🌲 105. Obsesi 🌲

1.7K 219 58
                                    

Negosiasi antara Sehun dan Om Raksasa tadi berjalan dengan lancar. Pria tinggi itu mengangguk dan langsung melahap makanan yang Sehun sodorkan. Setelahnya tak ada kata apapun pria itu pergi begitu saja.

Sehun bangkit berjalan menuju pintu. Benar saja, tak di kunci. Bahkan kini Sehun sudah bisa membukanya.

"Kak! kabur sekarang!" pekik Sena heboh. Ayolah! Sebelum Dharma datang. Sehun mengangguk. Dia menilik sekali lagi keadaan di luar sana. Dan matanya melotot melihat Om raksasa tadi melambai padanya dari kejauhan sana.

Dibelakangnya pintu gerbang yang kokoh dari berbagai sulur dan akar sudah terbuka lebar.

Sehun tersenyum.

Dia menoleh ke belakang, meraih tangan Sena dalam genggamannya. "Pegang erat tangan Kakak! Pokoknya jangan dilepasin!"

Sena deg-degan.

Ucapan Sehun barusan membuat Sena semakin khawatir kalau mereka nanti bakal ketahuan dan ketangkap lagi sama Dharma.

Tak membuang waktu, Sehun langsung menarik Sena agar berlari mengikuti dirinya membelah rerumputan di selingi kabut menuju pintu gerbang.

"Om!" seru Sehun berhenti tepat di depan pria tinggi itu.

"Makasih ya!" Sehun tersenyum ceria pada dia. Sena mengikuti untuk berterima kasih.

Pria itu mengangguk. Dia lalu menunjuk satu arah. Maksudnya Sehun dan Sena harus lewat arah sana.

"Dadah Om! Baik-baik ya di sini! Jangan bilang Dharma kalau kita kabur."

Lagi-lagi pria itu mengangguk dan kali ini memberi gesture agar Sehun dan Sena segera pergi.

Sehun akhirnya mengajak Sena untuk kembali berlari. Dan dia menyempatkan dirinya untuk menoleh ke belakang.

Pria itu melambai pada Sehun dan lagi-lagi menyuruhnya lekas pergi.

-
-
-
-
-
-
-

Berlari-berlari dan terus berlari. Sehun tak mempedulikan napasnya yang sudah sangat memburu karena sejak tadi dia tak berhenti sama sekali. Dalam otaknya adalah pergi sejauh mungkin terlebih dahulu dari jangkauan Dharma.

"Kakak capek"

Sena benar-benar sudah tak kuat lagi untuk berlari. Kakinya yang telanjang juga sudah sangat sakit terkena batu dan tergores semak-semak.

Sehun melotot melihat kaki Sena yang terluka.

"Ih bego!"

Sena yang sudah terduduk mendongak dan mendengus melihat Sehun yang mengatainya. "Kenapa ngga pake sendal, malah nyeker?" tegur Sehun.

"Ngga sempet ambil tadi. Lagian itu alas kakinya kayak bakiak, berat buat lari, Kak." adu Sena.

Sehun menggelengkan kepalanya.

Dia kali ini tersadar sesuatu lagi, Sena terlihat kedinginan dengan baju putih tipis yang tak mampu menutupi bahu dan lengannya dengan baik. Buru-buru Sehun melepaskan jaketnya. Dia lalu mengangsurkannya kepada Sena.

"...."

"Pakai nih! Kamu kedinginan kan?"

Sena mengangguk. Dia segera memakai jaket milik kakaknya. Sehun ikut membantu.

"Ayo naik!" Sehun yang sudah berjongkok membelakangi Sena sedikit menoleh.

Dia lalu meraih tangan Sena agar segera menaiki punggung tegapnya karena nyatanya adiknya malah tertegun dan berdiam diri.

Sehun bangkit dan membenarkan posisi Sena dalam gendongannya. Lalu kembali melangkah dengan cepat.

"Kakak ngga capek?"

Keluarga CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang