Bagian 175 (Bertahan)

921 150 57
                                    

.

.

Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sehingga menjadikan kamu sebagai hakim (pemberi keputusan) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya.

~ Q.S An Nisa : 65.

.

.

***

Yoga menutup mulutnya yang menguap lebar. Matanya berkedip setengah terbuka. Kantung gelap tampak di bawah mata.

Dia terantuk beberapa kali, dan kepalanya nyaris menghantam meja makan.

"Hey Yoga! Kamu mau makan atau tidur? Kalau tidurmu masih kurang, tidur dulu sana di kamar! Berangkat kerjanya nanti saja!" Dana lama-lama naik pitam juga. Padahal sejak tadi dia pura-pura tidak melihat kelakuan ajaib putra semata wayangnya. Lantaran dia masih kesal karena kebiasaan baru Yoga pulang larut malam secara rutin. Walau anaknya menyebalkan, tapi di sisi lain dia seringkali merasa terhibur jika dalam sehari dia sempat mengobrol dengan anaknya setidaknya satu atau dua jam. Belakangan ini, jangankan mengobrol, bisa melihat Yoga dalam keadaan 'sadar' saja sudah bagus.

"Hoaahm ... Astaghfirullahalazhim ... maaf Yah. Tidak, aku harus berangkat sekarang. Aku ingin bicara sepagi mungkin dengan Direktur Pemasaran."

Mata Ayahnya memicing kesal. "Kamu yakin? Wakilkan sajalah ke orang lain!"

"Tidak. Aku ingin bicara langsung padanya. Tidak mau diwakilkan orang lain," jawabnya tegas sambil meraih gagang cangkir kopinya. Dia berpikir di kantor sebaiknya menambah kopinya lagi. Jika 3 atau 4 cangkir kopi bisa menjaga matanya tetap terbuka, maka dia akan teguk semuanya.

Tangannya meletakkan lap putih setelah membersihkan bibir. "Aku berangkat dulu, Yah. Assalamualaikum," dia pamit sambil mencium punggung tangan Dana.

"Wa alaikum salam," sahutnya agak galak. Kesal dengan sifat anaknya yang keras kepala, yang menurun dari dirinya.

Yoga berjalan ke arah lobi. Dana menatapnya kuatir. Dia hanya takut, anaknya yang bandel itu tidak menjaga tubuhnya, dan hanya fokus mengurus perusahaan. Sebab dia menangkap kesan, Yoga merasa bersalah karena kebijakannya telah menempatkan perusahaan pada posisi sulit. Tepatnya, dia merasa tanggung jawab untuk mencari sumber nafkah bagi seluruh karyawan dalam jangka waktu 6 bulan di separuh akhir tahun, seolah seluruhnya berada di pundaknya.

***

"Semua sudah saya cek semalam. Silakan dibaca Pak," ucapnya sembari menyerahkan setumpuk dokumen.

Wahyu menerima dokumen itu dan membacanya sekilas. Raut mukanya tampak serius. "Lima perusahaan Pak? Dari dua puluh data yang saya berikan kemarin?"

Yoga mengangguk tegas. "Ya. Lima dari dua puluh. Saya sudah periksa dengan seksama. Tolong minta tim pemasaran untuk mulai menyiapkan surat penawaran kerjasama. Sertakan juga company profile kita, profil dewan Direksi, dan laporan perkembangan nilai saham kita 10 tahun terakhir."

Pria itu mengangguk. "Baik Pak."
Yoga menopang dagu dengan tangannya. Bibirnya tersenyum tipis. "Kita akan jemput bola. Tidak boleh berdiam diri begitu saja. Mengharapkan investor datang dalam jumlah banyak, dengan situasi yang kurang menguntungkan saat ini, bukan ide yang bagus. Bukan begitu Pak Wahyu?"

Pria berambut belah tengah itu membalas senyumnya. "Benar Pak. Baik. Saya akan siapkan."

"Terima kasih. Sementara itu saja. Kita akan tunggu respon mereka. Jika mereka meminta kita untuk presentasi, katakan pada mereka, saya insyaallah akan ikut dalam presentasi."

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang