Bagian 11 (Catatan Erika)

1.4K 75 0
                                    

.

.

Dia sudah memberiku jutaan rasa.

Aku tidak mau berpisah dengannya.

.

.

Sabtu pagi ...

Suara pintu kamarku terdengar diketuk.

"Erika," panggil Ibuku.

Aku bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar.

"Ibu pake ketok pintu segala. Masuk aja kenapa, Bu?" kataku.

Ibuku tersenyum.

"Kamu 'kan udah besar, punya privasi sendiri. Gak apa-apa dong, kalo Ibu ketok pintu dulu," jawab Ibuku.

Aku membalas senyum Ibu. Ibu mengelus kepalaku.

"Kamu kok belum sarapan?" tanya Ibuku.

"Iya. Nanti aku turun, Bu. Ibu sama Bapak sarapan duluan aja ya," ujarku.

"Ibu sama Bapak udah sarapan. Matamu kenapa? Kok agak bengkak?" tanya Ibu dengan tatapan menyelidik.

Aku menyentuh ujung mataku.

"Gak apa-apa, Bu. Paling digigit serangga," jawabku cengengesan di akhir kalimat

Ibu tersenyum lembut dan kembali mengelus kepalaku.

"Erika, kamu jangan lupa kalau Ibu ini temanmu juga. Jadi, kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama Ibu, ya? Jangan dipendam sendiri. Ntar ubanan, lho," seloroh Ibuku.

"Ih Ibu nih," sahutku sambil mencubit pelan lengan Ibu.

"Kamu lagi sibuk ngerjain PR?" tanya Ibuku.

"Enggak kok," jawabku.

"Kamu sarapan aja yuk. Habis itu bantuin Ibu masak, ya?" ajak Ibu.

Aku patuh mengiyakan.

***

Suara pisau yang memotong wortel, beradu dengan talenan kayu. Terdengar merdu di telingaku. Menjadi semacam terapi yang unik untuk jiwaku yang sedang gundah. Seharusnya aku membantu Ibu di dapur lebih sering. Ketimbang aku meratapi kesedihan dan kekesalanku.

Ibu sejak tadi diam saja. Padahal Ibu pasti tahu aku habis menangis semalaman. Mataku bengkak seperti habis diantup tawon. GARA-GARA SI GILA ITU!

Yang kulakukan semalaman suntuk cuma menangis menumpahkan semua kekesalanku. Aku lebih ke arah kesal ketimbang sedih, sebenarnya. Aku kesal, tak habis pikir bagaimana Yoga bisa tega menyakiti hati tukang parkir itu dengan kata-kata yang sangat menyinggung perasaan. Tapi di saat bersamaan, aku juga kesal dengan diriku sendiri, karena merasa sudah gagal mencegah itu terjadi.

Aku heran juga sebenarnya. Entah sejak kapan, aku merasa punya kewajiban untuk menjaga mood Yoga dengan baik. Mungkin karena, aku sangat menyukai Yoga di saat mood-nya sedang cerah. Aku suka saat dia bercerita dengan penuh semangat. Aku suka saat dia menggodaku dan bercanda denganku. Aku suka saat dia cemburu atau agak posesif padaku. Aku suka bagaimana dia sangat memperhatikanku saat kami bersama. Aku suka setiap hal manis yang dia lakukan untukku. Aku suka hampir semua hal pada dirinya. Kecuali SATU HAL ITU! Kenapa? Kenapa?? Aku menghela nafas.

"Ibu," panggilku pelan.

Ibuku baru saja selesai mencuci sayuran. Dia menoleh. "Ya?" sahut Ibuku.

"Mm ... kalau ada teman kita yang, misalnya agak sulit untuk bersikap lembut pada orang susah, apa yang harus kita lakukan pada teman kita itu, Bu?" tanyaku.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang