Pagi ini, rumah pak Zaini nampak sunyi. Tak terdengar lagi tangisan bayi, tak ada lagi gelak tawa Putri dan celotehannya. Tak ada lagi lalu lalang pembeli yang datang ke toko milik Anton. Semua telah berubah, sejak kepergian Anton dan anak-anaknya.
Pagi ini ayah Yuanita sedang duduk di kursi teras. Sambil meneguk secangkir kopi hangat yang ia buat sendiri. Tak ada yang diandalkan ketika putri pertamanya sejak semalam mengurung diri di kamar. Terpaksa ia memanaskan air dan menyeduh ke dalam secangkir kopi dan setengah sendok gula pasir sebagai kebiasaannya setiap pagi.
Sambil menyeruput secangkir kopi panas di tangan kanannya, ia merenungi peristiwa semalam. 'Rumah ini jadi sepi. Aku sebenarnya kasihan dengan nasib mu Anton. Dengan fisikmu yang sudah berkurang, kau mendapatkan perlakukan seperti itu dari Nita. Tapi... aku tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana pun juga aku yang salah. Aku yang membuat adik kakak ini akhirnya menikah. Tak ku sangka berakhir seperti ini.'
Tiba-tiba ada pembeli datang ke warung Anton yang ada di teras rumah. "Kenapa warungkonya tutup, pak Zaini. Saya mau belanja nih. Kayaknya dari semalam tutup terus. Mas Anton kemana, pak Zaini?" tanya bu Lilik tetangga depan rumah.
"Hmm... tokonya tutup dulu, bu Lilik. Mas Anton lagi pulang ke rumahnya." Jawab pak Zaini berusaha mencari alasan.
"Kasihan mbak Yuanita dong. Habis lahiran kok malah ditinggal pulang. Gimana sih mas Anton nih?" tanya bu Lilik heran.
"Iya, Bu." Jawab pak Zaini singkat. Ia tak mau memperpanjang masalah dan berterus terang pada wanita di depannya. Karena resikonya terlalu besar, kalau diungkapkan yang sebenarnya. Pasti akan jadi buah bibir dan bulan-bulanan para tetangganya.
Lalu bu Lilik berlalu dan meninggalkan warung Anton dengan muka masam karena kecewa.
*
Sementara Yuanita saat ini lagi persiapan pergi ke rumah sakit untuk kontrol keadaan dirinya, terutama jahitan di perut setelah operasi caesar. Harusnya dia ke tempat itu bersama dengan bayinya, karena anak itu juga butuh kontrol dan cek ulang tentang keadaan jantungnya yang sedari lahir ada kelainan.
"Erik, tolong bentar lagi temenin aku ke rumah sakit ya?!" tanya Yuanita yang keluar kamar dan berpapasan dengan adiknya.
"Ngapain ke rumah salkit lagi, Mbak? Kamu lagi sakit apa??" tanya Erik.
"Ini lagi kontrol aja. Kamu bisa kan nemenin aku?"
"Bisa, asal nggak lama-lama aja. Aku nanti siang mau ada cara juga."
"Iya, nggak lama kok. Kayaknya nggak sampek siang juga."
Pak Zaini muncul dan mendengar percakapan mereka, lalu ikut bicara perihal kesehatan cucunya.
"Bukankah hari ini juga waktunya bayi mu kontrol. Apalagi jantungnya juga butuh observasj, kata dokter ketika kita mau pulang waktu itu. Lebih baik kamu dan Erik jemput bayimu, lalu berangkat sama-sama kan!" Usul pak Zaini.
"Apa ayah masih kurang jelas?! Itu bukan anakku. Aku sudah nggak ada urusan lagi sama anak itu. Kalau pun dia punya kelainan jantung, ya biar di urus Anton sama keluarganya. Ngapain aku ikutan repot-repot??" Jawab Yuanita ketus.
"Nita, ayah nggak nyangka kamu setega itu sama anak kandung mu sendiri. Anak itu nggak punya dosa, Nita. Ia bisa lahir di dunia ini karena ada kamu dan Anton. Sadar nggak, yang kamu ucapkan tadi, hah?!?" Ucap pak Zaini sedikit naik pitam.
"Sudahlah, Yah. Aku capek. Aku nggak mau ribut lagi masalah ini. Semua sudah selesai, jangan diperpanjang lagi!! Ayo Erik, cepetan kita berangkat sekarang, nanti malah kesiangan!!" Ujar Yuanita tak mau kalah dan masih kekeh dengan penolakannya.
*
"Bu, hari ini waktunya bayiku kontrol ke rumah sakit. Untuk pengecekan jantungnya juga pemberian imunisasi lanjutan." Ucap Anton pagi ini.
"Biar nanti kita naik GoCar aja ya, Ton. Sepeda motornya dipake adikmu kerja. Kamu ikut juga kan, Ton?" tanya bu Halimah.
"Iya, Bu. Aku akan menemani anakku dan ingin tahu perkembangan kesehatannya. Berarti Putri kita ajak juga ya, Bu. Siapa yang akan menemaninya di rumah nanti."
"Iya, Ton. Di rumah sudah nggak ada orang. Putri juga nggak rewel kalau di ajak kemana-mana kok. Kalau gitu ibu mau nyiapain semuanya, biar nggak kesiangan, Ton."
"Iya, Bu. Putri biar tak temani makan dulu."
Setelah semua persiapan di rasa cukup, bu Halimah, Anton, Putri dan si bayi yang belum di kasih nama itu naik GoCar menuju rumah sakit tempat Yuanita melahirkan.
***
Alma masih stay di rumah, masih ada waktu cuti melahirkan selama dua bulan. Saatnya sekarang sarapan bersama seperti hari-hari biasanya. Yunan, Alma, Angga, Tiara sudah duduk di tempat masing-masing.
Tapi suasana pagi ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, Alma dan Tiara nyaris tak ada komunikasi. Kedua wanita itu memilih tak bicara saat menghabiskan suap demi suap nasi goreng di piring.
Sampai hari ini, Tiara belum bisa menjelaskan pada mamanya tentang masalah yang belum jelas malam itu. Karena saat Alma sudah marah dan kecewa, ia susah di ajak bicara, diam dan tak peduli pasti akan menjadi pilihannya.
Setelah sarapan, Angga dan Tiara bersalaman dan mencium tangan kanan mama papanya untuk berpamitan berangkat ke sekolah. Tapi tak ada tegur sapa di antara ibu dan anak itu.
Setelah di rasa agak jauh dari kepergian kedua anaknya, Yunan tersenyum memandang istrinya yang masih bermuka masam.
"Sayang, sampai kapan kamu bersikap seperti ini. Kasihan Tiara, beri kesempatan anak itu menjelaskan semuanya. Siapa tahu memang ada sesuatu yang terjadi, hingga ia pulang malam. Kalau diem-dieman terus, mana mungkin masalahnya selesai, iya kan??" Titah Yunan mencoba melunakkan hati istrinya.
Mendengar ucapan suaminya, Alma menghela napas panjang dan memandang teduh ke arah Yunan. "Aku malu sama kamu, Mas. Aku nggak bisa mendidik anakku sampai bisa melanggar janjinya sendiri. Aku juga malu sama Angga, yang secara langsung melihat Tiara malam itu sama cowok. Padahal aku sering mengingatkan keduanya harus hati-hati dalam bergaul, jangan sampai kelewatan. Tapi ternyata malah Tiara sendiri yang seperti itu."
"Hmm... belum tentu juga sih. Kamu terpengaruh omongan Angga kayaknya. Padahal Angga hanya tahu lewat visualnya saja. Dia nggak tau apa yang terjadi sebenarnya. Kalau aku masih percaya sama Tiara, anak itu baik dan nggak mungkin bohong sama kita. Cuma, mamanya aja yang terlanjur kecewa dan marah dan nggak mau dengar penjelasannya. Gimana kalau sepulang sekolah nanti, kamu tanyakan pada Tiara dan bicara baik-baik dengan pikiran positif." Yunan dengan sabar memberikan solusi.
"Iya, Mas. Nanti kalau Tiara pulang, aku coba bicara padanya." Jawab Alma.
"Gitu dong, Sayang. Mendidik anak yang paling susah itu saat masa remaja, karena mereka mengalami masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Banyak perubahan dan gejolak emosi dalam batin mereka yang tanpa sadar sangat mempengaruhi kebiasaannya."
Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa ini terjadi pertumbuhan yang pesat termasuk fungsi reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan perkembangan, baik fisik, mental, maupun peran sosial.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
RomansaSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...