Bagian 170 (Bertahan)

935 148 65
                                    

.

.

Ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?" (QS. At-Tiin: 8).

.

.

***

Sebuah mobil limosin hitam memasuki pelataran parkir masjid.

Di luar waktu salat wajib, kedatangan mobil mewah itu tampak mencolok. Seorang pria berusia 30-an sang pengurus masjid, sudah memperhatikan mobil itu sejak memasuki gerbang dan parkir tak jauh dari puluhan anak tangga menuju pintu ruang salat yang terbuka lebar.

Pria yang sedang menyapu halaman masjid itu, berhenti menyapu. Memperhatikan seorang pria berseragam serba hitam, keluar dari pintu depan dan membukakan pintu untuk seorang pria yang mungkin lebih tua sedikit darinya. Pria yang tampak seperti model itu, dari raut wajahnya terlihat sedih. Dia berjalan cepat melangkahi anak tangga.

Karena rasa penasaran, sang pengurus masjid mengecek ke dalam ruangan salat. Dilihatnya pria yang mengenakan jas hitam dan dasi garis-garis itu, sedang berdiri tak jauh dari mihrab. Sekitar lima menit telah berlalu, dan dia tak bergerak sedikit pun. Hanya berdiri di sana, menghadap tulisan kaligrafi 'Allah' dan 'Muhammad' yang terbuat dari kaca.

Dalam posisi matahari saat ini, cahaya masuk dari kaligrafi kaca itu, sedemikian hingga cahaya dari tulisan 'Allah' menerpa tubuh dan wajahnya.

Sejak memutuskan keluar sejenak dari gedung kantor, dia sebenarnya tak tahu mau ke mana. Dia hanya merasa, emosi yang berkecambuk di dalam dadanya harus dikeluarkan. Namun Yoga saat ini tidaklah sama dengan Yoga yang dulu. Dia telah memahami, amarah dapat mengotori hatinya. Membakar amalannya. Dan dia tidak menginginkan itu. Setelah susah payah dia berusaha membersihkan hatinya, maka membiarkan dirinya terbakar emosi, adalah hal yang bodoh.

Lima belas menit yang lalu, supirnya bertanya padanya, "Kita mau ke mana Tuan Muda?"

Dia melemparkan pandangan ke luar kaca mobil. Pikirannya menerawang jauh. Dia hanya ingin pulang. Pulang, ke rumah Tuhan. "Kita cari masjid," jawabnya setelah terdiam beberapa saat.

Dan disinilah dia. Ini bukan masjid yang biasa didatangi olehnya, Gito dan Ayahnya setiap mereka salat Jum'at.

Normalnya, semestinya dia merasa asing. Tapi, hal yang ajaib dengan masjid adalah, dia tetap merasa masjid itu adalah rumahnya juga, sekali pun dia tak pernah menapakkan kaki di sana.

Wajahnya menengadah, menatap kaligrafi kaca bertuliskan lafadz Allah dan Nabinya. Alisnya berkerut ke arah bawah, menahan rasa sedih yang memenuhi rongga dada.

Dukk!! Kedua lututnya jatuh ke atas permukaan lantai granit abu-abu. Sementara matanya tak sedetik pun lepas dari tulisan Tuhan dan Utusan-Nya yang mulia.

Air mata yang sejak di ruangan kantornya ditahan sepenuh hati, akhirnya jatuh ke permukaan lantai. Setetes, dua tetes, lalu menjadi tak terhitung. Dadanya terasa sesak.

Ya Allah ... sebenci itukah mereka pada syari'at agama-Mu yang dibawa oleh utusan-Mu Nabi Muhammad?

Rasa sesak membuatnya menangis semakin deras hingga punggungnya bergetar. Lelaki penjaga masjid segera meninggalkannya. Menyadari pria ini perlu waktu untuk berduaan dengan Sang Pemilik Masjid.

Kedua matanya masih menatap lekat ke arah tulisan kaca.

Kenapa? Kenapa ... perkataan paling menyakitkan justru keluar dari saudara sesama muslim?

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang