Bagian 49 (Catatan Yunan)

974 60 2
                                    

.

.

Cobaan terbesar memang dipikul oleh para Nabi.

Cobaanku tak seberapa. Tak seberapa.

.

.

***

Sebulan setelah Bapak dan Ibu meninggal dunia ...

Penagih utang datang hari ini. Om Derry, begitu aku biasa memanggilnya. Dia datang lengkap dengan dua orang pria bertato bersamanya. Yang Om Derry tidak tahu, bapak dan ibuku telah meninggal dunia.

Bapakku pernah cerita, mereka berutang pada lintah darat, untuk modal usaha menjual kue di pasar. Sisa utang mendiang orang tuaku sekitar sejuta-an. Utang itu disesali almarhum bapakku. Padahal sudah jelas dalam hadits, Rasulullah berkata memerangi pelaku riba, yang meminjam dengan riba dan yang mencatat transaksi riba. Namun nasi telah menjadi bubur.

Dan sekarang, aku turut merasakan dampak dari pinjaman berbunga itu. Sisa uang tunai di rumah, seluruhnya kuserahkan pada Om Derry.

"Adanya segini, Om," kataku saat menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan.

Pria itu melengos. "Ya udah. Mau gimana lagi?" katanya sambil memasukkan uang pembayaran sisa utang itu ke dalam amplop.

Persis saat pria berkumis bernama Derry itu akan pergi, dia menoleh ke arahku.

"Yunan, kamu tinggal di sini sama siapa? Apa ada saudara di sini?" tanya Derry terdengar cemas.

"Sendiri, Om. Saudara saya di Aceh. Belakangan lagi gak bisa datang. Saudara dari almarhumah ibu, terakhir ketemu di pemakaman. Belum ketemu lagi sejak itu," jawabku.

Aku memang tidak dekat dengan saudara dari ibu. Sebab ibu menikah dengan persetujuan yang tidak utuh dari kedua orang tuanya. Ibu menolak dijodohkan dengan seorang pria kaya, dan malah memilih bapak yang hanya seorang pedagang kecil, dengan pendidikan hanya lulusan SMA, lantaran merasa yakin pria pilihannya lebih baik ilmu agamanya. Demikianlah. Bagi manusia-manusia modern zaman sekarang ini, harta dan titel memang sangatlah penting. Sementara ilmu dipandang sebelah mata, sebab tak berbentuk materi.

"Uang yang kamu kasih buat bayar utang orang tuamu tadi, itu beneran udah semuanya? Kamu sisain gak buatmu sendiri?" tanya Derry dengan mata memicing.

Aku menggeleng. "Gak saya sisain, Om. Itu udah semuanya. Uang buat saya, insyaallah nanti ada," jawabku, direspon lawan bicaraku dengan gelengan kepala.

"Ambil ini. Maaf Om cuma bisa kasih segini. Orang-orang lagi pada susah ditagihin," kata Derry menyerahkan selembar uang seratus ribuan.

"Makasih, Om," ucapku menerima uang itu.

Aku memandangi kepergian Om Derry sang penagih utang. Bahkan seorang lintah darat, masih punya hati. Aku mendo'akan pria itu. Semoga Allah kelak memberikannya mata pencaharian yang jauh lebih baik.

Kupandangi selembar uang di tangan. Dengan ini, mungkin aku masih bisa bertahan tiga hari lagi.

Hening mengisi ruang sepi.

Aku harus salat istikharoh malam ini.

***

Sejak penguburan orang tuaku, aku sebenarnya sudah tahu akan menghadapi kesulitan ini. Kesulitan bertahan hidup. Uang pemberian Apa Agam sudah terpakai untuk biaya hidup sebulan. Uang sisa keuntungan berjualan Ibu dan ayahku sudah dibawa oleh renternir. Sehari setelah para renternir datang, aku menerima surat dari Apa Agam. Apa meminta maaf karena tidak bisa mengirimkan uang untukku. Mertuanya sakit parah, dan otomatis tanggungannya bertambah.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang