BAB 62. TERLALU MENGALAH

882 46 14
                                    

Bu Joko dan bu Nana masih menemani bu Halimah. Keduanya memang terkenal emak-emak biang gosip, tapi hati nuraninya tak tega meninggalkan wanita tua yang masih kesulitan dalam berjalan. Apalagi ada bayi yang butuh perhatian dan pengasuhan.

"Sebaiknya, ku ketuk pintu kamar menantu bu Halimah. Biar cepat bangun dan bisa mengasuh anaknya ya, Bu Nana." Usul bu Joko.

"Iya, Bu Joko. Kalo bisa gedor aja. Tuh telinga apa udah tuli ya??? Suara tangisan anaknya sekeras itu nggak kedengeran. Apalagi jeritan bu Halimah minta tolong yang demikian keras. Kita aja yang berjalan di depan rumahnya bisa dengar. Lha... ini yang tidur di sebelahnya nggak respon sama sekali. Jangan-jangan, menantu bu Halimah nggak tidur, Bu Joko?" Celetuk bu Nana ikutan kesal.

"Hmm... kalo nggak tidur, lalu lagi apa, Bu Nana???" tanya bu Joko penasaran.

"Pingsan kali, atau jangan-jangan mati suri." Jawab bu Nana asal-asalan.

"Eeeh... Bu Nana, ada-ada aja. Bentar ya, aku bangunkan dulu, menantu bu Halimah." Pamit bu Joko sembari melangkah menuju kamar Heni yang terletak paling belakang, bersebelahan dengan dapur.

Sementara bu Nana menggendong Putri yang sudah tenang sambil menemani bu Halimah yang masih berbaring di kamar tidur. Kini bu Halimah tak kedinginan lagi, karena pakaiannya sudah ganti dengan yang kering, dibantu bu Joko yang menuntunnya tadi dengan sabar.

Tok tok tok...

Pintu kamar Heni mulai di ketuk. Tapi di tunggu beberapa saat tak ada jawaban. Sekali lagi pintu di ketuk kembali dengan lebih keras.

Tokk tokk tokk...

Bu Joko kesal dan tak lagi mengetuk pintu, tapi lebih mengarah menggedor dengan keras.

Hingga penghuni kamar itu terdengar mengeluarkan suaranya sambil mengeluh. "Iya... bentar Bu. Aduuuh...!"

Ceklek

Pintu pun terbuka.

"Aku masih ngantuk, Bu. Baru aja aku tertidur sudah dibangunkan sih?!" Gerutu Heni dengan mata terpejam.

"Mbak Heni, ini bu Joko. Buka mata mu!" Sentak bu Joko dengan geram.

"Ooo... maaf, Bu Joko. Aku kira ibu." Jawab Heni sambil membuka matanya yang masih nampak ngantuk. Ia mundur satu langkah karena kaget, ada sosok bu Joko ada di depan kamarnya.

"Mbak Heni harus cepat bangun. Lihat tuh, mertua mbak habis terpeleset, sampai nggak bisa jalan seperti biasanya. Apa nggak kasihan, Mbak???" tanya bu Joko sambil melotot karena jengkel melihat sikap wanita di depannya.

"Lho... ibu habis jatuh ya? Maaf... aku nggak tau. Tadi kayaknya ibu baik-baik saja. Makanya aku ijin istirahat bentar, maklum lah aku baru saja pulang kerja." Jawab Heni tenang, tanpa ada rasa bersalah.

"Sebaiknya Mbak Heni mengasuh Putri sendiri sekarang. Bu Halimah masih terbaring kesakitan. Kasihan, Mbak. Mertua Mbak sudah tua, masih ditambah ngasuh cucu." Ulas bu Joko makin kesal.

Mendengar penjelasan dan saran bu Joko, Heni tak menjawab, ia lebih memilih meninggalkan bu Joko begitu saja, lalu gegas ke kamar bu Halimah.

Dengan muka bersungut-sungut, telinganya panas mendengar perkataan bu Joko tadi. Ia masuk kamar bu Halimah yang pintunya sengaja di buka oleh bu Nana.

"Ibu... apa yang terjadi??Kenapa sampai jatuh, Bu???" tanya Heni sok perhatian.

Tapi bu Halimah tak menjawab pertanyaan menantunya. Ia malah memejamkan kedua matanya yang nampak lelah dan napasnya dihembuskannya dalam-dalam. Seakan menyiratkan kekesalan yang teramat sangat pada istri Anton itu.

Kini bu Nana menatap wajah Heni dengan kesal dan menyerahkan Putri yang sedari tadi di gendongnya. "Masak kamu nggak dengar sih??? Aku dan bu Joko yang di luar aja bisa dengar dengan jelas. Kayaknya memang kamu sengaja nggak mau bangun." Ucap bu Nana dengan ketus.

Heni mendongakkan kepalanya setelah mendengar tuduhan bu Nana yang tanpa basa-basi. "Jangan sembarangan menuduh ku seperti itu, Bu Nana. Namanya juga lagi tidur, ya... nggak kedengeran." Mata Heni mendelik menatap wajah bu Nana yang duduk di sampingnya.

Tiba-tiba bu Joko masuk kamar dan ikut nimbrung. "Untung aja tadi ku gedor pintunya bisa bangun. Kalo nggak bangun, bisa-bisa selamanya nggak bangun. Nggak bahaya ta???" Dengan senyum sinis bu Joko menunjukkan rasa tak suka dengan sikap menantu bu Halimah itu.

Akhirnya telinga Heni tak tahan mendengar umpatan ibu-ibu yang ada di kamar itu. Ia berdiri dari duduknya dan melangkah cepat menuju kamarnya sendiri sambil menggendong anaknya tanpa sepatah kata pun.

Setelah di rasa agak jauh dan tak bisa mendengar ucapannya, bu Joko memonyongkan mulutnya sambil berkata "Dasar menantu tak tau diri. Kalo aku jadi bu Halimah, sudah ku usir dari rumah ini! Bikin kesel aja!"

"Iya... Aku juga nggak habis pikir. Kok ada menantu setega itu. Bu Halimah terlalu sabar jadi mertua, makanya ngelunjak dia." Kata bu Nana menimpali. Sengaja volume suaranya sedikit dikeraskan agar bu Halimah bisa mendengar dan lebih tegas mengambil tindakan.

Karena di rasa cukup, akhirnya ibu-ibu tukang gosip tapi masih punya hati nurani itu pamit.

"Maaf, Bu Halimah. Kami pamit pulang dulu ya! Jaga kesehatan ya, Bu. Jangan mengerjakan pekerjaan berat-berat dulu, apalagi mengasuh cucu. Itu bukan tugas ibu." Pesan bu Joko sekaligus berpamitan.

"Betul, Bu. Sebaiknya Bu Halimah ceritakan semuanya pada anak-anak ibu, Anton dan Adel. Pasti mereka membela ibu. Karena menantu bu Halimah sudah keterlaluan. Maaf ya, Bu. Kami nggak bisa lama-lama menemani. Kami pamit pulang ya, Bu." Demikian juga dengan bu Nana, ia juga menasehati bu Halimah sekaligus berpamitan.

"Iya, Bu Joko, Bu Nana. Terima kasih banyak atas pertolongannya. Maaf kalau saya merepotkan." Jawab bu Halimah sambil tetap tiduran di kamar.

"Kami nggak merasa direpotkan, Bu Halimah. Kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan bilang ke saya atau Bu Nana. Kami akan berusaha membantu sebisanya, Bu!" Ucap bu Joko sambil tersenyum dan melangkah keluar kamar di ikuti bu Nana di belakangnya.

Kini bu Halimah terlentang di atas kasur sambil memejamkan kedua matanya kembali. Rasa sakit yang tak bisa disembunyikan adalah bagian dahi, yang tampak menonjol, bengkak, berwarna hitam kebiruan.

Dan rasa sakit yang tak kalah hebatnya adalah batin seorang mertua yang mendapatkan perlakuan dari menantu sedemikian rupa. Sampai air mata bu Halimah meleleh kembali, jika mengingat peristiwa yang baru saja ia alami.

'Kenapa aku punya menantu seperti ini? Begitu tega padaku? Andai Anton masih beristrikan Alma, pasti aku nggak diperlakukan seperti ini. Menantu ku yang dulu sangat baik. Tak pernah bicara keras apalagi membantah ucapan ku. Alma selalu menghormati dan menghargai ku. Beda jauh dengan Heni, seperti bumi dan langit. Istri Anton yang sekarang menganggapku seperti pembantu. Heni nggak pernah membantu ku menyelesaikan pekerjaan rumah. Ia sibuk sendiri dengan berbagai alasan. Apakah ini karma atas kebohongan yang aku simpan rapat-rapat tentang ayah Anton yang sebenarnya?'

Pikiran bu Halimah melayang ke mana-mana, hingga teringat akan dosa besar yang ia perbuat hingga menyembunyikan identitas putra satu-satunya, Anton.

***

BERSAMBUNG... 

Double up ya readers

Makasih banyak atas support yang telah diberikan, berupa like, komen dan votenya❣️❣️❣️

PENGHIANATAN JADI KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang