Bagian 64 (Pesantren)

1.1K 64 18
                                    

.

.

Yunan menatap ponsel di tangannya.

Benda ini bisa mendatangkan manfaat buatku, tapi juga bisa membuatku celaka.

.

.

***

Setahun kemudian.

Tangan Erika meluruskan kerah baju putih Yunan yang sedikit lekuk. "Nah! Udah rapi."

Yunan tersenyum. "Makasih, Bu. Aku pamit dulu." Dia mencium tangan Erika dan Farhan. Tak lama, mata Erika mulai berkaca-kaca. Hanya perasaannya sajakah, atau memang anak laki-laki bertumbuh sangat cepat?

Farhan mengelus punggung istrinya. "Udah udah. Nangis lagi, deh. Tadi di rumah udah nangis, sekarang nangis lagi."

Erika mencubit lengan suaminya. "Ih kamu! Aku 'kan perempuan. Biarin aja aku nangis, kenapa? Habis ... gak terasa Yunan udah masuk pesantren. Kita bakal jarang lihat dia di rumah."

Yunan tersenyum. Di belakangnya, adalah sebuah bangunan berlantai tiga, dengan cat dinding berwarna kuning gading. Sebuah plang nama pesantren Darul Ihsan terpampang di luar pagar. Dua tahun berlalu sejak pertama kali Yunan tinggal di rumah Erika dan Farhan. Kini Yunan telah tumbuh menjadi anak remaja tampan dan tinggi badan relatif jangkung dibandingkan teman-teman seusianya. Karena Yunan aktif salat berjamaah di masjid, rupanya pengurus masjid memperhatikan kalau anak itu juga bisa membaca murottal qur'an dan memiliki suara yang merdu. Yunan kemudian diminta membaca kutipan ayat Al-Qur'an di acara maulid. Lalu berlanjut ke acara lainnya. Peringatan nuzulul qur'an, Isra Mi'raj, Ramadan dll. Wajah Yunan mulai dikenal orang-orang satu komplek. Ibu-ibu komplek sangat terkesan. Calon menantu idaman, kata mereka. Beberapa anak perempuan silih berganti bertandang ke rumah mereka. Mencari Yunan dengan berbagai urusan. Pinjam buku lah, minta diajari bahasa Arab lah, ngajakin ke majelis bareng lah. Apapun asal bisa mengobrol dengan Yunan. Namun Yunan hanya menanggapi seperlunya. Rupanya menjadi populer tidak membuatnya sombong. Kebersahajaan tetap terpancar dalam ekspresi wajah dan sikapnya.

Hari ini adalah hari bersejarah untuk Yunan. Mulai hari ini, dia akan tinggal di pesantren. Barang-barang sudah mulai dipindahkan ke kamarnya sejak kemarin. Jadi hari ini dia hanya membawa tas selempang. Malam ini adalah pertama kalinya dia mulai menginap di kamar barunya di pesantren. "Jangan nangis, Bu. Insyaallah 'kan tiap akhir minggu aku pulang."

Erika mengusap air mata yang mengambang di ujung matanya. "Iya, tapi 'kan beda rasanya kalo kamu di rumah tiap hari."

Sebenarnya yang Erika maksud adalah, dia merasa nyaman mendengar sayup lantunan ayat Al-Qur'an dari dalam kamar Yunan. Momen keseharian bersama Yunan yang juga dia suka adalah, saat Yunan mencium tangannya setiap kali berpamitan salat jamaah ke masjid.

Sejak Yunan tinggal bersama mereka, 'hawa' rumah terasa berbeda. Erika merasa rumah menjadi lebih 'teduh'. Erika sendiri sulit menggambarkannya. Dia tahu sejak pertama bertemu Yunan di panti, anak itu akan melengkapi keluarga mereka. Dan benar saja, Yunan tak perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri.

Erika memang sengaja membuat Yunan lebih dekat dengan Farhan. Karena awalnya, ide mengangkat anak adalah idenya, dan bukan ide Farhan. Dia ingin Farhan dekat dengan Yunan hingga dia merasa Yunan seperti anak kandungnya sendiri. Dan rencananya berhasil.

Tapi ada hal yang disesali Erika. Kesibukannya di kantor membuatnya nyaris tak punya waktu untuk mengantar jemput Yunan ke sekolah. Selalu Farhan yang melakukannya. Dan sekarang, Yunan masuk pesantren, yang artinya Erika hanya dapat melihatnya di akhir pekan. Mendadak Erika menyadari hal berharga yang telah dia lewatkan. Kedekatan dengan Yunan, anak angkatnya.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang