.
.
"Bayangkan ini di benakmu : Kamu sudah mati!
Jenazahmu dibaringkan di tempat tidur.
Mereka berdatangan melayat jenazahmu.
Siapa saja yang ada di sana?"
.
.
***
Hari ke-11 suluk ...
Suasana masjid terasa khidmat. Peserta suluk yang menunggu giliran tawajjuh dengan Syeikh, semuanya tenggelam dalam lautan zikir. Bibir mereka bergerak-gerak sambil memutar biji tasbih.
Sementara Yoga yang mendapat giliran pertama, sudah bersiap untuk tawajjuh perdananya. Sesuai arahan dari Syeikh, dia sudah merubah posisi duduknya menjadi duduk tawarruk. Duduk dengan telapak kaki kanan diduduki kaki kiri. Kedua telapak tangannya dihamparkan di atas paha dan kepalanya menunduk. Sepasang matanya terpejam.
Syeikh memulai proses tawajjuh. "Baca Al Fatihah satu kali. Niatkan pahalanya dihadiahkan untuk Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, seluruh keluarga dan para sahabat beliau, serta untuk para masyaikhul kiram atau guru-guru yang mulia. Al Fatihah."
Yoga membaca Al Fatihah satu kali. Sepanjang ayat demi ayat, ia mengingat untuk siapa pahala bacaannya diniatkan, dan di antara para guru yang pernah mengajarinya, ia membayangkan Pemimpin majelis di Jakarta, salah satu gurunya yang ikut membimbingnya dalam hijrah. Meskipun dia tidak terlalu dekat secara personal dengan beliau, tak sedekat dengan Syeikh Abdullah dan Ustaz Umar, tapi dia tetap menyebut nama beliau dalam hati.
"Tafakkur beberapa menit. Ingatlah akan dosa-dosamu yang telah lalu. Niatkan bertaubat menyesali kesalahan-kesalahanmu dan bertekad tidak mengulanginya lagi."
Karena kedua mata Yoga terpejam, tak ada sesuatu benda atau makhluk apapun yang dilihatnya. Dalam gelap, yang terdengar hanya suara zikir pelan yang dibaca oleh teman-temannya di belakang.
Yoga memang telah bertaubat dari dosa-dosanya. Tapi ketika pertaubatan dilakukan persis di hadapan Syeikh Abdullah, terasa sangat berbeda. Tubuhnya bergidik. Dia seperti tak punya celah di hadapan gurunya. Seolah dirinya adalah sebuah buku terbuka yang tiap-tiap alfabetnya bisa dibaca dengan mudah oleh beliau.
Manusia di hadapannya ini, adalah yang ditakdirkan Allah untuk mengawasinya secara dekat. Manusia yang memegang tali yang tersambung pada utusan Allah yang mulia. Kekasih-Nya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Karena manusia begitu terikat pada belenggu fisik, kita yang terhijab dari-Nya, sering lupa bahwa Allah selalu mengawasi kita. Bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri. Dan Dia Mengetahui SEMUA tentang kita. Termasuk apa-apa yang kita pikirkan, meski hal terkecil yang terlintas sekalipun!
Allah mengirim utusan-utusan-Nya agar kita kembali mengingat-Nya. Agar kita tidak terlena dengan rayuan dan jebakan dunia. Agar kita menggunakan dunia, demi tujuan akhirat, dan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan. Agar kita memahami esensi yang terpenting.
Beberapa kilas balik perbuatan-perbuatan buruknya di masa lampau bermunculan satu per satu di ingatannya. Di antara semua dosa-dosanya, dia selalu berpikir bahwa yang terburuk di antara semuanya adalah zina. Tapi benarkah itu? Ataukah kesombongannya lebih buruk lagi? Wallahu a'lam.
Dia tidak tahu. Yang dia tahu, waktu yang telah berlalu tak dapat lagi berulang. Tak ada yang bisa dilakukannya dengan buku hitam berisi catatan amal-amal buruknya, kecuali menyesalinya. Bertaubat dengan sungguh-sungguh, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
EspiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...