Bagian 7 (Catatan Erika)

1.8K 87 2
                                    

.

.

Langit biru cerah, awan putih berarak, aroma bangunan tua, dan sebuah foto kenangan. Sempurna.

.

.

***

Kami parkir tidak persis di depan kafe, jadi kami harus berjalan kaki ke sana mungkin sekitar sepuluh menitan.

Kami sudah turun dari mobil. Tapi kulihat Yoga masih berdiri di dekat mobilnya. Dia menyisir rambut dan meremasnya di belakang kepala. Kuperhatikan, itu kebiasaannya kalau sedang cemas atau berusaha mengingat sesuatu. Aku memerhatikan lagi penampilannya yang terlihat keren seperti biasa. Hari ini dia memakai baju lengan panjang maroon dan celana jeans. Ada aksen rantai kecil yang muncul dari kantung celananya.

"Ada apa Yoga?" tanyaku.

"Sebentar, aku cari mini laptopku dulu," jawabnya. Dia membuka pintu mobil dan sibuk mencari laptop di depan, tapi tidak ketemu. Dia mencarinya di jok belakang sambil misuh-misuh.

Aku melayangkan pandanganku ke bangunan di sekitarku yang bergaya arsitektur Belanda. Sudah lama aku tidak ke Kota Tua. Kakiku tanpa sadar melangkah menjauh dari mobil. Hari belum panas, dan cuacanya terasa nyaman di kulit. Aku menghirup udara dalam-dalam. Bangunan tua punya aroma yang bisa membuatku merasa rindu. Padahal selama hidupku aku belum pernah sekalipun tinggal di bangunan tua.

Begitu tersadar, ternyata aku sudah berjalan cukup jauh. Aku berdiri di tengah pelataran luas di dekat museum, dikelilingi bangunan tua lainnya. Dari sini aku bisa melihat kafe yang ingin kudatangi bersama Yoga.

Kurasa, sebaiknya aku menunggu Yoga di sini. Di depanku berjarak sepuluh meteran ada dua orang laki-laki. Dari penampilan mereka, sepertinya anak kuliahan. Yang sebelah kanan melihatku dari atas sampai bawah, membuatku merasa risi. Dia berbisik dengan temannya dan mereka tertawa. Aku membuang muka.

Setelah mereka sudah sangat dekat denganku, laki-laki yang sebelah kanan, secara mengejutkan menyapaku, "hai. Maaf, boleh kenalan? Kamu sendirian ke sini?" tanya pria itu.

"Enggak, aku -- ," jawabku agak gugup, sambil berpikir cara yang pas untuk menolak ajakan berkenalan darinya.

Sebuah sentuhan hangat terasa di pundakku dari arah belakang. Yoga berdiri merangkulku. "Ada apa sayang? Apa mereka ganggu kamu?" tanya Yoga. Panggilan sayang itu seolah menegaskan pada kedua mahasiswa itu, bahwa aku pacarnya.

Kulihat Yoga berkeringat dan nafasnya memburu, membuatku merasa bersalah. Dia rupanya berlari menyusulku kemari.

Aku menggeleng. "Enggak kok, Yoga. Dia cuma mau ngajak kenalan," jawabku. Tidak ingin hal remeh ini jadi panjang.

"Apa mereka sentuh kamu?" tanya Yoga dengan nada khawatir.

"Enggak, kok. Kita pergi aja yuk," ajakku mulai cemas akan kemungkinan timbulnya keributan.

Aku berharap laki-laki itu pergi setelah melihat Yoga, tapi ternyata pembawaan orang itu memang menyebalkan.

"Kamu pacarnya? Anak SMA, ya? Aku kenalan sama pacarmu boleh, 'kan? Status kalian 'kan masih pacaran," ujar laki-laki itu santai.

"Kamu! Tunggu di sini!" kata Yoga menunjuk mahasiswa itu, lalu mengeluarkan ponsel dan menekan tombol.

Yang ditunjuk kelihatan bingung. "Tunggu? Maksudnya gimana?" tanya laki-laki itu dengan nada meledek.

Aku juga melihat Yoga dengan bingung, tapi Yoga kelihatan tenang. "Iya. Tunggu aja. Bentar lagi juga dateng," imbuhnya.

Beberapa detik kemudian, dua mobil sedan berwarna hitam datang mendekati kami dari dua arah yang berbeda. Kedua mobil itu mengerem mendadak, membuatku ketakutan dan sempat berpikir mereka akan menabrak kami.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang