.
.
Tuhan, aku datang.
.
.
***
Kabut mulai turun menyelimuti puncak bukit. Suhu perlahan tapi pasti, berubah semakin dingin. Koridor terbuka itu nampak tenang. Kedamaian semakin terasa dengan gelombang lembut riak air di permukaan kolam. Sesekali ikan nila merah muncul ke permukaan, lalu kembali menyelam ke dasar.
Dua pasang kaki telanjang menginjak lantai papan kayu di sepanjang koridor. Kedua remaja putra itu mengenakan baju koko serba putih.
"Apa peserta suluk sudah datang semua?"
"Sepertinya belum. Tadi kata Ustaz Adit, ada dua orang dari Jakarta yang masih di jalan."
"Oh ... oke. Tinggal mereka berdua aja ya."
Mereka melanjutkan kegiatannya menyapu lantai. Temannya menoleh ke arah pintu ruangan yang terletak di paling ujung.
"Syeikh Abdullah sudah datang?"
"Sudah. Tadi siang baru datang dari Jayapura."
"Syeikh habis ngecek pembangunan pesantren yang di Wamena?"
"Iya. Psst ... ngobrolnya pelan-pelan. Tadi Ustaz Umar bilang, Syeikh sedang zikir di dalam."
Mendengar nama Ustaz Umar disebut, anak itu membungkam mulutnya.
.
.
Kesan sederhana terasa kental di ruangan itu. Lantai papan kayu, dinding putih polos, sebuah lemari kayu tempat menyimpan pakaian, dan sebuah meja lipat pendek, diposisikan bersandar pada dinding.
Tak ada furnitur apapun selain itu. Tak ada kursi, tak ada meja tinggi, tak ada sofa. Satu-satunya yang menghiasi dinding adalah empat buah foto lukisan hitam putih. Dua orang Syeikh asal Sumatera Barat, serta dua orang Habaib yang mengenakan sorban di kepalanya dan berjanggut putih panjang. Keempatnya adalah guru-guru beliau yang telah wafat.
Sebuah kasur busa tipis terbentang di atas lantai. Seorang pria berusia lanjut sedang duduk bersila di atas kasur itu. Sisi belakangnya adalah dinding, namun beliau tidak menyandarkan punggungnya ke dinding. Wajahnya menghadap ke pintu geser yang terbuka lebar. Terbentang pemandangan alam di luar, hijaunya bukit dengan pepohonan nan rindang. Pemandangan indah itu kini nampak samar karena tersapu halusnya kabut putih.
Sepasang mata pria itu memejam. Bentuk wajahnya cenderung lancip karena tubuh beliau yang jauh dari deskripsi 'gemuk', beralis tebal, berhidung bangir dan bibir tipis. Kesemua rambut, alis, kumis dan janggut beliau yang panjangnya hanya setengah jengkal, semuanya tak terkecuali telah memutih. Beliau mengenakan dalaman setelan serba putih, dengan luaran jubah berwarna krem muda. Sorban yang biasa dikenakannya dalam keseharian, sedang disimpannya di dalam lemari pakaian. Jika sedang berada di ruangannya, beliau hanya memakai peci berwarna putih.
Syeikh Abdullah meresapi setiap kalimat zikir yang terucap dengan lidah dan bibirnya. Sementara tangan kanannya memutar biji tasbih dengan cepat. Biji tasbih itu bukan tasbih 99 yang umumnya digunakan orang, melainkan tasbih dengan jumlah biji 1000. Untaian tasbih itu menjuntai di atas kasur lipat, dan luber ke atas lantai kayu karena panjangnya.
"Laa hawla wa laa quwwata illa billah ... Laa hawla wa laa quwwata illa billah ... Laa hawla wa laa quwwata illa billah* ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
ДуховныеJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...