.
.
Cinta yang sempurna hanyalah cinta Tuhan pada hamba-Nya. Sementara cinta para hamba, penuh dengan cacat dan cela.
.
.
***
Pukul 10.00, Pesantren Darul Ihsan.
Farhan tersenyum melihat Yunan muncul di gerbang. Yunan mencium punggung tangan Ayahnya dengan cara yang lembut. Tangan Farhan mengusap kepalanya. Meski sudah merasakan ini puluhan kali, hatinya selalu trenyuh tiap kali disalami Yunan dengan caranya yang sangat sopan dan lembut. Yunan memang sudah seperti itu sejak sebelum dididik di Pesantren. Itu jelas adalah didikan dari orang tua kandungnya, terutama Ibunya yang menurut staf Panti Asuhan, adalah yang memegang peranan besar dalam pendidikan Yunan.
Sementara dirinya dan Erika, sebenarnya tak punya andil dalam pembentukan karakter Yunan. Raesha lah yang kelak akan menjadi tolak ukur keberhasilan atau kegagalan mereka dalam mendidik anak.
Farhan nyaris akan membawakan tas Yunan, tapi anak itu mencegahnya.
"Tidak usah Yah. Aku bisa bawa sendiri," katanya dengan senyuman yang menyenangkan untuk dilihat.
Mereka masuk ke dalam mobil. Mesin mobil dinyalakan dan kendaraan roda empat itu melaju di jalan raya.
Suasana sunyi. Yunan memang bukan tipe anak yang suka bicara. Kalau sedang tak ada yang perlu dibicarakan, dia lebih suka diam.
Farhan yang akhirnya membuka percakapan. "Yunan, rasa-rasanya sudah lama sekali kamu tidak main ke rumah lamamu. Apa kamu tidak kangen sama teman-temanmu?"
Kata 'kangen' mendadak membuat wajah Yunan merah bagai kepiting rebus. Farhan takjub melihat reaksi itu.
"Ha ha! Kenapa kamu? Kok mukamu begitu?"
Dia melempar pandangan ke jalanan. "E-enggak ada apa-apa, Yah. Aku cuma ... menunda ke sana. Nanti saja pas Idul Fitri dan Idul Adha."
Farhan terheran-heran. "Hah? Kenapa begitu? Lebaran kan masih lama."
"Iya. Enggak apa-apa. Terlalu sering ketemu juga ... kurang baik."
Farhan melirik anaknya yang sedang menyembunyikan ekspresi wajah malu. Dia tertawa tertahan. "Anak gadis itu kan? Yang namanya Arisa?"
Yunan tidak menjawab. Tapi rona di wajahnya semakin jelas. Membuat Farhan tertawa. "Hh ... Yunan ... Yunan. Kamu masih muda, nak. Masih banyak kemungkinan lain. Bisa jadi kamu akan bertemu dengan perempuan lain yang lebih menarik hatimu."
Komentar yang terkesan ringan itu membuat Yunan segera menoleh ke Ayahnya.
"Aku ... aku tidak bisa membayangkan diriku dengan yang lain."Respon yang serius itu membuat Farhan berhenti tertawa. Kesungguhan tampak di wajah dan nada suara Yunan.
"Aku tidak bisa. Aku cuma bisa membayangkan dengan dia." Yunan mengulangnya lagi.
Farhan terdiam. Ini adalah pertama kalinya anak ini mengungkapkan isi hatinya.
Sekejap kemudian, Farhan tersenyum. Entah kenapa, pernyataan Yunan barusan membuatnya teringat pada seseorang.
"Kamu mengingatkan Ayah pada seorang teman. Ah. Bukan. Bukan teman. Dia ... rival. Rival nomor satu."Mata Yunan terbuka lebar. Rival? Apakah yang dimaksud Ayahnya adalah ...
"Laki-laki itu menyukai seorang wanita, padahal wanita itu sudah menjadi milik orang lain. Dan sepertinya, dia terus menyukainya hingga saat ini. Salah satu buktinya adalah, dia tak kunjung menikah. Selebihnya, Ayah tidak punya bukti apa-apa. Murni hanya intuisi sesama laki-laki. Ayah merasa cukup yakin, orang itu masih menyukainya. Dia bertingkah seolah tak ada wanita lain di dunia ini. Seolah hanya ada satu wanita. Sejujurnya, Yunan. Walaupun Ibumu adalah wanita yang paling Ayah cintai di muka bumi ini, tapi sekiranya Ibumu sebelumnya memilih menikah dengan pria lain, mungkin Ayah akan sedih sesaat. Tapi lantas ya cari calon lain lah. Memangnya wanita cuma satu?" Pertanyaan diucapnya dengan senyum setengah meledek.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...