Bagian 153 (Akhir Suluk)

858 132 59
                                    

.

.

Harga diri itu ada empat hal : Akhlak yang mulia, dermawan, rendah hati dan banyak ibadah.

~ Imam Syafi'i.

.

.

***

Yoga menyandarkan punggung di bangku mobil jeep sewaan. Kedua supirnya duduk di depan. Suasana hening, hanya terdengar putaran roda dan suara mesin.

"Tuan Muda, apa kita langsung pulang, atau ada tempat lain yang ingin didatangi?"

Yang ditanya menyunggingkan senyuman. "Oh. Banyak. Banyak tempat yang harus kita mampiri dulu. Pertama, kita ke kota cari ATM. Kedua, kita ke salon. Ketiga, cari petshop. Kita harus membeli kandang, pasir dan makanan untuk Erika kucingku. Keempat, cari masjid untuk salat Dzuhur, lalu makan siang. Keempat, kita ke pasar. Saya ada urusan sebentar di sana. Kelima, ke toko oleh-oleh. Saya mau beli oleh-oleh untuk semua karyawan di kantor dan juga untuk semua supir dan pelayan di rumah. Keenam, baru kita pulang." Penjelasan panjang itu diakhirinya dengan senyum lebar. Sementara kedua supirnya menelan ludah. Dari daftar kegiatan itu, agaknya mereka baru bisa keluar dari kota Padang di malam hari.

"Kenapa tidak ke salon di Jakarta saja Tuan? Bukankah Tuan Muda punya salon langganan?"

Wajah Yoga mendadak cemberut. "Itu karena ... ," Set! Dia membuka peci putih yang sedari tadi digunakannya untuk menyembunyikan rambut.

"Karena ... SAYA SUDAH TIDAK TAHAN DENGAN RAMBUT INI!!" Mereka berdua tampak syok melihat potongan rambut bak rumput liar yang dicabuti paksa.

"T-TUAN MUDA!! APA YANG TERJADI?? SIAPA ORANG YANG MELAKUKAN ITU PADA RAMBUT TUAN?? BIAR SAYA BUNUH ORANGNYA!!" Kata salah satu supir yang duduk di samping kemudi, sambil mengeluarkan sebuah pistol.

Yoga seketika panik melihatnya. "HEY TENANG!!! JANGAN KELUARIN PISTOL SEMBARANGAN!! NANTI KITA BISA DILAPORIN KE POLISI!!"

"O-oh iya. Maaf Tuan, saya terbawa emosi." Supir satunya yang duduk di depan kemudi tampak berkeringat tegang. Temannya yang di sampingnya ini memang temperamennya buruk sekali. Untunglah dirinya yang menyetir. Kalau temannya yang menyetir, mobil mereka mungkin sudah oleng dan menabrak apa saja di jalanan.

"Rambut saya ... hm ... dipotong oleh orang yang salah. Dikira tukang pangkas rambut, ternyata ... tukang kebun."

"Ooh ... ," jawab mereka berbarengan dengan roman prihatin.

***

Mereka tiba di kota. Di perempatan jalan raya itu, semua yang mereka butuhkan ada. ATM, salon, petshop, masjid dan rumah makan.

"Mantap. Saya ke ATM dulu. Kalian tunggu di sini saja," perintahnya sambil menutup kepala dengan peci putih. Dia sengaja tidak mengizinkan kedua supirnya ikut turun, sebab seperti biasa jika dikawal mereka, akan membuatnya tampak mencolok.

Setelah mengambil sejumlah uang tunai di sebuah ATM yang untungnya sedang sepi, dia berjalan ke sebuah salon yang hanya berjarak 4 ruko saja. Salon itu tidak terlalu besar. Tapi dari luar tampak bersih dan profesional. Dinding kaca membuat kegiatan di dalam salon terlihat jelas dari luar. Ada satu orang pria yang sedang dipangkas rambutnya.

Tring! Bel di atas pintu kaca itu berbunyi saat Yoga membukanya.

"Selamat datang. Silahkan tunggu sebentar ya," sambut seorang pria pemangkas rambut yang sedang melayani seorang pelanggan.

Yoga mengangguk mengiyakan sambil tersenyum. Dia duduk di sebuah bangku panjang berwarna merah. Menunggu giliran dilayani. Pria itu kini membersihkan sisa potongan rambut di leher pelanggannya, menggunakan sebuah kuas.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang