Bagian 76 (Suluk)

1.1K 81 26
                                    

.

.

"Yoga, sebenarnya apa tujuanmu ke tempat ini?"

.

.

***

Pintu sudah ditutup dan Yoga sudah berada di dalam ruangan Syeikh Abdullah. Sepasang matanya bertemu pandang dengan kedalaman mata Syeikh Abdullah. Pria tua itu sedang tersenyum padanya. Senyum yang begitu tenang. Ada kesan yang begitu kuat terpancar dari dirinya. Sesuatu yang orang kebanyakan biasa sebut dengan wibawa. Tapi Yoga merasakan sesuatu yang lebih dari itu, entah apa. Rasa hormat itu bercampur dengan perasaan aneh seolah dia pernah mengenalnya. Padahal dia merasa yakin belum pernah bertemu Syeikh Abdullah sebelumnya.

Sungguh aneh ... selama mewakili ayahnya memimpin perusahaan raksasa Danadyaksa, dia telah bertemu dengan banyak pemimpin yang juga memiliki wibawa. Tapi dia selalu bisa menghadapi mereka. Menjaga wibawa perusahaan, dan juga wibawa seorang Yoga Pratama, anak dari seorang CEO trilyuner.

Tapi sekarang ... ?

Yoga menundukkan pandangannya. Dia merasa tak sanggup menatap mata Syeikh Abdullah terlalu lama. Sikap ini mirip dengan sikapnya pada pimpinan Majelis Zikir di Jakarta. Tapi dengan Syeikh di hadapannya ini berbeda. Rasa hormat, malu dan sungkan ini terasa jauh lebih besar.

Kakinya selangkah demi selangkah menghampiri Syeikh, dengan tubuh dibungkukkan sedikit. Saat jarak mereka sudah dekat, Yoga mencium punggung tangan Syeikh dengan gerakan yang terasa wajar, seolah dia biasa melakukan penghormatan dengan cara itu. Padahal ini kali pertama dia mencium tangan orang tua. Bahkan pada ayahnya sendiri dia tak pernah melakukan itu. Keluarganya tidak seperti keluarga pada umumnya yang penuh kehangatan. Salam cium tangan bukan cara mereka menunjukkan hormat.

Perlahan Yoga menegakkan punggungnya dan menatap Syeikh. Pria itu masih tersenyum hangat padanya, seolah dia cucunya sendiri. Suasana yang begitu nyaman membuatnya hampir lupa dengan tujuannya menemui beliau. Yoga merasa harus memberi penjelasan padanya, tapi lidahnya terasa kelu. "A-aku ke sini untuk -- ," ucap Yoga ragu.

"U-untuk --," otak Yoga berusaha berpikir.

Aku tadi mau apa ya ke sini? Astaga! Aku mau negosiasi!

Tapi, entah kenapa setelah bertemu langsung dengan Syeikh Abdullah, kata 'negosiasi' terdengar begitu lancang. Terasa tak pantas untuk diucapkan pada beliau. Yoga menelan ludah dengan susah payah.

Ustaz Umar yang ada di seberang mereka akhirnya tidak tahan dan menyela. "Tadi katanya mau negosiasi?? Mau negosiasi apaan sih sebenarnya? Anak baru, jangan menyita waktu Syeikh terlalu lama. Kami sedang sibuk membahas acara suluk yang akan dimulai besok. Cepat sampaikan maksudmu!"

Suara Ustaz Umar membuatnya terkejut. Yoga menoleh ke samping. "Anda siapa ya?" tanya Yoga bingung.

Pertanyaan itu membuat Ustaz Umar naik pitam. "HAHH?? Sejak tadi aku di sini!! Memangnya kamu gak lihat??"

Yoga menggaruk belakang kepalanya. "Maaf. Aku lupa," gumam Yoga. Semenjak pandangannya bertemu dengan mata Syeikh Abdullah, Yoga seolah berpindah ke dunia yang berbeda, dia sungguh lupa kalau ada orang lain di ruangan ini.

Syeikh tertawa terkekeh. "Yoga, beri salam pada Ustaz Umar. Dia adalah salah satu Ustaz yang akan membantu kegiatan peserta suluk."

Yoga membungkukkan badannya, "Baik, Syeikh." Dengan patuh dia menghampiri Ustaz Umar dan mencium tangannya. Sementara Ustaz Umar hanya bisa membatin. Orang aneh ...

Syeikh Abdullah menekuk kakinya, bersiap akan duduk bersila di lantai kayu. "Yoga, kemarilah. Duduk di sini. Ada yang ingin kamu bicarakan, 'kan?"

Beliau menoleh ke arah Ustaz Umar. "Umar, tolong minta santri kita untuk membuatkan secangkir kopi untuk Yoga. Maaf, diskusi kita akan dilanjutkan nanti setelah Isya insyaallah."

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang