mendengar penjelasan Anton. Setelah itu meluncur pertanyaan dari mulutnya lagi. "Apa orang tuamu berasal dari sini juga?"
Tiba-tiba Yuanita datang dengan membawa nampan berisi beberapa kue dan minuman untuk disuguhkan ke hadapan ayah dan calon suaminya. Tangannya yang mulus meletakkan satu persatu sajian yang siap dicicipi itu dengan pelan, sambil sesekali melirik wajah Anton yang masih nampak gugup.
"Ayah, Mas Anton, silahkan dicicipi dulu. Mumpung kopinya masih panas, biar nggak tegang gitu, heheee..." kelakar Yuanita menyibak ketegangan antara dua pria di hadapannya.
"Makasih, Nita." Jawab Anton singkat.
"Oh iya... silahkan di minum dulu, Anton. Santai saja, jangan terlalu tegang. Kamu kan nanti jadi menantuku juga, menantu sama dengan anak sendiri, hmm..." sahut ayah Yuanita ikut mempersilahkan tamunya dengan lebih melebarkan senyumannya.
"I... iya, Pak. Makasih." Jawab Anton sambil meraih secangkir kopi yang masih mengeluarkan asap, hingga bau harum khas kopi hitam semerbak menusuk hidungnya.
"Eee... Mas Anton kok panggil Pak sih. Panggil Ayah aja, kan bentar lagi kamu jadi menantunya Ayah. Iya kan, Yah??" Yuanita protes atas panggilan yang dilontarkan Anton untuk ayahnya.
"Hemm... Ya... bolehlah, mulai sekarang panggil Ayah saja ya, hehee..." Jawab lelaki tua itu dengan wajah sumringah. Tersirat disana kalau Anton sudah mulai bisa membuka pintu hatinya.
"Hmm... i... iya, Yah." Jawab Anton masih canggung.
"Oh iya, pertanyaanku tadi belum kamu jawab, Ton. Apa orang tuamu asli sini juga?" Ayah Yuanita mengulangi pertanyaannya yang belum sempat dijawab oleh Anton.
"Iya, Yah. Orang tua saya asli sini. Tepatnya saya tinggal di dekat pasar gedhe di kota ini." Anton mulai mendeskripsikan letak rumahnya.
"Pasar gedhe??? Apa kamu tinggal di sekitar Taman Asri???" Deretan pertanyaan lelaki tua itu makin antusias.
"Iya, benar Ayah. Saya tinggal dengan ibu dan adik saya. Sepertinya Ayah sudah mengenal daerah situ ya?" Ucap Anton mulai mengakrabkan diri.
"Tentu saja. Aku juga berasal dari Taman Asri. Jangan-jangan aku kenal dengan orang tuamu, Ton???" Ayah Yuanita makin bersemangat menginterogasi calon menantunya.
"Ooo... jadi, Ayah juga asli Taman Asri." Anton juga nampak makin nyambung komunikasinya, kini rasa canggung mulai menipis.
"Siapa nama orang tuamu, Ton??" tanya ayah Yuanita dengan senyum ramahnya.
"Ayah saya bernama Hasan, tapi beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu." Jawab Anton dengan memasang muka sedih.
"Hasan???" spontan lelaki tua di hadapan Anton itu lebih mengeraskan suaranya. Napasnya pun tiba-tiba ditariknya dengan kasar namun panjang.
"Apa Ayah...kenal dengan ayah saya?" tanya Anton dengan penuh harap.
"Iya, Ton. Sepertinya aku pernah mengenal nama itu. Tapi nama Hasan kan nggak cuma satu. Lalu, siapa nama ibumu, Ton???" ayah Yuanita malah membalas dengan pertanyaan berikutnya. Kali ini tatapan matanya nampak gelisah.
"Ibu saya bernama... Halimah" Anton menjawab dengan lancar tanpa ragu, sembari tersenyum menatap calon mertuanya itu.
DUARRRRRR....
Tak ada petir yang menyambar, tapi jantung ayah Yuanita tersentak mendengar nama yang baru saja di sebut Anton. Tiba-tiba tangan ayah Yuanita menjalar dingin dan tenggorokannya tersedak. "Uhuk... uhuk... uhukkk..."
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
Любовные романыSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...