Bagian 41 (Catatan Yoga)

1.2K 78 7
                                    

.

.

Kami datang kepadamu wahai yang telah menunjuki kami ke jalan yang benar dan yang telah menyeru kami dengan lemah lembut dan bahasa indah.

~ Maulid Adh Dhiyaul Lami (Cahaya yang terang benderang)

.

.

***

Masjid itu berlantai marmer hijau berpadu dengan dinding berlapis keramik putih-hijau, dan ditopang oleh tiang-tiang keramik berwarna hitam.

Aku duduk bersila di samping kenalan baruku, Rizky. Sejak kami duduk, dia diam saja. Akhirnya aku memulai percakapan.

"Ehm maaf. Saya gak tau kalau ada dress code pakai baju putih. Gak apa-apakah saya datang hari ini dengan baju hitam?"

Rizky bengong mendengarnya. Dia lalu tersenyum geli. "Dress code? Gak ada dress code kok. Kami terbiasa memakai baju putih ke Majelis. Karena berusaha mengikuti hadits."

Aku mengangguk. Pantas banyak orang berangkat pengajian ke masjid dengan baju putih.

Rizky melanjutkan. "Tapi kalau gak punya baju putih, datang aja pakai baju apa saja yang terbaik yang kamu punya. Yang penting bersih dan nyaman dipakai."

Aku mengangguk sambil mencatat di kepala, sebuah daftar belanja yang akan kulakukan. Belanja baju putih.

"Kamu sudah salat Isya?" tanya Rizky.

Pertanyaan Rizky itu membuat bola mataku mengerling ke atas.

Iya juga, ya. Masa' aku ikut majelis zikir, tapi malah ninggalin salat wajib?

Aku permisi mengambil air wudu dan berdiri di shaf depan. Saat mengangkat tanganku dan mengucapkan takbiratul ihram, aku sadar kalau ini adalah salat wajib pertamaku selain salat Jum'at, setelah aku tidak ingat lagi kapan terakhir kali mengerjakannya. Mungkin terakhir kali adalah saat aku SD. Waktu itu Gito sedang main di rumahku sampai malam. Dia gencar membujukku salat berjamaah, dan akhirnya dengan enggan aku salat bersamanya.

Jika saja Gito tidak 'menggiring'ku untuk salat Jum'at bersamanya setiap minggu, aku mungkin sudah lupa bacaan salat. Di rumahku, yang dekat denganku hanya ayah dan Bastian. Aku tidak pernah melihat ayahku salat. Sementara Bastian bukan seorang muslim. Penyesalan menghampiriku. Kenapa aku tidak pernah mengajak ayah salat Jum'at bersamaku dan Gito?

Setelah selesai salat Isya, aku langsung berdiri dan menghampiri Rizky. Dia tengah menatapku heran. "Kamu gak zikir setelah sholat?"

"Ha? Zikir setelah salat?" Aku memang tidak pernah melakukannya. Setelah salat Jum'at, memang imam membaca zikir, tapi biasanya saat itu aku sudah kabur, mengikuti kebanyakan orang yang juga segera kabur menuju kesibukan mereka berikutnya. Biasanya sih banyak yang ingin buru-buru makan siang. Takut tidak kebagian spot favorit di restoran/warung sekitar masjid. Karena aku datang salat Jum'at bersama Gito, aku biasa menunggu Gito selesai zikir, dan barulah kami makan bersama. Walaupun Gito selalu mengingatkanku untuk ikut zikir bersamanya, tapi aku selalu mencari-cari alasan.

Rizky nampak heran mendengar caraku menanyakan zikir setelah salat. Selama beberapa detik, dia melihatku seolah aku alien. Tapi lalu dia tersenyum. Dia merogoh kantung bajunya dan mengeluarkan sebuah buku bersampul hijau. Membuka lembaran di pertengahan buku, tanpa mengecek daftar isi, seolah dia hapal isinya.

"Iya. Ada di sini. Ada terjemahannya juga," kata Rizky.

Aku menerima buku itu dan membacanya. Barulah aku tahu bacaan apa yang biasa dibaca para Imam itu setelah usai salat. Mereka biasa membacanya dengan cepat dan aku tidak pernah tahu apa artinya. "Apa saya boleh pinjam buku ini untuk di fotokopi?" tanyaku.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang