Sebelum Heni pergi mengajar, ia harus menitipkan anaknya ke penitipan anak yang terdekat dari rumah, sesuai perintah suaminya. Dengan terpaksa ia menuruti, walaupun masih belum tahu, darimana ia akan mendapatkan uang untuk membayar jasa penitipan anak tersebut.
'Tak ada pilihan lain, aku harus menuruti kemauan mas Anton. Nanti akan ku cari solusinya, gimana aku mendapatkan uang untuk menitipkan Putri. Sedang sepeda motor yang ku pakai juga masih kredit. Ini semua gara-gara punya mertua yang udah tua. Dititipin anak sebentar saja sudah capek. Huhh... jadi aku yang harus putar otak untuk nyari uang tambahan.' Gerutu Heni yang tak mau introspeksi diri, justru menyalahkan orang lain.
Itulah sebabnya ia tidak bisa memperbaiki diri atas kesalahan yang ia perbuat. Karena selalu saja mengkambinghitamkan orang lain demi menutupi kesalahan yang menumpuk pada dirinya.
"Bu, aku pamit berangkat kerja dulu. Assalamualaikum" Pamit Heni pada bu Halimah tanpa mencium telapak tangan. Karena tujuan yang sebenarnya bukan semata-mata ingin pamit, tapi ingin menunjukkan kalau dirinya bisa mandiri tanpa bantuan bu Halimah.
"Iya, Hen" Jawab bu Halimah yang duduk di ruang tamu. Di sebelahnya ada Adel yang sedang menemani ibunya. Tapi adik Anton itu membuang muka tak ingin menatap wajah kakak iparnya itu. Peristiwa yang membuat darahnya mendidih kemarin masih jelas membayanginya.
Heni menstater kuda besinya sambil menggendong Putri untuk dititipkan pada penitipan anak. Setelahnya, baru istri Anton melanjutkan perjalanan menuju tempat mengajar.
"Selamat pagi, Bu Heni." Sapa salah satu murid yang lewat di sampingnya.
"Selamat pagi, Sayang." Jawab Heni mulai bisa beradaptasi dan mengikuti kebiasaan guru-guru yang lain, menyematkan kata sayang pada anak didiknya.
Dengan langkah makin percaya diri, Heni berjalan menuju ruang guru dan mulai memandu persiapan lomba Agustusan yang menjadi tanggung jawabnya.
"Bu Niken, saya punya usul. Gimana kalo dana untuk pemasukan dan pengeluaran biar saya kelola saja. Biar koordinasinya lebih cepat." Ucap Heni mengutarakan pendapatnya pada Niken dan guru-guru yang lain.
"Saya sih nggak masalah dengan itu. Yang penting setelah lomba selesai, jangan lupa adminstrasi dan laporan pertanggungjawabannya." Ucap Niken dengan tegas.
"Saya juga sependapat dengan bu Niken. Gimana dengan yang lain. Apa semua setuju?" Tanya Ida pada teman-temannya
Akhirnya mereka sepakat keuangan peringatan HUT RI kali ini dikelola langsung oleh Heni, sekaligus sebagai ketua panitia sesuai hasil rapat sebelumnya.
'Hmm... gitu dong. Aku jadi punya banyak kesempatan mengatur semuanya. Dan uangnya bisa aku atur semauku, nota nanti aku ganti dengan yang palsu. Gampanglah, yang penting laporan tertulisnya masuk akal.' Gumam Heni puas.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh tepat. Saatnya murid-murid mulai pelajaran, tapi tak demikian untuk hari ini. Kegiatan belajar mengajar di adakan di lapangan dengan beberapa macam perlombaan. Ada lomba lari kelereng, makan kerupuk, lari karung, baca puisi, mewarnai dan menyanyi.
Hiruk pikuk dan keseruan lomba menyemarakkan suasana TK. Kuncup Melati pagi itu. Sorak sorai disertai tepukan penonton yang terdiri dari anak-anak dan wali murid yang menonton sekaligus menjadi peserta lomba.
Tapi di tengah-tengah perlombaan ada perseteruan antara dua orang murid, sehingga terjadi keributan. Niken dan Ida berusaha melerai keduanya, tapi muncullah Heni yang berdiri di tengah-tengah mereka.
"Tolong semuanya tertib ya! Anak-anak yang masih ribut, tidak boleh mengikuti lomba. Biar saja yang bertengkar, Bu. Nanti kalo capek, pasti berhenti sendiri. Kita lanjutkan saja lombanya." Titah Heni sok tau.
"Tapi, Bu. Mereka masih anak-anak. Kita harus membimbingnya, jangan dibiarkan saja." Sanggah Niken tidak setuju.
"Saya yang menjadi ketua panitia di sini. Bu Niken ikuti saja aturan saya. Lihat saja, semua akan berjalan dengan baik." Heni kekeh dengan pendapatnya.
Tak berapa lama, mendekatlah seorang wali murid menemui Niken. "Maaf, Bu. Kalo terjadi apa-apa dengan anak-anak yang bertengkar, nanti bagaimana. Kenapa bu Heni malah membiarkan???"
Terjadilah keributan yang makin tak terkendali. Kedua anak yang tadinya saling adu mulut, kini sudah saling pukul, akibatnya keduanya menangis dan mengadu ke Niken dan Ida, yang paling dekat dengan anak-anak.
"Sudah bu Niken, bu Ida. Jangan manjakan anak-anak ini. Mereka harus di latih mandiri. Nanti jadi kebiasaan." Celetuk Heni yang nggak suka dengan sikap Niken dan Ida yang bersikap lembut pada anak didiknya.
Tanpa menghiraukan teguran Heni, Niken dan Ida menggandeng kedua anak yang menangis tadi ke dalam kelas. Dengan penuh kasih sayang, keduanya diberikan teguran dan pengertian kalau tindakannya saling pukul itu tidak baik. Lalu Niken dan Ida berusaha merukunkan anak-anak itu kembali.
"Gimana sih. Kok malah di bawa ke kelas?" Gerutu Heni yang tak bisa memahami tujuan Niken dan Ida.
Dari sikap Heni yang seenaknya sendiri di depan wali murid ini, membuat ibu-ibu yang hadir di tempat itu jadi geram dan makin tak suka dengan guru baru itu.
"Guru TK kok seperti itu, nggak ngerti jiwa anak-anak." Bisik bunda Manda pada wanita yang duduk di sebelahnya.
"Iya ya. Gimana nasib anak-anak kita, kalau gurunya seperti itu. Kita harus mengawasi terus gerak-geriknya. Apalagi aku dengar, awal-awal ngajar di kelas A, bu Heni berani membentak dan menggedor meja. Sampai anak-anak sekelas pada nangis ketakutan." Lanjut bunda Salma.
"Kita harus laporkan ke yayasan. Biar mereka tahu, siapa bu Heni ini. Jangan sampai nama sekolah yang sudah baik menjadi tercoreng gara-gara guru baru yang seperti itu." Ucap bunda di sebelahnya.
"Iya, Bu. Kasihan bu Alma, yang dulu merintis sekolah ini dengan susah payah, dari murid yang cuma sepuluh, kini sudah makin banyak. Hingga bertambah terus hingga hampir seratus siswa. Apalagi banyak prestasi yang sudah di raih setelah bu Alma menjadi kepala sekolah." Kata bunda Manda.
"Kalau gitu, kita tunggu saja kedatangan bu Alma. Sekarang kan beliau masih ikut diklat di luar kota. Pasti nggak tau perkembangan guru baru yang bertindak seenaknya sendiri seperti tadi." Bunda Salma menimpali.
Demikianlah yang terjadi, bukan saja dalam novel, tapi juga dalam kehidupan nyata. Di sini othor mencontohkan pada sosok Heni, yang melakukan berbagai macam cara, demi mengangkat pamornya saja. Tapi Heni lupa, bahwa tindakan yang di ambil dapat merugikan beberapa pihak secara langsung.
Maksud hati ingin menguasai dan menganggap diri paling pintar. Sikut kiri, sikut kanan, tak peduli lagi mana yang benar dan mana yang salah, demi kepentingan pribadinya.
Tunggu saja tindakan wali murid, karena peran mereka sangat besar. Apalagi tindakan Heni jelas-jelas di depan mata kepala mereka para ibu-ibu wali murid. Siapa yang tak kecewa, menyaksikan sikap sedemikian egoisnya seorang Heni. Nggak di rumah, nggak di sekolah, sama saja. Selalu buat masalah.
***
BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGHIANATAN JADI KARMA
DragosteSuara desahan dua orang itu terhenti seketika, aku lanjut mengetuk pintu makin keras, emosiku semakin memuncak. Namun pintu kamar yang ku ketok berkali-kali, entah berapa kali terhitung, tidak dibuka-buka. Beberapa saat kemudian terdengar langkah ka...