.
.
Jika kamu takut hanya kepada-Nya, semesta akan tunduk padamu, atas izin-Nya.
.
.
***
Ketegangan terasa kental di ruangan itu.
Tenggorokan Yoga mendadak terasa kering akibat rasa terkejut yang teramat sangat. Bagaimana tidak? Dia akan ditinggal selama 3 hari di pasar, tanpa uang sepeser pun, tanpa makanan, hanya mengenakan pakaian rombeng dan membawa sebuah tasbih!
"O-orang ... gila? Maksudnya gimana Syeikh? Saya kan masih waras. Apa ... saya harus jungkir balik atau koprol di tengah pasar?" Tanya pria itu dengan polos.
"Pfffttttt!!!!" Ustad Umar nyaris tertawa ngakak. Dia menutup mulutnya rapat. Wajahnya merah menahan gelak. Merasa dirinya diperhatikan Syeikh, dia berusaha mengontrol diri. Tubuhnya membungkuk sedikit. "Ehm. Maafkan saya. Silakan dilanjutkan."
Syeikh kembali menatap tajam ke arah Yoga. "Maksud saya bukan gila yang seperti itu. Kamu tidak perlu berperilaku aneh layaknya orang gila sungguhan. Kamu cukup diam saja. Ingat! Jangan bicara apapun pada siapa pun di sana! Bertingkahlah seolah kamu tidak tahu cara bicara!"
Dari raut mukanya, agaknya pernyataan Syeikh barusan membuatnya sedikit lebih lega. "Tapi, kalau saya hanya diam, bisa jadi orang pikir saya bisu. Tapi kalau untuk dikira gila ... ," katanya dengan ekspresi ragu.
"Jangan kuatir. Kita akan rubah penampilanmu. Itu sebabnya saya memintamu memakai baju ini. Ayo pakailah dulu."
Walau masih merasa berat, tapi merasa tak ada pilihan selain menurut, Yoga manut. Dia mengganti pakaiannya.
Sesaat kemudian ...
Tampang Yoga mewakili apa yang ada di dalam hati. Jelas ini bukanlah pakaian favoritnya. Baju yang dikenakannya bagai baru dikoyak-koyak hewan buas. Celananya juga sama. Ustad Umar tadi ikut merobeknya dengan tangan. Supaya terlihat lebih alami, katanya. Yoga berusaha husnuzon dan tidak menuduh Ustad Umar turut bahagia dengan penderitaannya kali ini. Tapi pria itu beberapa kali dipergokinya menahan tawa. Seandainya tak ada Syeikh Abdullah di ruangan ini, mungkin dia sudah ngakak guling-guling.
Mereka bertiga memperhatikan Yoga dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ekspresi mereka tampak tidak yakin.
Ustad Umar mengernyitkan dahi. "Kok kayak ... ," kalimatnya terputus. Membuat semua orang di ruangan menatap ke arahnya. "E-eh ... bukan apa-apa."
Mereka kembali menoleh bersamaan ke arah Yoga, dan sibuk dengan benak masing-masing.
Ustad Umar : Tadinya mau ngomong, 'kok kayak fashion show Paris yang di TV itu?'
Tapi dia tak mungkin bicara begitu. Syeikh dan Mahzar adalah orang-orang yang sejak lahir dijaga pandangannya dari tontonan semacam itu. Mereka adalah orang-orang yang sedari kecil tumbuh di lingkungan Madrasah atau pesantren. Tidak sama dengan dirinya. Jadi kemungkinan mereka tidak tahu seperti apa fashion show di Paris. Pagelaran busana yang seringkali mengejutkan pemirsa yang menontonnya. Mereka menggunakan bahan apa saja. Catat : Apa saja! Daun, plastik, sedotan, dan entah bahan apa lagi. Makin ajaib bahannya, makin kreatif (menurut versi mereka).
Nah, ketika baju compang-camping dikenakan oleh orang dengan perawakan model semacam Yoga, dia jadi tidak terlihat seperti orang miskin atau orang gila. Tapi lebih seperti peragawan fashion show di Paris. Seolah-olah, baju yang jelek itu malah naik derajatnya menjadi baju yang sedang tren masa kini.
Mahzar : Gawat! Orang ini terlalu ganteng. Sepertinya perlu make up artist handal untuk bisa merubahnya menjadi seperti orang gila!
Yoga : Ini serius?? Serius ya?? Syeikh mana pernah bercanda?? Aaaaarrrgghhh!!
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...