Bagian 52 (Hidup Baru - Yunan)

1K 63 0
                                    

.

.

Saat seseorang memasak untuk kita, itu adalah bentuk dari 'sejuta rasa cinta' yang diletakkan di atas piring.

.

.

***

Dua belas menit sebelum azan Subuh.

Masjid komplek di perumahan bisa ditempuh sepuluh menit berjalan kaki dari rumah Erika dan Farhan. Yunan sudah seminggu tinggal di rumah ini. Rumah orang tua angkatnya. Erika dan Farhan bilang saat dia baru tiba di sini, kalau rumah ini sekarang adalah rumahnya juga.

Saat Yunan baru tiba di sini, yang pertama kali dia tanyakan pada Farhan adalah 'di mana masjid?'

Dia senang saat tahu kalau jarak masjid tidak jauh. Berharap akan berangkat ke masjid bersama ayah angkatnya, tapi ternyata itu tidak terjadi. Tetap sama seperti saat dia hidup sendiri di rumah lamanya. Yunan tetap berangkat ke masjid sendirian.

Yunan sudah mengenakan baju koko dan peci putih. Dia berdiri persis di depan pintu kamar Farhan dan Erika. Tangan kanannya diangkat dan ujung sudut jari telunjuknya sudah siap mengetuk pintu putih itu. Tangannya berhenti bergerak. Alis Yunan berkerut sedikit. Ragu. Selama seminggu ini, tiap jelang Subuh, mengetuk pintu kamar Farhan menjadi sesuatu yang tak pernah luput dilakukannya. Berusaha mengajaknya salat Subuh berjamaah di masjid. Kalau kali ini Farhan masih memilih untuk salat di rumah saja, dia berpikir untuk tidak akan mengetuk pintu ini lagi. Dia merasa tidak enak sebenarnya. Khawatir mengganggu. Yunan membuang embusan napas dan akhirnya mengetuk pintu itu.

"Ya, Yunan?" Suara Farhan terdengar seperti masih separuh mengantuk. Dia menjawab dari dalam kamar.

"Em ... aku ... ," jawab Yunan ragu.

"Sebentar, ya," sahut Farhan dengan suara langkahnya mendekati pintu. Farhan muncul mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer hitam di bawah lutut. Dia mengucek matanya sambil tersenyum.

Yunan menunduk kikuk. "Maaf aku ganggu," ucapnya.

Farhan tertawa pelan sambil mengusap kepala anak angkatnya itu. "Apa sih, kamu? Gak ganggu sama sekali. Ada apa, Yunan? Hebat kamu udah rapi jam segini."

Dia berbicara perlahan dan hati-hati. "Em ... Ayah mau Subuh jamaah di masjid? Kalo jalan sekarang, insyaallah sampai masjid sebelum azan."

Mata Farhan melirik ke atas. Berpikir. "Mm ... sepertinya Ayah salat di rumah aja. Kamu berangkat aja, ya," kata Farhan sambil mengusap kepala Yunan.

Yunan mengatupkan bibir. Seperti ingin bicara, tapi kemudian memutuskan membatalkannya. Dia tersenyum tulus. "Iya, Yah. Aku berangkat dulu ya," sahut Yunan menunduk, dan dengan gerakan yang terasa wajar, dia mencium punggung tangan Farhan. Farhan tersenyum merasakan taburan rasa nyaman di relung hatinya. Yunan adalah anak yang dididik dengan adab yang baik oleh orang tuanya. Penghormatan pada orang tua, sudah menjadi kebiasaan buatnya.

"Iya. Hati-hati," kata Farhan melepasnya pergi dengan usapan hangat di punggung. Setelah menutup pintu kamar, dia tersenyum sendiri.

Rupanya seperti ini rasanya kalau ada anak yang saleh tinggal di rumahku. Menyenangkan.

Sebenarnya, dulu sebelum menikah, Farhan tidak pernah absen salat berjamaah di masjid. Tapi sejak menikah, dia semakin jarang salat berjamaah di masjid. Dan tadi malam pun, lagi-lagi dia tidak terbangun tahajud. Dia tidak bisa mengandalkan Erika untuk terbangun tahajud, karena untuk salat Subuh pun dia harus dibangunkan.

Farhan memperhatikan istrinya yang masih tertidur lelap. Kakinya melangkah mendekati tempat tidur. Dia naik ke atas kasur dan merangkak di atas tubuh Erika yang masih berselimut.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang