Bagian 147 (Suluk)

637 121 42
                                    

.

.

Lembutlah kepada gelas-gelas kaca (para wanita).

~ Hadits Bukhari & Muslim.

.

.

***

Hari ke-2 Suluk di pasar ...

Hari mulai sore. Hanya sedikit pedagang yang masih berjualan sejak pagi. Pedagang sayur sudah pulang sejak siang. Yoga mengamati dua orang pedagang yang letak lapaknya tak jauh dari pelataran terbuka. Keduanya sedang mengobrol. Yang satunya dikenali Yoga sebagai orang yang kemarin sore memberinya sekotak kue.

Di tengah obrolan keduanya, tiba-tiba Bapak berkepala plontos yang dikenalinya itu menerima sambungan telepon melalui ponselnya. Air mukanya berubah tegang. Dia berdiri dan mengatakan sesuatu pada orang di ujung telepon. Terburu-buru dia membereskan barang dagangannya dan berpamitan pada temannya yang berjualan di samping lapaknya.

Yoga membatin. Ada apa ya?

Dia tercenung melihat Bapak berkepala botak itu berlari mendorong gerobak dagangan kuenya, menjauh keluar gerbang pasar. Rasa kecewa tak terelakkan. Dia sedikit berharap setelah maghrib Bapak yang tadi itu akan membagi sedikit kue padanya, seperti kemarin. Tapi ternyata ada sesuatu hal yang tampaknya darurat, yang membuatnya pulang lebih awal. Pikiran selintas itu membuatnya terkejut. 

Astaghfirullahal'azhim ... Barusan, aku berharap pada Bapak itu? Aku berharap pada pertolongan makhluk?

Padahal yang menggerakkan Bapak itu untuk memberikan kue padanya, adalah Allah. Dan lagi, sibuk memikirkan urusan perutnya, padahal tadi siang Allah baru memberinya nasi bungkus. Dan yang terpenting adalah, bukankah semestinya dia mengkuatirkan keadaan genting macam apa yang sedang menimpa Bapak itu, sehingga dia terlihat begitu panik?

Yoga mengucap istighfar kembali dalam hati. Ternyata tingkat ketidakperduliannya pada orang lain, dan kecenderungan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, masih sangat kental. Barulah dia mengenali persis kebobrokan dirinya saat menghadapi realita kehidupan nyata. Pasar, sebuah representasi dari dunia nyata yang penuh dengan ketidakpastian.

Saat berada di tempat Suluk, dia sibuk dengan rangkaian ibadah, dan seberat apapun kegiatan di tempat Suluk, di sana situasinya berbeda dengan di tempat ini. Di tempat Suluk walau tak ada makanan yang enak-enak, dan setiap harinya dia makan singkong-kentang-ubi dan teman-temannya, tapi setidaknya dia merasa makanannya terjamin. Rupanya sisa sifat-sifat buruknya yang tak nampak di tempat Suluk, bisa terlihat jelas saat berada di tempat ini yang tak menjanjikan kepastian apapun untuknya. Yoga paham sekarang, kenapa Syeikh berkata dia memerlukan program khusus ini.

Kepalanya tertunduk. Berdo'a untuk Bapak berkepala plontos yang barusan terburu-buru pergi dari pasar. Berharap dia diberi kemudahan, jika dia atau keluarganya sedang dalam kesulitan.

Langit mulai gelap. Satu per satu pedagang membereskan dagangannya dan pergi dari pasar. Tapi kemudian beberapa orang pedagang makanan yang biasa berjualan di malam hari, berdatangan dan memarkir gerobaknya.

Sebuah gerobak kayu yang bertuliskan beragam jenis sate, diparkir tak jauh dari Yoga duduk. Selepas Isya, orang-orang berdatangan menyantap makan malam. Sebagian makan di bangku panjang di depan masng-masing gerobak. Sebagian lagi pesan dibungkus untuk dibawa pulang. Yoga duduk meringkuk, menutup mata. Hidungnya bisa mencium berbagai aroma makanan yang dari baunya sepertinya enak semua. Nasi gulai, rendang, sate bahkan kue donat, gorengan dan risoles terendus meski dari jarak jauh.

Dia menelan ludah dan berusaha fokus pada zikirnya, dalam kondisi perut keroncongan. Matanya masih memejam.

Aku enggak mau lihat. Jangan dilihat. Jangan dilihat.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang