Bagian 21 (Catatan Gito)

1.3K 71 0
                                    

.

.

Setelah dua tahun, Yoga tidak kunjung move on dari Erika.

Aku merasa harus melakukan sesuatu untuk menolongnya.

.

.

***

Tiga anak laki-laki itu berwajah pucat dengan tubuh relatif kurus. Satu anak yang tubuhnya paling tinggi, kukenali sebagai anak yang memukul pipi Yoga. Sepertinya dia 'pimpinan geng' mereka.

Pria paruh baya di seberang mereka menggeser posisi kacamata tebalnya. Di atas mejanya terpampang sebuah papan nama hitam bertuliskan huruf warna putih. KEPALA SEKOLAH / BPK. HAIDAR SOEROTO.

"Apa benar kalian melakukan itu?" tanya Pak Kepsek.

Ketiganya menunduk ke lantai, sambil sesekali melirik satu sama lain.

Seorang guru muda yang berdiri di samping Bapak Kepala Sekolah, menghela napas. Dia adalah guru BK di SMP itu.

"Sebaiknya kalian jujur. Jangan bohong dan minta maaf sama anak ini," kata sang guru BK sambil menunjuk ke arah Yoga.

Anak yang paling tinggi badannya, sempat melirik Yoga dengan tatapan bengis.

"Ya, pak. Kami memang memalak dia," kata anak itu.

Pak Haidar dan guru muda itu melihat Claire dengan rasa tak enak hati. Claire berdiri sambil melipat tangannya. Menatap tajam ke mata anak yang baru saja mengaku.

"Lalu siapa yang memukul anak saya, Yoga?" tanya Claire pelan dengan emosi yang diredam.

Anak yang ditanya, balik menatap Claire.

"Saya memang mukul dia, tapi dia mukul saya duluan!" tuduh anak itu dusta.

Mataku terbelalak. Yoga tak kalah kaget. Bibirnya bergerak, dia baru akan membela diri, tapi tak ada suara yang keluar.

Aku segera bicara untuk membelanya, "DIA BOH--!!"

Belum selesai kalimatku, Claire melakukan sesuatu yang mengejutkan kami semua. Dia berjalan menghampiri anak itu dan menampar pipinya keras.

PLAKK!!!!

Tamparan itu mencipta bekas memar serupa dengan di pipi Yoga.

"BERANINYA KAMU BOHONG!! KAMU PIKIR SAYA BAKAL PERCAYA?? SAYA TIDAK PERNAH DIDIK ANAK SAYA YOGA SEPERTI ITU!! YOGA TIDAK MUNGKIN MEMUKUL DULUAN!! DAN YOGA TIDAK PERNAH BOHONG!" bentak Claire berang.

Kami semua terkejut. Aku melihat Yoga matanya terbuka lebar. Tapi kemudian tatapannya berubah menjadi lembut, dan dia tersenyum. Senyuman paling bahagia yang pernah kulihat.

Claire menoleh ke Pak Haidar.

"Pak, saya anggap masalah ini sudah selesai. Tamparan saya barusan ke anak ini, saya anggap impas. Terserah Bapak, kalau anak ini masih mau di skors atau tidak. Saya hanya minta tolong, sampaikan ke orang tua anak ini, untuk mendidik anaknya supaya tidak terbiasa berbohong. Akan buruk dampaknya nanti saat dia dewasa," kata Claire sebelum kami bersiap pergi.

"A-ah ... iya, Bu Claire," kata pria itu berdiri, dan berbarengan dengan guru muda di sampingnya, mereka berdua membungkuk.

"Kami benar-benar minta maaf, Bu. Kami akan awasi anak-anak didik kami lebih baik lagi. Terima kasih atas laporan Ibu," ucap keduanya penuh penyesalan.

Dan, selesai sudah urusan itu. Kami bertiga sudah berada di dalam mobil.

Claire menoleh padaku. "Gito, apa kamu buru-buru mau pulang sekarang?" tanya Claire.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang