Bagian 136 (Suluk)

869 110 28
                                    

Malaikat Jibril berkata,

"Belum pernah aku turun membawa kalimat yang lebih agung dari kalimat 'Laa ilaha illallah.'

Karena dengan kalimat itu, tegaklah langit dan bumi, gunung dan tumbuh-tumbuhan, laut dan daratan.

Itulah kalimat ikhlas, kalimat Islam, kalimat kemenangan, kalimat kedekatan dengan Tuhan, kalimat takwa, kalimat angkasa perkasa."

~ Al Hadits

.
.
***
.
.
Hari ke-20 Suluk

Di minggu yang cerah, para peserta Suluk sibuk bersiap pulang ke daerah asalnya masing-masing.

Kesibukan terasa kental di area loker tempat penyimpanan barang. Wajah-wajah mereka ceria, bagai baterai yang sudah dicharge penuh selama 20 hari.

Semangat baru tergambar di binar mata mereka. Juga karena kegembiraan mereka yang sebentar lagi akan bertemu dengan keluarga di rumah. Satu sama lain membicarakan betapa mereka rindu dengan anak isteri. 

Sementara di tepi koridor, ada satu orang yang agak sedih karena merasa akan ditinggal teman-temannya. Sebab orang itu harus menjalani 20 hari ke depan di tempat ini. Sendirian. Bahkan santri kembali ke pesantren di Padang. Semua kecuali seorang santri bernama Mahzar yang masih tinggal di tempat Suluk. Perintah dari Syeikh, sebab masih ada satu orang peserta Suluk yang melanjutkan program 40 hari-nya.

Rizky, Ustad Umar dan Yoga berdiri di sana, di koridor. Menunggu orang-orang selesai mengambil barang di loker.

"Ustad, saya pamit ya. Mohon maaf kalau selama ini ada khilaf. Saya titip teman saya yang ajaib ini ya Ustad," katanya sambil mencium punggung tangan Ustad Umar.

"Iya. Terima kasih sudah mengikuti program Suluk tahun ini. Semoga tahun depan ikut lagi ya. Saya juga minta do'anya, semoga saya diberikan ketabahan dalam menghadapi teman mu yang ajaib ini," pria itu menjawabnya sambil menepuk pundak Rizky.

Sementara Yoga memicingkan mata sinis. "Harus ya kalian bahas aku di depanku kayak gini?" Mereka berdua tersenyum geli.

Setelah kejadian baking soda yang dihabiskannya dalam sekali pakai, Ustad Umar menjewer telinganya hingga kemerahan, tapi lantas menyadari kekhilafannya. Sebagai seorang pengajar ilmu, tak sepatutnya dia hilang kendali atas kesabaran. Dia pun berbesar hati meminta maaf. Dan Yoga berbesar hati memaafkan. Peristiwa itu disaksikan Syeikh, yang memasuki ruangannya tepat saat Yoga menjerit kesakitan karena dijewer.

"Hahh ... masih 20 hari lagi. Lama banget rasanya." Yoga mempertemukan jemari di belakang kepala, seraya bersandar di dinding.

Ustad Umar agak sewot mendengarnya. Matanya mendelik tajam. "Jangan bicara begitu! Kamu terdengar seolah malas-malasan. Dua puluh hari ke depan, kamu akan kugembleng! Kuperhatikan ilmu fikihmu sangat pas-pasan. Nanti pelan-pelan insyaallah kita benahi."

Yoga merubah posisinya menjadi lebih tegap. "Maaf Ustad. Saya enggak malas kok. Beneran deh. Memang ilmu fikih saya sangat minim, Ustad."

"Kok bisa begitu ya? Bukannya kalian satu Majelis?" Tanya pria berpeci putih itu pada Rizky.

Yoga menggaruk belakang kepalanya dan menjawab malu. "Iya, itu karena ... Rizky rutin hadir kajian fikih yang diadakan sore hari. Sedangkan saya, lebih sering tidak hadir, karena sibuk di kantor. Kadang saya lembur hingga malam. Banyak yang harus ditandatangani. Tidak bisa saya tinggal. Sementara kajian tasawuf diadakan malam, jadi saya sempat hadir."

"Oh ... pantesan. Tanda tangan? Tanda tangan apa segitu banyak sampe lembur segala?"

"Eh ... itu ... enggak penting sih. Cuma beberapa laporan aja kok." Yoga menghindari tatapan langsung. Sementara Rizky tertawa tertahan. Dia paham, Yoga tidak mau Ustad sampai tahu posisinya di kantor. Jelas beda antara Rizky yang pegawai biasa dengan Yoga seorang Direktur Utama.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang