.
.
Jangan bersedih wahai mukmin.
Dunia hanyalah penjara sementara bagimu.
.
.
***
Ada yang berbeda di Majelis malam ini.
Dahi Yoga mengernyit heran saat supir membukakan pintu mobil untuknya.
"A-ada apa ini??"
Anak tangga menuju masjid dipenuhi oleh teman-teman Majelisnya. Semuanya menunggu kedatangannya.
"AHLAN WA SAHLAN!!" Pekik mereka memberi salam. Rizky berdiri paling depan.
Yoga terperanjat. Matanya memicing curiga pada Rizky. "Ada apa Ky? Kok aku disambut macam Gubernur DKI?"
Yang ditanya cengengesan. "Ini bukan ideku lho ya. Sejak kamu muncul di TV dengan berita yang kontroversial itu, mereka pingin tanya macam-macam padamu, tapi kamu kan absen dua kali pertemuan. Mereka terus bertanya padaku, kapan kamu ke Majelis lagi. Mau bikin sambutan katanya. Hi hi."
Teman-teman Majelisnya berebut bertanya.
"Saya selama ini cuma tahu namamu Yoga. Tapi baru tahu kalau kamu Yoga yang itu. Anaknya Danadyaksa."
"Iya. Saya juga. Pas lihat kamu di TV, kagum rasanya. Bagaimana bisa punya keberanian sebesar itu? Di zaman sekarang ini, jangankan menegakkan syari'at skala perusahaan, baru panjangin jenggot dikit saja, telinga ini sampai panas dengar komentar orang."
"Iya. Pakai celana cingkrang, berjenggot. Sama, saya juga kena komentar jelek dari teman-teman kantor."
"Saya juga. Enggak mau salaman dengan yang bukan mahram, dibilang kolot."
"Ajarin dong. Tipsnya apa bisa seberani itu? Keren betul!"
Yoga menggelengkan kepala. "Whoo ... tenang, tenang. Enggak ada tips-tips-an sama sekali. Soalnya saya juga sama kayak kalian. Telinga juga sering panas dengar komentar miring sana-sini. Ha ha. Masih belajar bersabar juga, supaya bisa tahan emosi. Yang saya lakukan biasa saja kok, beneran."
Rizky tampak cekikikan melihat Yoga sibuk menjawab sesi wawancara dadakan. Tak lama mereka memasuki masjid. Tapi Habib belum datang, maka sebagian saling berbincang. Ada yang membaca Al Qur'an, ada yang membaca qasidah.
Seperti biasa, Yoga dan Rizky duduk di barisan belakang.
"Yoga, aku mengerti sekarang, alasan kenapa kamu diperlakukan berbeda di tempat Suluk," kata Rizky sambil tersenyum.
"Karena kondisimu memang berbeda dari peserta yang lain. Dan menurutku, ada perbedaan mendasar di antara orang yang belajar ilmu, dan orang yang menerapkan ilmu yang sampai padanya. Menurutku, yang kamu lakukan adalah luar biasa. Seandainya aku ada di posisimu, aku tidak yakin punya nyali melakukan itu. Sungguh."
Dia menepuk punggung Yoga. "Aku do'akan semoga masa kritis ini bisa kamu lewati dengan baik."
Dia membalas senyum Rizky. "Amin. Aku memang sedang memerlukan do'a dari banyak orang. Terima kasih, Ky."
Mendadak ponsel Yoga bergetar di dalam kantung baju koko putihnya.
"Maaf sebentar, Ky," katanya sambil meraih ponsel.
"Iya angkat saja. Siapa tahu penting."
Nama Aurel muncul di layar. Yoga segera permisi keluar masjid.
"Assalamualaikum," sapanya ramah.
"W-wa alaikum salam. Uhu huu ... Yogaaa!!"
Alis Yoga mengernyit. Tangannya menjauhkan speaker ponsel dari telinganya, lalu menempelkannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualeJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...