Bagian 143 (Suluk)

822 102 35
                                    

.

.

"Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian."


~ Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam (Hadits Riwayat Abu Hurairah r.a - HR Muslim)

.

.

***

Seorang pria duduk meringkuk menyandarkan punggungnya di dinding pasar dalam kegelapan. Aroma sayur mayur bercampur dengan sedikit bau amis ikan, bersenyawa dengan dinginnya malam di perbukitan.

Biji tasbih kayu cendana itu berbunyi saat bertemu satu sama lain. Ctak!

"Laa haula wa laa quwwata illaa billahil 'aliyyil azhiim."

Ctak!

"Laa haula wa laa quwwata illaa billahil 'aliyyil azhiim."

Sengaja dia membaca zikir itu karena saat ini keberaniannya sedang diuji. Dia merasa kondisinya saat ini sedang lemah, dan sedang memerlukan kekuatan dari Tuhan. Pasalnya ...

SRAKK!! Suara keras itu sontak membuat jantung Yoga bagai nyaris terbang dari dadanya. Dia refleks melompat. "ALLAHU AKBAR!!"

Seekor tikus besar melintas keluar dari tumpukan bangku kayu yang ditumpuk di atas meja-meja. "Cit ... cit ... ciiitt!!" tikus itu berlari dengan kecepatan tinggi, menjauh ke arah pelataran luas di tengah pasar.

Yoga menyentuh dadanya, seolah memastikan kalau jantungnya masih ada di sana.

Ya ampun ... tikus! Kirain apaan!  Haduh ... jantungan aku rasanya!

Dia kembali duduk di atas perkerasan jalan sempit di samping naungan terpal. Meja-meja dan bangku-bangku lapak ada di bawah terpal. Di sana nyaris gelap total. Sementara di tempatnya duduk, setidaknya dia masih terkena berkas cahaya rembulan. Kepalanya mendongak ke langit, mengamati gugusan bintang dan bulan sabit yang cantik. Pemandangan yang cantik. Andai saja dia tidak menikmatinya di tempat yang aromanya tidak sedap ini.

"Hahhh ... ," kepalanya tertunduk dan jemarinya menyusuri rambut yang kini jangan ditanya tingkat kekacauan potongannya. Panjang-pendek-miring-diagonal tak tentu arah. Ustad Umar sungguh tidak berbakat menjadi penata rambut, pikirnya.

Dia menghela napas. Menarik napas dan memulai zikirnya lagi.

"Laa haula wa laa quwwata illaa billahil 'aliyyil azhiim ... Laa haula wa laa quwwata illaa billahil 'aliyyil azhiim."

Lima belas menit berlalu ...

Yoga sadar semestinya dia segera tidur supaya bisa terbangun untuk salat tahajud. Tapi dalam situasi mencekam seperti saat ini, dia tidak tahu bagaimana caranya bisa tidur nyenyak.

Tiba-tiba ujung matanya menangkap sesuatu berwarna putih bergerak di kolong tumpukan meja lapak. Srak! srak!

Bibir Yoga berhenti bergerak. Zikirnya terhenti. Matanya terbuka lebar. Dadanya berdegup sangat kencang, dan keringat dingin terbit di dahinya. Deg! deg! deg!

Sesuatu yang berwarna putih itu melesat ke kiri, lalu ke kanan. Mata Yoga tak lepas barang sedetik pun. Dia menelan ludah susah payah. Glek!

Biasanya yang putih-putih apaan ya? Pocong? Enggak mungkin! Ini gerakannya enggak lompat-lompat! Mbak Kunti a.k.a kuntilanak?? Kayaknya bukan! Kunti kan biasanya nongkrong di pohon. Terus apaan dong? Suster ngesot? Tapi ini di pasar, bukan Rumah Sakit!

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang