Bagian 10 (Catatan Erika)

1.7K 89 1
                                    

.

.

"Kalo gitu, kita ntar nikahnya di restoranku aja ya? Gimana?"

.

.

***

Yoga tersenyum melihatku muncul dari belokan tempat les. Dia membukakan pintu mobil untukku. Sesaat kemudian, mobil sudah melaju di jalan raya.

"Malam ini, kamu kuculik sebentar kira-kira boleh gak ya, sama Ibumu?" tanya Yoga.

"Ha? culik?" kataku balik bertanya.

"Iya. Aku 'kan lagi perlu survei tempat makan. Untuk bahan meeting bisnis restoran baru, punya Ayahku. Selama nungguin kamu selesai les, aku selalu ngelewatin satu restoran yang baru mau buka. Mereka lagi siap-siapin interiornya. Nah, kemarin aku liat restoran baru itu ternyata grand opening hari pertama. Boleh gak kalo malam ini kamu kuajak makan di sana? Tadinya kupikir mau nunggu akhir minggu, tapi aku udah gak sabar nih," jelas Yoga antusias.

"Kok tumben kamu minta izin dulu? Biasanya 'kan langsung aja ambil keputusan tanpa tanya-tanya aku," kataku menatapnya tak percaya.

"Yee ... bukan! Aku minta izin sama Ibumu! Kalo sama kamu sih, ngapain minta izin? Langsung aja kuculik," jawab Yoga tertawa.

Bibirku manyun. "Aku kasih tau Ibuku dulu," kataku sambil mengetik pesan singkat di ponsel. Beberapa menit kemudian, Ibuku membalas pesanku. Memberi izin kami berdua makan di luar.

"YES!! Asiikk!" seru Yoga girang.

Aku tertawa geli melihat tingkahnya yang seperti anak kecil.

"Restorannya sebagus apa sih? Kamu kok pengen banget ke sana," tanyaku.

"BAGUUUSS buanget! Interiornya cantik! Aku udah ngintip dikit kemarin. Kalau dari luar keliatannya kayak rumah biasa. Gak nyangka deh, pokoknya. Kamu pasti suka!" kata Yoga dengan mata berbinar senang.

Aku tersenyum. Yoga ... Yoga. Mood-nya benar-benar mempengaruhi mood orang di sekitarnya. Saat dia sedang berbunga-bunga, aku juga jadi tertular bahagia.

Yoga bersenandung riang. Sementara aku cemas saat menyadari sesuatu.

"Tunggu dulu. Ini tempat makannya resmi? Kita masih pake baju seragam gini, gak apa-apa nih?" tanyaku ragu. Khawatir penampilan kami timpang dengan restoran mewah.

"Ah gak apa-apa. Ini suasananya kayak kuring gitu, kok. Bukan restoran di hotel atau ballroom," jelas Yoga.

Aku menyentuh kulit pipiku. Agak berminyak sedikit. Wajar. Aku sudah beraktifitas seharian sampai malam. "Aduh ... aku belum siap-siap. Enggak dandan sama sekali. Rasanya risi," ujarku malu.

Yoga tersenyum menggoda. "Udah deh, sayang. Kamu gak perlu dandan segala, udah cantik, kok. Beneran deh. Gak bohong," katanya.

Kutolehkan wajah ke jalanan. "Gombal aja kamu," sahutku.

Yoga cekikikan. Dia tahu persis efek kalimatnya tadi bisa membuat mukaku tersipu malu. Nyebelin!

***

Mobil sudah berhenti sempurna di parkiran. Aku tertegun melihat bangunan itu dari luar. Seperti kata Yoga, restoran itu terlihat seperti rumah biasa. Rumah berwarna putih dengan atap pelana. Jendela berbingkai kayu coklat muda, beberapa lubang angin di atas jendela, dan satu lubang angin yang lebih besar berbentuk segi lima di dekat puncak atap. Bangunan baru ini ber-arsitektur bangunan lama ala Belanda-Betawi.

Kami berjalan memasuki lorong dengan deretan tiang hitam di kanan kiri. Ada lampu lampion kotak yang diletakkan di lantai di antara tiang. Begitu keluar dari lorong, aku terkejut melihat ruang terbuka hijau yang luas. Padahal dari luar kelihatannya tidak seluas ini. Di sisi kanan ada kolam renang, di sisi kiri area meja kursi di ruang terbuka dinaungi pohon rindang. Dan ada gazebo memanjang dengan atap semi transparan. Meja-meja bulat dari kayu, dipasangkan dengan kursi-kursi rotan. Lampion-lampion cantik dengan nyala kuning bergantungan di batang pohon.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang