Bagian 18 (Perpisahan)

1.6K 80 5
                                    

.

.

"Gimana dengan mimpi kita, Erika?"

.

.

***

"Erika," ucap Yoga lembut, melalui ponselnya. Dia merasa bersyukur Erika masih mau bicara dengannya.

Erika diam, hanya mengamati Yoga dari atas.

"Erika, turunlah sebentar. Aku mau bicara denganmu," pinta Yoga.

"Enggak. Aku gak mau turun. Bicara lewat telepon aja," jawab Erika menggelengkan kepala.

"Ayolah. Sebentar aja. Aku mau bicara langsung di hadapanmu," bujuk Yoga lagi.

"Aku gak mau!" tolak Erika dengan tangis kembali pecah.

"Kalau aku turun menemuimu, aku tidak akan bisa menyelesaikan ini. Kalau aku ada di depanmu, aku jadi lemah. Bagaimana kalau kamu memelukku, dan aku tidak bisa mendorong tubuhmu? Bagaimana kalau kamu menciumku, dan aku tidak sanggup menolakmu? Bagaimana kalau kamu bilang cinta padaku? Aku --," lanjut Erika sepenuh hatinya yang remuk.

Tangis Erika terdengar bercampur dengan putus asa. Tangan Yoga memegang ponselnya gemetar dan mata berkaca-kaca.

"Erika ... ," ucap Yoga bersamaan dengan hatinya yang patah.

Dia mengerti sekarang, kalau pernyataan Erika barusan adalah cara Erika menyatakan cintanya pada Yoga. Yoga sudah lama menunggu Erika menyatakan cintanya dengan jelas. Tapi pernyataannya barusan terdengar seperti terakhir kali. Terasa seperti perpisahan.

Dia menyadari kalau pertengkaran kali ini bukan pertengkaran biasa. Air mata Yoga tumpah.

"Tolong ... jangan begini, sayang," pinta Yoga dengan suara nyaris tercekat.

Erika merasa pedih mendengar panggilan 'sayang' untuknya kali ini. Rasanya dia sangat ingin memaafkan Yoga dan berpura-pura melupakan kesalahannya. Tapi dia tidak bisa. Tepatnya, dia tidak mau.

"Aku gak sanggup melihat kamu memperlakukan mereka seperti itu, Yoga. Dan bagian terburuknya adalah, kamu bahkan gak merasa bersalah. Kamu akan mengulanginya lagi dan lagi. Aku gak mau lagi. SUDAH CUKUP!" ucap Erika tegas.

Bibir Yoga bergerak, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Erika tahu, Yoga sedang berusaha untuk mengucapkan kata itu. Kata yang terlalu berat untuk keluar dari bibirnya. Kata 'Maaf'. Tapi hingga akhir, kata itu tidak juga muncul.

Yoga bisa saja berpura-pura merasa bersalah, berpura-pura meminta maaf. Agar segalanya selesai dengan cepat. Agar Erika memaafkannya. Tapi Yoga bukan orang yang seperti itu.

Erika menyadarinya. Karena sifat Yoga yang selalu jujur dengan perasaannya sendiri, adalah salah satu nilai lebihnya yang sangat Erika suka.

"Gimana dengan mimpi kita, Erika?" tanya Yoga.

"Mimpi apa? Mimpi yang mana?? Menikah trus punya anak? Lalu anakmu akan meniru kebiasaanmu??"

Yoga menatapnya dari bawah dengan mata tak berkedip. Apa ini benar terjadi? Erika mampu membuang impian yang sangat berharga untuknya?

"Dari pada aku punya anak seperti kamu, AKU LEBIH BAIK NGGAK PUNYA ANAK SAMA SEKALI !!!" teriak Erika tertahan.

Rasa sakit di dadanya, membuat Yoga bungkam bergeming. Luka di hatinya yang bicara.

Erika. Erika. Kenapa? Tahukah kamu seberapa besar perasaanku padamu?

Tangan Yoga terasa lemas, tapi tatapan mata jarak jauh, dan sambungan telepon ini adalah satu-satunya cara mereka terhubung.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang