.
.
"Cukup dijawab 'iya' atau 'enggak'. Farhan cuma mau mastiin.
Dia gak mau pulang ke Bandung membawa penyesalan."
.
.
***
Kami bertiga sudah di dekat pelataran fakultas Seni. Aku, Erika, Ari. Ari sedang berusaha keras menjadi 'penerjemah' antara aku dan Erika.
Walau dia tidak sepenuhnya memahami pola pikirku, tapi dia benar-benar berusaha membantuku.
"Jadi, begini, Erika. Sebelum besok sore kami berangkat ke Bandung, Farhan mau tanya sesuatu yang penting sama kamu," kata Ari memulai aksinya.
"Penting? Apa ya?" tanya Erika melirik ke arahku, membuatku salah tingkah.
Ari terlihat geregetan. "Sok atuh, Farhan! Kamu atau saya yang ngomong, ini?" tanya Ari memastikan.
Suaraku segera gelagapan. Aku tidak menyangka kalau mengutarakan perasaan memerlukan keberanian yang begitu besar. Ternyata perempuan-perempuan yang dulu 'menembak'ku mungkin mencurahkan segenap keberaniannya untuk melakukan ini.
"A-a-aku ... eh ... anu. A-apa kamu --, bibirku bergerak, tapi tidak berhasil merangkai satu kalimat pun.
Ari menutup mata. "Sok lah saya aja yang ngomong! Jadi gini, Erika. Sebelumnya, boleh gak kami tanya hal yang agak pribadi?"
Mata Erika terbuka. "Pribadi? Iya, tanya aja," jawab Erika dengan ekspresi tegang di mukanya.
"Kamu teh udah punya pacar belum?" tanya Ari tanpa basa-basi.
"Pacar? Ng ... lagi gak punya pacar," jawab Erika dengan rona di pipinya.
Ari dan aku saling berpandangan, dan Ari seperti memberi kode 'sikat wae lah, Farhan!'
Aku masih gemetar. "Ka-kalo gitu, apa kamu ... uh ... maksudku ... "
Ari memberikan tatapan putus asa padaku.
"Udahlah, Farhan. Kamu mah hopeless. Jadi gini, Erika. Temen saya yang ajaib ini, si Farhan, naksir berat sama kamu. Nah, dia teh pingin kenal sama kamu, tapi karena dia aneh, dia gak bisa pacaran kayak orang normal. Jadi, -- "
Aku menutup mukaku. Ari #&$*!!!
"Jadi, dia mau tanya dulu sama kamu, apa kamu ada ketertarikan sama dia atau enggak?" lanjut Ari.
Erika menoleh ke arahku tersipu malu, sementara mukaku sudah seperti udang rebus.
Erika kembali menatap Ari.
"Cukup dijawab 'iya' atau 'enggak'. Farhan cuma mau mastiin. Dia gak mau pulang ke Bandung membawa penyesalan," kata Ari spoke person-ku. The best lah dia.
Erika kembali melirik ke arahku. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama.
Erika mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.
Aku tidak bisa mengungkapkan dengan yang kurasakan saat itu. Rasa syukur yang teramat besar membuat kakiku merasa seolah tidak benar-benar menapak di permukaan bumi.
Ari melotot ke arahku. Seperti memberi aba-aba, memaksaku yang meneruskan percakapan.
"Ka-kalo gitu, apa besok aku bisa ketemu orang tuamu?" tanyaku.
"Orang tuaku?" Erika nampak heran.
Ari berusaha menjelaskan. "Nah. Itu tadi kenapa saya bilang dia aneh. Jadi, berhubung dia gak bisa pacaran kayak orang normal, dia mau bicara dulu sama orang tua kamu. Istilahnya kayak permisi dulu sama wali kamu, macam silaturahmi, begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANXI (SEDANG REVISI)
SpiritualJika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan untukmu. Coba peruntunganmu di karya saya yang lain : Tirai, Cincin Mata Sembilan (link di bio) ANXI *Untuk Dewasa 21+* Peringkat tertinggi #1...