.
.
"AKU? JEMUR KASUR?? Apa di sini gak ada semacam office boy??"
.
.
***
"Wah. Ustaz belum tahu rupanya. Syeikh Abdullah belum cerita? Saya di sini bukan dua puluh hari, tapi empat puluh hari!" ujarnya sambil mengangkat empat jari dengan tangan kirinya dan membentuk angka nol dengan tangan kanan.
Seketika pernyataan itu membuat Ustad Umar nampak syok. "HAHH?? EMPAT PULUH HARI??"
Ustaz Umar baru saja menjelaskan tentang amalan yang perlu dikerjakan Yoga selama program dua puluh hari. Namun tak disangka, Syeikh Abdullah memutuskan Yoga menjalani program empat puluh hari, tanpa sepengetahuan dirinya.
Benak Umar sibuk membatin.
EMPAT PULUH HARI?? AKU HARUS MENAHAN SABAR MENDIDIK ORANG INI SELAMA EMPAT PULUH HARI??
Yoga tak tahu apa yang dipikirkan pria di hadapannya ini hingga wajahnya nampak seperti meringis menahan pedih. "Kenapa, Ustaz?"
Pria itu menggelengkan kepala dan menghela napas. "Gak apa-apa. Saya cuma kaget. Soalnya, ini belum pernah terjadi sebelumnya. Hh ... ya sudah, setelah kamu selesai salat Isyraq dan zikir, kamu bisa membereskan urusanmu yang lain. Nanti kita ketemu lagi di sini pas waktu Dhuha insyaallah."
"Iya, Ustaz."
"Saya tinggal dulu ke ruangan saya." Baru saja beliau akan berbalik badan, tiba-tiba Yoga teringat sesuatu. "Ustaz!" panggilnya.
Pria itu menoleh. "Ya?"
"Kemarin saya sudah dapat izin dari Syeikh untuk menghubungi keluarga saya di Jakarta. Karena mereka tidak tahu kalau saya akan ada di sini empat puluh hari. Apa saya boleh pakai telepon di ruangan Ustaz?"
"Boleh. Datanglah nanti sebelum Dhuha."
"Iya. Terima kasih, Ustaz."
Yoga menatap punggungnya. Ustaz Umar pria yang termasuk tinggi untuk standar orang asli Indonesia. Tubuhnya tegap, berkulit sawo matang, berambut pendek dengan sedikit poni menutupi dahinya. Memiliki garis wajah lugas dan tampang yang lumayan. Kalau saja dia lebih sering tersenyum, dia tidak akan nampak seangker itu.
Mata Yoga memicing curiga.
Besok-besok, apa aku masih diajar sama dia? Semoga cuma hari ini aja. Gak mungkin sama dia terus selama empat puluh hari, 'kan? MALES BANGET!
.
.
Yoga baru saja selesai salat Isyraq dan zikir. Saat kembali ke ruang barak, orang-orang sedang membersihkan tempat tidur masing-masing. Ada yang melipat baju kotor, ada juga yang memilih tidur sejenak sebelum waktu Dhuha.
Dia baru teringat sesuatu. Sambil bertolak pinggang, Yoga menatap kasurnya yang basah kuyup.
Rizky sedang berdiri di sampingnya. "Yoga, sebaiknya kamu jemur kasurmu. Di sini gak ada kasur ekstra. Kita pinjam aja dua kursi sama santri. Nanti kasurmu dijemur di atas kursi. Kubantuin, deh."
Pria itu menoleh ke temannya dengan ekspresi tak percaya. "APA? AKU? JEMUR KASUR?? Apa di sini gak ada semacam office boy??"
Pertanyaan itu membuat Rizky menghela napas lelah. "Mulai lagi, deh. Sejak kita tiba di sini, apa kamu lihat satu saja office boy? Mana ada, Yoga! Kamu harus ingat, kalau santri-santri itu ada di sini untuk membantu kelancaran suluk. Tapi mereka BUKAN office boy atau semacamnya. Ingat ya!" hardiknya sambil mengangkat jari telunjuk mengarah ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...