.
.
Sudah berapa suluk kulewati, baru kali ini ada yang tidur saat zikir! Aku bisa bilang apa lagi?? Sungguh ... TER LA LU!
.
.
***
Yoga duduk bersila dengan tasbih di dalam sebuah gazebo kayu yang tertutupi oleh kelambu di sekelilingnya. Embusan angin mencipta gelombang lembut di tirai kelambu putih yang transparan. Meski posisi matahari sudah lewat sedikit dari atas kepala, namun suhu udara masih sejuk.
Kelambu putih yang sejatinya berfungsi untuk mencegah serangga dan nyamuk mengganggu kekhusyukan zikir itu, menjadi tirai yang sempurna bagi para peserta suluk yang terlindungi di dalamnya.
"Laa ilaha illallah ... Laa ilaha illallah ... Laa ilaha illallah."
Yoga terus mengulang-ulang kalimat tauhid itu. Berusaha keras untuk khusyuk, tapi dirinya masih bergelut dengan ragam kekusutan di dalam otaknya. Ditambah lagi, bukan hanya itu. Dia juga harus melawan rasa lapar dan kantuk. Yoga memang belum terbiasa berpuasa sunnah Senin-Kamis. Sementara kantuknya adalah karena semalam dia hanya tidur tiga jam, efek belum terbiasa dengan kasur yang tak se-empuk di rumahnya.
Jarinya terus menerus memutar tasbih. Setiap usai seratus kali, dia mengulangnya dari dari awal. Terus begitu hingga akhirnya mencapai bilangan tertentu yang disarankan Syeikh Abdullah padanya usai bai'at. Helaan napas keluar setelah akhirnya hitungannya sempurna.
Masih sambil memejamkan mata dan menundukkan kepala, Yoga menarik napas panjang sebelum memulai zikir kedua. Kali ini, zikir tidak diucapkan dengan bibir, tapi disebutkan di dalam hati.
Allah ... Allah ... Allah ...
Ini pertama kali dia melakukannya. Biasanya zikirnya selalu bersamaan dengan gerak lidah dan bibir. Ternyata lebih sulit. Tapi karena zikirnya tidak panjang, hitungan zikir keduanya ini selesai lebih cepat. Entah berapa lama waktu sudah berlalu sejak dia duduk bersila di gazebo. Kesadarannya terhadap waktu seolah dinonaktifkan di tempat ini. Satu-satunya penunjuk waktu adalah suara adzan.
Allah ... Allah ... Allah.
Jari Yoga sudah mencapai ujung sekaligus pangkal tasbih. Dia menghela napas perlahan. Memasuki zikir wukuf. Zikir dengan diam dan khusyuk. Memenuhi hati dengan kesadaran akan Allah, tanpa kata, tanpa kalimat.
Matanya masih terpejam. Dia bisa merasakan belaian angin sepoi dari sekeliling gazebo. Tersaring oleh kelambu putih. Siluet dirinya nampak tegak dari luar kelambu. Namun perlahan tubuhnya membungkuk. Alisnya yang tadinya sedikit berkerut, mengendur rileks. Dia memasuki alam yang lain.
.
.
Pria gagah itu berjalan di koridor sambil membawa serangkaian bunga mawar di tangan kanannya dan botol spray air di tangan kirinya. Sesekali dia menatap rangkaian bunga dengan senyum simpul.
Dua orang santri berpapasan dengannya di koridor. "Assalamu'alaikum, Ustaz Umar," sapa mereka.
Ustaz Umar menjawab salam itu penuh wibawa. Setelah dia melewati para santri, kedua santri muda itu menahan senyum. Mereka masih juga belum terbiasa dengan pemandangan itu. Wajah angker Ustaz Umar dan bunga mawar, adalah kombinasi yang tidak biasa.
Mendadak langkah Ustaz Umar terhenti, teringat sesuatu. Sejak selepas Zuhur hingga sekarang menjelang Ashar, dia belum sekalipun mengecek anak didiknya, Yoga. Mungkin ada baiknya dia mampir sebentar ke gazebo.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...