Bagian 167 (Bertahan)

984 141 33
                                    

.
.

Ingin kebaikan yang banyak?

Bersabarlah dari gangguan makhluk.

~ Habib Jindan bin Novel Jindan.

.
.

***

Baru dua jam berlalu setelah pertemuan di auditorium, Yoga dikejutkan dengan sebuah berita.
"Apa?? Wartawan??" Dahinya mengernyit heran, mendengar beberapa orang wartawan meminta sesi wawancara dengannya melalui telepon.

Mieke mengangguk dua kali. "Iya Pak. Wartawan berita ekonomi."

Wajah Yoga menampakkan ketidaksukaan. "Dari mana mereka bisa tahu?"

"Mungkin berita pengumuman barusan di auditorium, sudah bocor Pak."

Dia bergumam. "Ck. Dasar netizen zaman sekarang. Enggak bisa dengar berita jelek dikit, bawaannya mau dibikin viral. Ini bisa berdampak buruk pada nilai saham kita. Kenapa sih mereka enggak tutup mulut saja? Resign saja pakai nambahin masalah segala."

Mieke menatap bosnya waspada satu. Kuatir emosinya kumat. "A-apa yang sebaiknya saya jawab pada mereka, Pak?"

Dia berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Tolak mereka dengan halus. Bilang saya sedang tidak bisa diganggu."

"Baik Pak."

Mereka pikir masalah berhenti sampai di situ. Tapi ternyata tidak.

Matahari mulai tenggelam. Han sedang berada di ruangan Yoga. Mereka sedang membicarakan langkah selanjutnya. Karena permasalahan keuangan perusahaan belumlah usai. Mereka masih harus mengatur strategi untuk membayar gaji karyawan dari bulan ke-7 hingga akhir tahun.

"Pak Yoga lembur lagi malam ini?"

Yoga menggeleng mantap. "Sebaiknya tidak. Kemarin aku sudah membatalkan janji dengan Ayahku. Sebaiknya aku pulang cepat hari ini. Kamu juga, pulanglah Han. Kemarin kan kita sampai menginap di kantor. Kita ini manusia, bukan mesin pekerja."

Han tersenyum. "Baik Pak." Benaknya bersyukur bahwa bosnya bukan seorang yang kecanduan kerja.

Mendadak pintu ruangan diketuk. Tok! tok! "Permisi Pak. Ini saya, Mieke."

"Ya. Masuk Mieke."

Wanita itu memasuki ruangan dengan wajah penuh kekuatiran. "P-Pak Yoga, apa Bapak mau pulang sekarang?"

Yoga berdiri dari duduknya, dengan ekspresi ikut cemas. "Iya. Kenapa memangnya?"

"A-anu, Pak. Sepertinya Bapak akan sulit untuk keluar kantor."

"Kenapa??"

"Di pintu masuk, penuh dengan wartawan, Pak!"

"HAHH??"

Yoga dan Han bertatapan sedetik, lalu keduanya berlari ke arah dinding kaca. Yoga sebenarnya enggan mendekati dinding kaca itu, tapi hanya melalui jendela itu, dia bisa mengamati situasi di bawah.

Telapak tangan mereka menempel di permukaan kaca bening. Tampak beberapa mobil bertuliskan nama stasiun televisi, dan ramai orang-orang berseragam staf penyiaran. Beberapa diantaranya membawa kamera.

Han melotot. "P-Pak ... mereka banyak sekali!" Dia menoleh ke samping, dan menyadari tangan Yoga sedang gemetar.

"Pak Yoga? Bapak kenapa?"

Mata Yoga masih terpaku ke bawah, sambil menelan rasa takut. "T-tidak apa-apa. S-saya cuma ... phobia ketinggian."

Hahh?? Phobia ketinggian?? Direktur Keuangan yang baru itu terkejut. Kejadian apa kiranya yang membuat orang terhormat seperti dia phobia ketinggian? Biasanya, hanya trauma yang memicunya.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang