Bagian 80 (Suluk)

1.1K 95 26
                                    

.

.

Kesadaran spiritual orang-orang mulai meningkat. Mereka mulai mengenali rasa resah dalam hatinya, sebagai kerinduan pada Rabb mereka, Maha Pencipta segala ciptaan.

.

.

***

Akhirnya karena sempitnya waktu, Yoga hanya sempat salat taubat dua rakaat, sementara salat hajat dan tahajud, dia tak sempat mengerjakannya, karena sudah keburu masuk waktu sahur untuk puasa Senin-Kamis.

"Itulah makanya. Saya bilang juga apa, 'kan? Kalau gak perlu mandi dan wudu ulang, saya mungkin sempat salat hajat dan tahajud," komentar Yoga ngasal.

"Memangnya kamu pikir ini gara-gara siapa??" Ustaz Umar naik pitam.

Para santri berdatangan membawakan nampan-nampan berisi makanan dan minuman ke dalam masjid. Sebagian kelompok Suluk dari gazebo bergabung dengan peserta yang sejak awal sudah ada di masjid. Seketika suasana masjid yang tadinya sepi menjadi ramai.

Para ustaz duduk bersila di depan. Ustaz Umar duduk nyaris di tengah. Di sampingnya ada spot kosong, yang sepertinya adalah tempat untuk Syeikh Abdullah. Sementara para peserta Suluk dibagi menjadi lima kelompok, masing-masing empat sampai lima orang. Rizky sudah duduk di samping Yoga. Tiga orang yang duduk di hadapan mereka adalah seorang kakek tua yang rumahnya tak jauh dari tempat Suluk, namanya Taufik, seorang anak muda berusia dua puluh-an asal Kalimantan bernama Imam, dan seorang pria yang mungkin seusia Ustaz Umar, bernama Seto asal Malang. Mereka telah saling berkenalan segera setelah pembagian kelompok. Jika saja Rizky tidak berinisiatif mengajak mereka berkenalan, kemungkinan Yoga akan mendiamkan mereka. Dia mulai memahami karakter tuan muda yang satu ini, yang agaknya sedikit introvert.

Tak lama, Syeikh datang bersama seorang santri di belakangnya yang membawakan kitab milik beliau. Melihat Syeikh memasuki ruangan masjid, orang-orang spontan berdiri memberi penghormatan. Beliau memberi isyarat tangan yang terayun ke bawah, meminta mereka kembali duduk di tempat masing-masing. Para ustaz bergantian mencium tangan beliau, hingga Syeikh duduk di samping Ustaz Umar.

Beliau tersenyum ke arah para peserta suluk. Kehadirannya mampu membuat hiruk pikuk menjadi sunyi. Bukan sunyi yang dipicu oleh rasa takut, tapi sunyi yang damai.

Syeikh Abdullah membuka pertemuan mereka dengan salam. "Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh."

"Wa'alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh."

"Saya ucapkan selamat datang bagi semua peserta suluk. Alhamdulillah saat ini berkat rahmat Allah subhana wa ta'ala, kita bisa berkumpul di tempat ini di bulan yang mulia, bulan Rabi'ul Awal. Bulan kelahirannya Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam.

Kami memang sengaja hanya membuka pendaftaran untuk dua puluh lima orang saja. Sebenarnya kalau diusahakan, mungkin kami bisa membuka pendaftaran untuk lebih banyak peserta, tapi sengaja dibatasi demi kekhusyukan ibadah kita di tempat ini.

Betapa banyak orang yang rumahnya berdampingan dengan masjid, tapi tidak pernah tergerak hatinya untuk salat berjamaah di masjid. Sementara para peserta suluk tahun ini datang dari berbagai daerah di nusantara. Perlu kalian camkan dalam hati, bahwa hadirnya niat kalian untuk mengikuti suluk, bahwa setiap langkah kaki kalian hingga tiba di tempat ini, semuanya tak luput dari rahmat Allah subhana wa ta'ala. Syukuri dan jagalah nikmat itu, yang tak diberikan Allah pada semua hamba-Nya. Kalian adalah orang-orang yang dipilih Allah untuk berada di tempat ini."

Beberapa pasang mata nampak berkaca-kaca mendengar kalimat sambutan dari Syeikh. Yoga termasuk yang terharu karenanya. Mengingat masa lalunya yang kelam, yang jauh dari nilai-nilai agama, dia sendiri tak pernah membayangkan akhirnya akan melangkahkan kakinya ke majelis zikir. Dan sekarang, dia bahkan mengikuti suluk di tempat ini. Sulit dipercaya. Tapi seperti apa yang dulu pernah didengarnya dari pimpinan majelis di Jakarta, Tuhan Maha Membolak-balikkan hati. Itu benar adanya.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang